Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan
Sebuah buku tua tentang seni pertunjukan Bali, Dance and Drama in Bali (1938), menggugah seorang penari dari Negeri Sakura. Pada halaman 65, Ami Hasegawa (32 tahun), wanita Jepang yang pernah belajar tari Bali di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu, tertegun dengan sebuah potret yang menggambarkan sebuah tari ritual Baris Kekoepoe. Karena penasaran, ia terbang ke Bali menemui salah satu gurunya di Denpasar, menanyakan tentang tari itu. Gurunya, Ni Ketut Arini (66 tahun), menjelaskan bahwa tari Baris Kekoepoe itu sudah lama punah. Mendengar penuturan gurunya, Ami sedih. Ia kemudian membujuk Ketut Arini untuk merekonstruksinya.
Hasil rekonstruksi tari Baris Kekoepoe itu, disuguhkan kepada masyarakat Bali dalam arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu, di Taman Budaya Bali. Dalam konteks ritual keagamaan, konon dulu tari Baris Kekoepoe dibawakan oleh sepasukan penari pria. Namun dalam presentasi artistik tata penggarapan Ketut Arini, tari ini dibawakan oleh empat penari wanita. Masyarakat Bali yang menyaksikan penampilan Kekoepoe tampak heran dengan gerak-gerik polos dan aneh dari tari yang mengenakan busana berumbai-rumbai ini. Penonton kian tersipu kagum karena yang membawakannya adalah para penari dari Jepang.
Malam itu, grup tari Bali Basundhari Jepang pimpinan Ami Hasegawa tak hanya menyodorkan Baris Kekoepoe. Pagelaran tari yang diberi tajuk “Tari-tarian Bali Tempo Doeloe“ itu juga menyajikan tari Bali yang hampir punah, langka, dan tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali sendiri. Salah satunya adalah tari selamat datang, Pengaksama. Tak ada penonton masa kini yang pernah menyaksikan tari yang segenre dengan tari Pendet ini. Tari karya I Nyoman Kaler ini telah muncul pada tahun 1935, mendahului kehadiran tari Pendet garapan I Wayan Rindi pada tahun 1950. Tari Pengaksama yang malam itu dibawakan oleh Ami Hasegawa dan Megumi Wakabayashi juga hasil rekonstruksi Ni Ketut Arini berdasarkan referensi yang dipergoki Ami dalam buku Dance and Drama in Bali karangan Beryl de Zoete dan Walter Spies itu.
Rekonstruksi kedua tari itu, Baris Kekoepoe dan Pengaksama, berlangsung di dua negara yaitu Jepang dan Indonesia (Bali). Kira-kira, dua bulan sebelum gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Ketut Arini diundang ke Kanagawa, Jepang, untuk merekonstruksi dan mengajarkan Kekoepeo dan Pengaksama pada penari sanggar Basundhari. Untuk merekonstruksi tari Baris Kekoepoe, Arini tak menemui kesulitan yang berarti, sebab pada tahun 1961 dia sendiri pernah membawakannya dalam sebuah ritual keagamaan di desanya. Kesulitan mengganjal adalah untuk tari Pengaksama. Namun berdasarkan sekelebat ingatan dan kesaksiannya, akhirnya Pengaksama dapat dirajutnya kembali. Saat proses rekonstruksi di Jepang, iringan gamelannya belum ada, perlu direkonstruksi juga.
Sepulang dari Negeri Matahari Terbit, dibantu seniman karawitan I Ketut Suanda, Ketut Arini kemudian menggarap iringan gamelannya, juga berdasarkan rangkuman potongan-potongan ingatannya. Setelah terwujud, rekaman audio iringan kedua tari itu kemudian dikirim ke Jepang, dipadukan dengan tariannya yang telah diajarkan Arini. Masalahnya, para penari sanggar Basundhari itu tinggal di beberapa kota berjauhan yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Solusinya, berdasarkan rekaman video saat Arini merekonstruksi kedua tari itu dan ditambah dengan rekaman kaset iringan gamelan yang dikirim dari Bali, mereka belajar sendiri-sendiri. Baru ketika semuanya berkumpul di Bali beberapa hari menjelang pentas, mereka latihan gabungan lengkap dengan iringan penabuh grup gamelan Cendana di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar.
Tari Pengaksama ditampilkan pada awal pementasan. Pengaksama dalam bahasa Bali artinya sambutan selamat datang. Struktur tari ini terdiri dari bagian awal, tengah, dan akhir, mirip dengan tari Pendet. Koreografinya juga sederhana yang merupakan stilisasi dari gerak-gerak persembahan tulus bakti pada dewa-dewa. Namun jika tari Pendet membawa semangkuk kembang, tari Pengaksama memakai properti kipas. Kipas ini diragatarikan sebagai absraksi persembahan pada Tuhan. Sedangkan tari Baris Kekoepoe hadir dengan kesederhanannya namun terasa menggetarkan nuansa magis. Jika Baris Kekoepoe yang dimuat dalam bukunya Zeote dan Spies memakai senjata tombak dengan gelungan (hiasan kepala) sederhana, Kekoepoe yang direkonstruksi Arini penarinya memakai sayap bak kupu-kupu dan berbinar dengan gelungan rangkaian bunga kamboja. Sejatinya, Kekoepoe (dalam bahasa Bali artinya kupu-kupu) adalah salah satu dari sekian barisan tari Baris yang tempo dulu ditampilkan sebagai persembaham tari sakral di pura.
Jika Pengaksama dan Kekoepoe kental dengan nuansa ritualnya, tari Wiranjaya yang dibawakan oleh Mayumi Inouye dan Mariko Inui termasuk jenis tari kreasi yang tak begitu dikenal masyarakat Bali. Tari bergaya Bali Utara ciptaan I Ketut Merdana tahun 1950-an ini seangkatan dan sekarakter dengan tari Tarunajaya karya I Gde Manik. Namun jika Tarunajaya hingga kini masih berkibar, Wiranjaya tenggelam. ISI Denpasar, tahun 2010 lalu, mencoba merevitalisasi dan mensosialisasikan ke tengah masyarakat Bali bahkan pernah menampilkannya dalam sebuah festival gamelan di ISI Surakarta pada tahun itu juga. Kini, di pesta seni Bali, para pegiat tari dari Jepang juga terketuk oleh nilai artistik tari yang berkisah tentang pelatihan perang ksatria Pandawa, Nakula dan Sahadewa tersebut.
Perhatian dan keperihatinan terhadap karya-karya tari Bali yang terlupakan dan yang jelang punah, juga diekspresikan oleh para pegiat seni tradisi dari dalam negeri, Solo. Saat tampil dalam pagelaran Parade Gong Kebyar Nusantara, juga dalam arena PKB, tim ISI Surakarta menyuguhkan tari Cendrawasih (1954) karya maestro tari I Gde Manik. Berbeda dengan tari Cendrawasih (1988) karya Swasthi Widjaja Bandem yang natural-realistik, tari Cendrawasih-nya Manik stilistik-simbolik. Tata visual busananya tak ada menampakkan properti burung maskot Papua itu. Namun kalau dicermati tata geraknya, karakteristik burung nan lincah itu tampak diberi aksentuasi sehingga gagasan artistiknya cukup komunikatif.
Dibawakan oleh enam orang penari non etnik Bali, mahasiswi ISI Surakarta. Dilihat dari segi karakter tarinya, tari Cendawasih tempo dulu ini termasuk katagori bebancihan yaitu tari yang memakai busana pria dan dibawakan oleh penari wanita. Tari ini direkonstruksi di Solo oleh Pande Made Sukerta pada tahun 1996. Sebuah grup gamelan di Desa Tejakula, Buleleng, pernah mengiringi tari ini pada tahun 1964, namun setelah itu menghilang bak ditelan bumi. Beruntung Sukerta berhasil mendapatkan rekaman vieonya yang kemudian beranjak merekonstruksinya, dibantu nara sumber penari sepuh Luh Menek yang dulu pernah membawakannya.
Seni tari, adalah pengejawantahan estetik yang membuncah dinamis di Bali, dulu dan kini. Liukan jagat tari itu, tak semuanya mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada yang tegar dan awet hingga di era globalisasi ini. Tak jarang pula ada yang hanya sekedarnya menyapa zaman. Meski demikian, kesenian sebagai representasi kebudayaan adalah lumbung tersimpannya makna-makna yang patut disimak, dipelajari, dan diapresiasi. Oleh karena itu, rekonstruksi seni masa lampau seperti yang dipertunjukkan di pesta seni Bali itu, adalah sebuah kearifan budaya yang berkeadaban.