Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan
I Nyoman Partha Gunawan (60 tahun) adalah seorang seniman alam dari Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Sebulan belakangan ini, ia tampak dengan tekun mengajar gamelan Slonding, salah satu gamelan tua Bali, di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sekelompok mahasiswa menyerap gending-gending yang diberikan oleh empu gamelan Slonding itu. Ketika program “kuliah kilat“-nya itu hasilnya dipentaskan dan sekaligus didokumentasikan, Gunawan tampak berseri-seri karena telah menularkan sejumput nilai keindahan pada generasi penerus.
Di Tenganan Pagringsingan, gamelan Slonding menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual keagamaan. Gamelan yang terbuat dari lempengan-lempengan besi tebal ini disimpan di bale agung dan hanya dikeluarkan dan ditabuh pada prosesi upacara penting. Gamelan yang dimainkan oleh 7-10 penabuh ini misalnya tampak mengalun magis mengiringi tradisi Abuang, tari sakral yang dibawakan oleh pasangan pria dan wanita. Slonding juga hanya berdentang garang saat menyemangati tradisi makare atau perang pandan.
Di luar Tenganan, Slonding masih dijumpai di beberapa desa tua yang termasuk desa Bali Age. Namun jika di Tenganan, Slonding masih diusung secara takzim oleh komunitasnya, di tempat-tempat lainnya kondisinya memperihatinkan bahkan hampir punah. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan menyudutkan bentuk-bentuk seni terdahulu seperti Slonding semakin marginal. Masyarakat Bali generasi kekinian sedang kepincut dengan seni yang lebih modern. Gong Kebyar yang muncul tahun 1915 kini banyak menyambil alih alunan teduh gamelan renta seperti Slonding atau Gambang misalnya.
Kesenian tua memiliki kandungan nilai estetik dan ekspresi kultural yang patut diselamatkan. “ISI Denpasar sebagai lembaga akademis sudah sepatutnya memerankan dirinya menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian langka seperti Slonding,” ujar I Wayan Suharta, SSKar, M.Si, Ketua Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI. Dalam rangka rekontruksi gamelan langka itulah, tambahnya, ISI mengundang selain nara sumber gamelan Slonding dari Tenganan Pagringsingan, pada momentum yang sama juga menghadirkan maestro gamelan Babarongan, I Wayan Jebeg, dari Batubulan, Sukawati.
Kendati agak gamang, tampaknya kepedulian terhadap keberadaan kesenian langka belum sirna sama sekali. Sabtu (28/11) lalu misalnya, saat Tumpek Krulut, ritus masyarakat Bali terhadap gamelan, Pemkot Denpasar menghadirkan sekian jenis gamelan langka di lapangan Puputan Badung, berkumandang secara bergantian. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, secara periodik menyuguhkan bentuk-bentuk kesenian langka di Taman Budaya Denpasar. Sajian kesenian langka juga dapat disimak masyarakat di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Berbagai upaya konstruktif itu tentu mesti disyukuri.
Penyelamatan bentuk-bentuk kesenian luhur yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat, memang mesti disikapi dengan langkah kongkret. Cermatilah, pencapaian estetik yang pernah diraih kesenian langka kita belakangan tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik, sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir.