Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah perhelatan seni budaya internasional digelar di Purwakarta, Jawa Barat, 29 Agustus lalu. Kendati hanya berlangsung semalam–sejak pukul 19.00-24.00 WIB–namun festival ini sungguh-sungguh berkelas dunia. Tengoklah, 14 negara mengirim duta-duta seninya. Ke-14 negara tersebut diantaranya Italia, Meksiko, Turki, Mesir, Afrika Selatan, Korea, India, China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Tuan rumah Indonesia diwakili oleh insan-insan seni dari Desa Sukawati, Gianyar, Bali. Desa Sukawati tampil sebagai pamungkas festival dengan garapan bertajuk “Matahari Nusantara”.
Pentas seni budaya mancanegara ini adalah puncak dari peringatan hari jadi Purwakarta ke-184. Pementasan dipusatkan dalam sebuah panggung megah yang disebut Maya Datar, terletak di depan pendopo pemerintah Kabupaten Purwakarta. Ribuan penonton merangsek mengepung areal pementasan, namun tak semuanya bisa masuk. Penonton yang tak mendapat bagian di dalam, tak pantang menyerah dan dengan semangat menyaksikan dari luar pagar besi. Festival yang bernama resmi Cultural World Festival ini, tampak menjadi peristiwa budaya bersejarah yang menghebohkan masyarakat Jawa Barat.
Dipandu oleh presenter nasional, Indra Herlambang dan Ersa Mayori, festival seni budaya dunia ini menjadi pesta keberagaman budaya dalam berbagai ungkap seni, dari seni bela diri khas China, Kungfu, hingga tarian sufi Mesir, dari tarian Baghara dari India hingga seni Folk dari Italia. Masing-masing duta seni tampil memukau penonton sekitar tujuh hingga 10 menit, kecuali Indonesia (Sukawati) yang menggebrak di puncak festival selama setengah jam. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama para undangan perwakilan kedutaan negera-negara yang duta seninya tampil dalam festival, menyimak antusias pertunjukan di atas panggung.
Hinteria penonton bergemuruh menyambut penampilan Sukawati. Berkekuatan 100 orang (penari, penabuh, koor, dan dalang/narator), sajian para seniman Sukawati rupanya memang ditunggu-tunggu penonton. Kang Dedi, panggilan akrab Dedi Mulyadi, dalam siaran persnya beberapa hari sebelumnya, memang telah berkali-kali menginformasikan bahwa persembahan seni Desa Sukawati jangan sampai dilewatkan untuk diapresiasi. Pernyataan orang nomor satu di Kabupaten Purwakarta ini, bisa jadi mengacu kepada kesannya sendiri ketika menyaksikan garapan seni seniman Desa Sukawati berjudul “Siwa Murti Wisesa Sakti” di Balai Budaya Gianyar tanggal 19 April lalu.
Ditunjuknya para insan seni Desa Sukawati untuk tampil di forum seni budaya dunia itu berawal dari Balai Budaya Gianyar. Penampilan garapan seni pentas kolosal Sukawati menggugah hati salah satu undungan kehormatan, yaitu Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Seusai menyaksikan seni pentas tersebut, beliau melontarkan apresiasi yang tinggi kepada tim penggarap. Antusiasismenya diungkapkan dengan undangan langsung agar Sukawati tampil pada festival seni budaya dunia yang direncanakan digelar pada bulan Agustus 2015 di Purwakata. “Saya yakin saat festival nanti, ribuan penonton akan membludak, menyimak penampilan tim kesenian utusan 15 negara, termasuk sajian Desa Sukawati duta Gianyar, Bali, yang menjadi wakil Indonesia,” ujar Dedi Mulyadi bersemangat.
Ketika perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar itu, Sukawati menyajikan garapan seni pertunjukan dengan lakon yang bertema dunia seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.
Pesan damai dari indahnya seni itu, dalam penampilan Sukawati di festival budaya dunia di Purwakarta kembali digaungkan. Lakon “Matahari Nusantara” pesan intinya adalah hidup berkeadaban dengan damainya seni. Alkisah, pada abad ke-6 Masehi, bangsa Galuh di belahan barat Jawa Dwipa telah menggapai peradaban tinggi. Bangsa inilah yang mengawali lahirnya sistem pemerintahan kerajaan pertama di dunia. Sebuah ajaran welas asih, berhasil menuntun kerajaan Galuh merengkuh era kejayaannya. Ajaran yang mengandung cara hidup manusia yang beradab itu, dihormati takzim dengan sebutan Sundayana. Sunda bermakna matahari dan yana adalah ajaran hidup. Sembilan abad kemudian, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran nan masyur keturunan bangsa Galuh, menaruh hormat pada ajaran Sundayana warisan leluhurnya. Untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian, Prabu Siliwangi dengan penuh welas asih arif bijaksana, mengayomi jagat seni dan menggalang fajar kehidupan yang berbudaya.
“Matahari Nusantara” persembahan Sukawati mengundang decak penonton. Unsur-unsur seni Jawa Barat dan Nusantara yang diramu dalam tari, gamelan, dan olah vokal menggugah rasa cinta budaya daerah dan kebhinekaan Nusantara. Ketika pada bagian akhir garapan mengepak figur Garuda yang diiringi lagu rakyat Jawa Barat, Manuk Dadali, ditingkahi gerak tari nan rampak, segenap penonton berdiri, termasuk Kang Dedi, ikut bernyanyi riang. Di akhir pementasan, secara spontan Ki Dalang Sujiwo Tejo didampingi Kang Dedi masuk panggung, menembang dan berpuisi. Garapan seni “Matahari Nusantara” Sukawati berbinar gemilang, penonton terpana.