Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah garapan seni pertunjukan bertajuk “Siwa Murti Wisesa Sakti” dipersembahkan Desa Sukawati dalam parade seni di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar, Jumat (17/4) lalu. Dibawakan tak kurang dari 250 pemain (penari, penabuh, dalang, dan paduan suara), garapan berdurasi sekitar 15 menit ini menyodorkan sebuah tawaran kreativitas seni yang banyak diperbincangkan penonton seusai pementasan. Pesona yang berhasil dipancarkan karya seni pentas itu mengundang sejumlah pertanyaan yang mengerucut kepada rasa penasaran sekitar proses berkeseniannya.
Berkesenian bagi masyarakat Bali pada umumnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan religius-kultural masyarakatnya. Berkesenian dalam sanggaan budaya ngayah masih menggeliat. Namun di tengah kehidupan modern sekarang ini, berkesenian dengan orientasi profit kian menggejala, termasuk di Desa Sukawati yang terkenal dengan pasar seninya. Dalam konteks pasar, idealisme berkesenian digeser ke pinggir. Ketika uang menjadi incaran, individualisme berkesenian menjadi sah-sah saja. Nah, justru proses penggarapan dan menguaknya karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” bertolak belakang dari semua itu.
Penggarapan karya seni ini beranjak dari perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar. Berkesenian dalam konteks ini menggetarkan emosi ngayah kepada pemerintah. Bersama tujuh duta kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar, Desa Sukawati didaulat menyuguhkan sebuah seni pentas dalam sebuah parade. Kewajiban untuk menampilkan seni pentas dalam momentum itu mengobarkan gereget jengah. Para tokoh seni dan ratusan generasi muda dari 13 banjar yang ada di desa Sukawati merapat dan bertekad menampilkan karya seni yang berarti. Merebak gelora nindihin Sukawati yang dikenal sebagai lumbung seni.
Desa Sukawati sendiri, sejatinya memang lekat dengan jagat seni. Menurut tuturan babad desa setempat, nama Sukawati yang sebelumnya bernama Timbul berasal dari sebutan suka ati yang lama kelamaan menjadi sukawati. Dikisahkan pada akhir abad ke-18, Kerajaan Timbul menggapai puncak kejayaannya dimana aneka ragam kesenian yang menstimulasi rasa suka hati penduduknya serta menjadi daya tarik orang luar untuk datang mengaguminya. Kini, identitas Sukawati sebagai desa seni belum pupus. Legong keraton, tari Bali nan indah itu, berakar dan membiak dari desa ini. Wayang kulit, teater tua adiluhung yang sarat nilai estetik-kultural, hingga kini masih segar bugar di Sukawati dan dianggap benteng wayang kulit klasik Bali.
Lakon seni pentas “Siwa Murti Wisesa Sakti” terpilih, adalah tentu karena alasan kelekatan Sukawati dengan jagat seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya (Dewata Nawa Sanga) mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Keindahan legong keraton dan tutur bijak sajian wayang kulit membuat kaum raksasa terpesona dan dengan tenang kembali ke alamnya. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.
Kita masih percaya, seni itu mendamaikan. Kandungan pesan inilah yang ingin diaktualisasikan dalam garapan seni pentas Sukawati tersebut. Ternyata, kedamaian berkesenian itu tak hanya untuk dikomunikasikan kepada penonton namun juga melingkupi proses kreatif yang berlangsung lebih dari dua bulan. Selama itu, mengalir dinamika kreatif dalam bidang seni karawitan, seni tari, seni pedalangan, dan paduan suara. Keempat bidang seni yang menjadi formula garapan ini juga berkompromi menggalang berbagai kemungkinan olah kreativitas dan inovasi dalam arah satu tujuan yaitu mewujudkan sebuah ekspresi artistik, sebuah ungkapan seni pentas yang menggugah mata dan mampu menyapa rohani.
Penonton tampak tergugah menyaksikan pagelaran “Siwa Murti Wisesa Sakti”. Gugahan dari garapan ini sudah berlangsung jauh-jauh sebelum pementasan di Balai Budaya Gianyar. Itu terjadi saat latihan-latihan di halaman luar Pura Dalem Gede Sukawati. Masyarakat setempat berduyun, tua dan muda, menunggui dengan antusias setiap latihan berlangsung. Semua itu dapat dijadikan pertanda bahwa rasa tenteram dan damai yang mampu membinarkan hati sanubari, merambat dan terpicu oleh kegiatan berkesenian yang melibatkan insan-insan muda Sukawati. Peristiwa dua kali kerauhan para penari saat latihan sedang berlangsung pun dapat dimaknai secara positif tentang adanya “apresiasi” terhadap garapan seni pentas ini dari alam niskala.
Luasnya gaung penggarapan karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” tak bisa dilepaskan dari penyeluruhnya keterlibatan para seniman dari berbagai bidang seni serta banyaknya insan-insan muda yang terlibat di dalamnya. Garapan yang kepanitiannya ditangani secara kedesaan adat dan dinas itu melibatkan tokoh-tokoh seni pertunjukan (tari, karawitan, dan pedalangan), seni rupa dari beragam spesialisasi, serta paduan suara. Dan, ratusan dari mereka yang terlibat sebagai pelaku adalah pelajar dan mahasiswa. Perhatian masyarakat Sukawati terhadap proses berkesenian ini menjadi mendapatkan tempat khusus.