Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Jagat seni tari di Bali sedang menggeliat sumeringah. Tengoklah pagelaran 29 karya cipta seni tari pada tanggal 27-31 Mei lalu di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Cipta tari besutan para koreografer muda itu menunjukkan totalitasnya masing-masing dalam rangka menuntaskan tugas akhirnya di lembaga pendidikan tinggi seni itu. Warna-warni karya cipta tari yang ditampilkan mencerminkan sikap dan visi berkesenian yang berkebhinekaan namun dalam satu asa untuk melahirkan cipta tari yang menggugah. Penonton yang setiap malam datang berdesakan, menyimak puspa ragam karya tari tersebut dengan sarat perhatian.
Pagelaran ujian tingkat sarjana (S1) bidang penciptaan ISI Denpasar memang banyak menyedot perhatian masyarakat pecinta seni pertunjukan, sejak lembaga ini masih bernama ASTI-STSI. Selain menggelar ujian karya seni pedalangan dan seni karawitan, pentas ujian seni tari telah menghadirkan beragam karya cipta yang pantas disimak dan diapresiasi. Para mahasiswa tingkat akhir dengan konsentrasi penuh berproses kreatif serta bereksplorasi menggali berbagai kemungkinan estetik. Dalam pentas ujian tersebut, mereka–para seniman muda yang disemai secara akademis itu–sering melibatkan penari atau penabuh dari lingkungan komunitasnya masing-masing.
Aneka pengejawantahan estetik, tema, pesan moral dan kultural dapat disimak penonton dari pagelaran ujian seni tari selama lima malam itu. Ada yang berkarya berpegang pada pakem seni tradisi. Ada yang berolah cipta, berkreasi dengan greget inovatif. Bahkan tidak sedikit yang bebas terbang lega bereksperimentasi dalam raungan tari kontemporer. Semuanya diberi ruang, sepanjang siap mempertanggungjawabkan. Sementara itu, bingkai-bingkai tema yang disodorkan juga bebas dilontarkan. Tampak tema kepahlawan, kedamaian, dan cinta banyak menjadi pilihan. Demikian pula pesan yang dituturkan masing-masing garapan semuanya ingin mengetuk kesadaran budi dan adab.
Seni tari–kesenian pada umumnya, adalah nilai budaya yang memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Melalui ungkapan gerak estetis yang terpola, seni tari telah mengisi ruang dan waktu peradaban berbagai bangsa di dunia. Keindahan yang terungkap dalam seni tari merupakan cermin kebudayaan masyarakatnya. Kini di era modern di tengah arus globalisasi ini, seni tari juga berkembang dan mereposisi diri memperjuangkan eksistensi dirinya di tengah dinamika zaman. Tari Bali yang sudah menguak pada zaman prasejarah juga tak luput dari perkembangan dan perubahannnya. Tari yang berfungsi sakral keagamaan pun bertransformasi. Lebih-lebih pada lingkup seni tari sekuler dalam konteks wahana ekspresi estetik, perkembangan dan perubahan itu nyata terlihat, seperti telah terlihat beberapa tahun belakangan dari kampus ISI Denpasar.
Dunia tari adalah helaan nafas dan denyut nadi masyarakat Bali. Hampir dalam setiap ritual keagamaan selalu disertai dengan sajian seni tari. Selain ungkapan seni tari sebagai persembahan, sejak awal abad ke-20–sebelum era kemerdekaan–di Bali sudah mulai menguak cipta tari sebagai seni tontonan. Ekspresi estetik dengan bahasa gerak ini dipelopori oleh I Ketut Marya yang menciptakan tari Kebyar Duduk pada tahun 1925, I Nyoman Kaler menelorkan tari Panji Semirang dan tari Mergapati serta I Nyoman Ridet bersama I Wayan Likes melahirkan tari Tenun, semuanya pada tahun 1942. Pasca kemerdekaan, muncul nama I Gde Manik dengan tari Tarunajaya-nya pada tahun 1950 dan juga I Wayan Beratha dengan tari Tani pada tahun 1957.
Sebelum munculnya Kokar dan ASTI (STSI-ISI)–era pendidikan formal seni pertunjukan di Bali–para kreator seni tari lahir secara alamiah dalam tempaan perjalanan hidup dan kultur lingkungan zamannya masing-masing. Mereka berkesenian semata-semata didorong oleh getaran hati tanpa berpretensi untuk mencipta dalam pengertian sekarang. I Marya misalnya yang secara internasional lebih popular dikenal dengan nama I Mario, melahirkan tari Kebyar Duduk atau tari Terompong secara tidak terencana, yang, secara spontanitas merespon gamelan kebyar yang baru pertama kali di dengarnya. Sebutan koreografer dalam arti pencipta atau penata tari belum begitu dikenal di Bali pada era Marya, Kaler, Ridet dan Manik. Kendati demikian, karya cipta seniman alam itu masih kukuh monumental di tengah masyarakat masa kini.
Pencipta tari masa kini yang kebanyakan mendapat asupan teori seni di bangku formal, justru karya-karyanya tak banyak dikenal masyarakat. Ratusan karya cipta seni tari lahir dari buah pemikiran para seniman plus sarjana itu berseliweran gamang seakan tak kuasa menambat hati masyarakat kekinian. Bahkan hampir sebagian besar karya seni tari yang ditampilkan dalam pagelaran ujian ISI Denpasar hanya mengalaman pentas perdana saja. Sangat disayangkan, sesudah dinilai oleh tim penguji, langsung tenggelam bak disapu tsunami. Padahal bila dicermati, karya cipta tari seniman sekolahan itu banyak yang berbobot.
Tengoklah misalnya karya tari yang dikembangkan dari pakem legong olahan Ni Nyoman Ayu Kunti Aryani bertajuk “Legong Rebab”. Melalui titik pijak inspirasi instrumen berdawai rebab, dieksplorasi secara kreatif pola koreografi tari legong dalam formulasi tari yang apik menawan, berona klasik menggigit dilantuni gamelan slonding nan bening. Simak pula tari kreasi “Stri Wiroda” karya Made Ayu Desiari yang mengisahkan penghinaan lahir-batin yang diterima Dewi Drupadi, saat Pandawa kalah berjudi dicurangi Korawa. Tataan koreografi dan visualisasi dramatik dari tari ini sungguh menggetarkan relung moralitas penonton.