Kiriman: I Wayan Primawan, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Sosok pria lugu dan sederhana ini menyimpan segudang prestasi serta pengalaman dalam bidang seni tabuh dan tari Bali.
Sejak usia anak – anak sudah menyenangi gamelan dan mampu menguasai Tari Baris, Tari Topeng dan Tari Kebyar Duduk berkat bimbingan gurunya almarhum Wayan Rendi.
I Wayan Rugeh, kelahiran Banjar Abian Kapas Kaja Kelurahan Sumerta Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar sejak berumur 8 tahun saat masih duduk di Sekolah Rakyat atau tingkat Sekolah Dasar ( SD ) sudah belajar menari meskipun gurunya keberatan karena menganggapnya masih anak – anak.
Karena terus mendatangi rumah gurunya di Banjar Lebah Desa Sumerta Kaja, Desa tetangga Banjar Abian Kapas Kaja tempat Rugeh tinggal, akhirnya tidak keberatan mengajar tabuh dan olah gerak tubuh tari Bali.
Belajar secara sungguh – sungguh disertai bimbingan gurunya dalam waktu enam sampai tujuh tahun sudah mampu mengusai banyak tari dan memainkan instrumen gamelan tradisional Bali dengan sempurna.
Meskipun sudah sering pentas di depan masyarakat umum, Rugeh yang masih muda tidak pernah merasa puas terhadap keahlian yang dimiliki. Kemudian Rugeh terus – menerus memburu guru tabuh dan tari sebagai tempatnya menimba ilmu.
Ayah 8 orang anak dan kakek tujuh cucu ini pernah membimbing/mengajar menabuh ke Badung, Tampaksiring, Ubud, Payangan dan Karangasem. Dalam membimbing ke berbagai daerah ini ia merasa puas dan bahagia karena ditemuinya semangat belajar seni yang tinggi pada generasi muda Bali. Rugeh juga aktif membina Angklung di Buaji Sari ( Anggrek Buaji Sari ) milik Bank Sri Partha dan membimbing di Dirga Ayu Suari Banjar Kerta Bumi Sumerta.
I Wayan Rugeh memiliki banyak guru yang mengajar secara ikhlas sehingga sekarang ia juga mendidik anak – anak atau siapa saja yang ingin belajar tabuh dan tari Bali dibinanya dengan senang hati,” tutur suami dari Ni Wayan Sening.
Pasangan suami – istri yang masih nampak sehat dan bugar di usia senja ini memang memiliki banyak siswa yang yang belajar tabuh dan tari Bali di rumahnya yg tidak jauh dari Taman Budaya Art Center Denpasar.
Seperangkat Gong Kebyar dan Gender Wayang yang menjadi koleksinya boleh dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin belajar menabuh dan menari. Tidak mengherankan rumah yang lokasinya di pinggir jalan WR. Supratman jurusan Denpasar –Tohpati itu senantiasa diramaikan oleh anak – anak maupun orang dewasa yang belajar menabuh dan menari.
Ayah dari delapan anak ini selain membina dan mengajarkan keahliannya kepada masyarakat lokal, juga sanggup mentransfer keterampilannya kepada wisatawan yang sedang menikmati liburan di Pulau Bali. Dua warga negara asal amerika pernah belajar tari dan memainkan instrumen gamelan di rumahnya selama sebulan,”tutur Wayan Rugeh yang mengaku sering menolak pemberian uang dari siswanya yang baru akan mulai belajar. “ Kalau sudah mapan dan bisa mencari uang dari keahlian menabuh dan menari yang ia berikan, saat itulah ia baru mau menerima pemberian uang dari siswanya,” tutur pria pensiunan RRI Denpasar sejak tahun 1988.
Wayan Rugeh yang pernah bekerja sebagai Ajendam Kodam XVI Udayana yang sekarang bernama Ajendam Kodam IX Udayana ini berkesempatan menjelajahi Nusantara untuk menghibur keluarga besar prajurit maupun masyarakat umum. Instansi tempatnya bekerja mulai tahun 1960 sampai 1964 itu memiliki tim kesenian Bali beranggotakan 40 seniman andal yang serba bisa. Kodam – Kodam di Indonesia saat itu sering memesan kesenian dari Bali sehingga memiliki kesempatan untuk menjelajahi Nusantara ( Melanglang Buana ) dari satu daerah ke daerah lainnya. “Hampir semua daerah di Indonesia pernah ia kunjungi kecuali Irian Jaya saat melakukan pementasan Kesenian Bali menghibur keluarga besar prajurit dan masyarakat umum. Daerah – daerah penjelajahan tersebut antara lain yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Singkawang – Maluku di tahun 1960-an, Tidore Bajan, Halmahera, Pulau Buru, Manado, Kupang, Lombok, Ende, Waingapu, Sumbawa dan Jakarta.
Bekerja di Ajendam Kodam XVI itu berlangsung selama empat tahun sebelum pindah ke RRI Denpasar untuk mengisi siaran kesenian Bali. Di tempat kerja yang baru itu kembali bertemu dengan rekan – rekan seniman yang selama ini sudah sering melakukan pementasan bersama seperti I Made Ruju, kelahiran Desa Batuan – Gianyar.
Ia mulai bekerja pada tahun 1966 sebagai tenaga honorer bersama puluhan seniman lainnya untuk tetap mengisi acara siaran Arja setiap hari Minggu.
Masyarakat Bali waktu itu sangat menunggu – nunggu setiap acara yang memancarluaskan pergelaran Arja salah satu siaran favorit masyarakat yang ternyata seniman pendukungnya sebagian besar adalah tenaga honorer.
Sekitar 35 orang seniman yang mengabdikan diri puluhan tahun lamanya menjadi karyawan honorer RRI Denpasar akhirnya diangkat menjadi PNS meskipun secara teknis administrasi waktu itu tidak memenuhi persyaratan.
Saat mengabdikan diri di RRI itulah pada tahun 1978 mendapat kesempatan memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan selama dua bulan keliling negara – negara Eropa. Bersama 35 seniman yang berasal dari berbagai daerah di Bali, pimpinan Anak Agung Ngurah Supharta dari Tabanan yang saat itu sebagai Kepala Sekolah KOKAR yang sekarang bernama Sekolah Menegah Karawitan Indonesia ( SMKI ) Denpasar mengadakan pementasan ke sejumlah kota di Eropa salah satunya di Italia. Di Italia ia menari dan berkeliling selama tiga bulan. Penampilan kesenian Bali di luar negeri antara lain gong kebyar, topeng, calonarang, dan wayang kulit mendapat perhatian besar dari masyarakat setempat, jauh sebelum pementasan karcis yang dijual sudah habis. “Pentas ke luar negeri memperoleh kesan dan pengalaman dari masing – masing senimannya karena sangat dihormati dan dihargai sejajar dengan artis – artis terkenal di negara tersebut.
Wayan Rugeh yang kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, dengan menikmati sisa – sisa kehidupannya mengusir kesepian dengan memanfaatkan waktunya untuk membuat gamelan ( instrumen musik ) tradisional Bali. Seperangkat Gender Wayang yang terdiri atas empat buah Gender Wayang dijual seharga Rp. 8.000.000 ( delapan juta rupiah ) yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu sebulan. Bahan yang diperlukan seluruhnya dipesan di Belahbatuh – Gianyar ia tinggal merakit sehingga pekerjaan tidak terlalu berat. Namun sekedar memperoleh keuntungan, setiap penjualan seperangkat Gender Wayang mendapat keuntungan Rp. 1.000.000 ( satu juta rupiah ).
Selain itu juga membuat gamelan angklung yang setiap setnya seharga Rp. 25.000.000 ( dua puluh lima juta rupiah ). Produksi gamelan tidak pernah sampai menumpuk karena begitu selesai langsung ada pembeli. Bahkan sering menerima pesanan lebih dulu. Pesanan selama ini berasal dari daerah pedesaan di Bali.
Riwayat Hidup I Wayan Rugeh Seniman Dari Banjar Abian Kapas Kaja