Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Bagi orang Bali, wayang secara takzim disebut dengan Sanghyang Ringgit, kesenian yang mendapat anugrah dan kekuatan Hyang Widhi. Seni pertunjukan wayang kulit bukan hanya dipandang sebagai objek tontonan semata, namun sebuah nilai seni yang diwingitkan. Saat tumpek wayang—bersiklus 210 hari menurut kalender Bali—seperti halnya pada Sabtu tanggal 11 April kemarin, adalah hari keramatnya wayang Bali. Wayang dan peralatan gamelannya diupacarai nan khusuk.
Prosesi ritual terhadap kesenian itu misalnya dapat disaksikan di lumbung seni pertunjukan wayang Bali, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Di Banjar Babakan, salah satu dusun desa itu, sekitar 19 dalang dengan keluarganya masing-masing disibukkan oleh rangkaian upacara itu. Seluruh wayang dikeluarkan dari kotak wayangnya. Semuanya dibeber rapi di sanggah—pura keluarga. Dalang, para pemain gamelan gender, katengkong—pembatu dalang, bersembahyang bersama mohon dianugrahi taksu–tuah estetik.
Ditengah keperihatinan terhadap kian redupnya binar wayang kulit Bali, nafas panjang wayang terjustifikasi oleh psikoreligi ritus tumpek wayang, hari transisional terpenting yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Di salah satu kantong seni pertunjukan wayang Bali itu, doa terhadap eksistensi kesenian ini terus dipanjatkan. Kaderisasi dalang berlenggang alamiah sambung menyambung seakan tak peduli dengan kian menjauhnya penonton wayang.
Dulu, ketika budaya agraris tradisional masih kental mewarnai kehidupan orang Bali, kesenian wayang memang sempat menjadi bagian dari totalitas kehidupan masyarakatnya. Jagat wayang dicerap sebagai tuntunan dan falsafah hidup. Saripati cerita yang dituturkan tontonan wayang menjadi kiblat berprilaku. Tokoh-tokoh idolanya menjadi identifikasi diri.
Kini di tengah transformasi budaya yang sedang menggelinding dengan fenomena perubahan yang cepat dan dahsyat, seni pertunjukan wayang rupanya terdistorsi. Pamornya morosot. Interelasinya dengan masyarakat pendukungnya kian senjang. Sementara jagat wayang asyik dengan kesendiriannya, disisi lain, masyarakat pendukungnya kian gamang dengan kompleksitas kehidupannya.
Perjalanan waktu dan atmosfir zaman berdampak pada pergeseran pola berpikir, prilaku, dan keyakinan masyarakat. Kini jarang ada terdengar orang Bali yang ngotonan—peringatan hari kelahiran yang bersiklus 210 hari–atau berkaul menyelenggarakan pementasan wayang seperti dimasa-masa lalu. Sekarang juga jarang terjadi sebuah upacara perkawinan dimeriahkan dengan pementasan wayang dengan cerita “Arjuna Wiwaha” misalnya. Kini juga kian sulit menjumpai pementasan wayang dengan cerita “Bima Swarga” dalam rangkaian upacara ngaben.
Kegelisahan memang kini sedang menggayut di kalangan penggiat seni pertunjukan wayang kulit Bali. Kendati demikian, rupanya seni boneka pipih dua dimesi ini tak buru-buru dikubur. Dalang-dalang di Banjar Babakan, Sukawati, masih tabah melakoni dunianya. Bahkan lebih dari itu, mereka mencoba menggeliat. Dalang-dalang senior seperti I Wayan Nartha, I Wayan Wija dan I Made Juanda serta dalang muda seperti Bagus Bharatanatya (Juara I Lomba Dalang Remaja PKB 2013) misalnya, masih setia mengawal wayang kulit Bali.
Selain mengawal kelestarian Wayang Parwa—bersumber cerita Mahabharata–dan Wayang Ramayana—bersumber darai epos Ramayana, para seniman wayang kulit di Banjar Babakan itu memang melakukan langkah-langkah kreatif. Adalah dalang I Wayan Wija pada tahun 1980 menciptakan Wayang Tantri, wayang kulit yang bersumber dari lakon Tantri. Pada tahun 1985, dalang I Ketut Klinik menggagas Wayang Babad, seni pertunjukan wayang yang bercerita tentang kisah-kisah semi sejarah. Kedua kreasi wayang tersebut, kini cukup eksis di tengah masyarakat Bali. Secara konseptual dan pola garap, kedua kreasi wayang itu tetap anut dengan konvensi klasik wayang kulit Bali.
Tak sungkan pula mereka menghadirkan garapan wayang yang mendobrak konvensi tradisi. Beberapa dalang muda yang sempat mengenyam pendidikan formal di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ketut Sudiana dan Wayan Mardika, gelisah bereksplorasi memburu nuansa inovatif, menjajal berbagai kemungkinan, baik yang menyangkut tata konseptualnya maupun dalam implementasi pengejawantahan seninya. Elemen-elemen dari buah kemajuan teknologi seperti misalnya komputer dan LCD proyektor tak luput dimanfaatkan dan disiasati.
Para dalang Banjar Babakan itu memang telah memberi kontribusi yang signifikan bagi perjalanan seni pertunjukan wayang Bali. Secara kualitatif, reputasi para seniman wayang desa itu telah teruji dan diakui di Bali, bahkan telah unjuk kiprah dalam forum internasional. Dalang Wija dan Wayan Nartha misalnya, telah berkali-kali diundang pentas ke mancanegara. Sebaliknya, sejak beberapa tahun terakhir ini, orang-orang asing yang ingin mempelajari wayang, banyak datang berguru kepada para dalang Sukawati tersebut. Maria, pekerja teater dari Amerika Serikat, adalah salah satu murid dalang Nartha yang kini sudah sering pentas di negerinya.
Akan tetapi, realita termarginalnya seni pentas wayang di tengah masyarakat Bali sendiri, bagaimana pun juga membuat gundah para dalang Sukawati tersebut. Anehnya, kegalauan itu bukan diekspresikan dengan berpangku diri. Mereka berusaha eksis dengan gereget kreativitasnya. Dalang-dalang itu tetap tulus ngayah—pentas tanpa imbalan finansial dalam konteks upacara keagamaan. Dalang senior Wayan Nartha, 73 tahun, masih tampak bersemangat membimbing generasi muda yang ingin mengenyimpungi jagat wayang. Wayang rupanya telah menjadi totalitas ritus kehidupan mereka.