Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar
Di Bali sendiri, PKB digelar setiap tahunnya. Sejak diadakan pertama kali pada tahun 1978, event kesenian terbesar dan paling bergengsi di Bali ini selalu berhasil membius berbagai kalangan mulai dari para pakar seni, pelaku seni, hingga masyarakat awam untuk datang ke tempat digelarnya acara sepanjang satu bulan ini yaitu di Art Center Denpasar. Para seniman dari berbagai sanggar atau kelompok-kelompok seni di seantero Bali pun berdatangan dan saling unjuk gigi mempertontonkan kelihaiannya dalam berolah kreativitas.
Berbagai jenis kesenian baik yang bersifaat konservasi seni klasik, rekonstruksi seni-seni langka, hingga kesenian pengembangan dan partisipasi kelompok seni luar negeri tak pernah absen menghiasi indahnya PKB. Setiap tahun, selalu saja para penggemar seni dari seluruh kabupaten di Bali menyempatkan diri untuk menyaksikan primadona pertunjukan seperti Parade Gong Kebyar Pria Dewasa (yang dahulu selalu dilombakan), parade Topeng, Seni Klasik seperti Arja dan Gambuh serta Palegongan. Tidak lupa juga, kesenian pengembangan seperti tari-tari kontemporer pun menjadi warna baru yang sanggup membuka wawasan penonton akan perkembangan kesenian di Bali.
Kini, setelah memasuki usianya yang ke-33, PKB ternyata memiliki berbagai sisi lemah yang belum sepenuhnya mendapat solusi dari berbagai pihak. Seperti misalnya, kualitas penyajian kesenian yang cenderung monoton, miskin kreativitas, menghabiskan dana yang banyak dan sebagainya. Di sisi lain, faktor ketersediaan lahan parkir dan lokasi penyelenggaraan yang terlalu sentralistik pun tak luput menjadi sorotan. Tak ayal, kritik pun terlontar dari berbagai komponen masyarakat untuk penyelenggara PKB ini.
Pembenahan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran cerdas harus segera dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang diutarakan oleh Tjok. Raka Kerthyasa atau yang akrab dipanggil Cok. Ibah. Belau adalah seorang anggota DPRD Bali dari Puri Ubud, Gianyar. Pria yang bertugas di Komisi IV ini, kepada sebuah media ternama nasional mengungkapkan bahwa PKB idealnya diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemikiran ini didasarkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, adalah waktu yang terlalu singkat bagi para kreator seni untuk melahirkan sebuah mahakarya yang benar-benar mampu memberi rasa takjub bagi para penikmat seni. Ia juga berpendapat bahwa penyelenggaraan PKB yang setahun sekali merupakan salah satu penyebab monotonnya kualitas seni yang disajikan. Jikalau pun ada pengembangan, paling-paling hanya sedikit dan itupun masih ada kemiripan dengan tahun sebelumnya.
Pemikiran ini bila dianalisis memiliki beberapa nilai plus dan minus. Pertama, untuk penyelenggaraan yang berjangka waktu tiga tahun, sisi baiknya adalah para seniman khususnya para pengkarya atau kreator seni memiliki waktu yang lebih panjang untuk berpikir, mencari ide-ide baru, kreativitas yang segar dan tentu saja original. Hal ini akan berdampak pada sisi kualitas karya yang dimaksud Cok. Ibah di mana oleh beliau dituturkan bersifat monoton alias itu-itu saja. Namun, di sisi yang berlawanan menurut beberapa pelaku dan penggiat seni yang sering terlibat dalam setiap kesempatan di PKB, waktu tiga tahun untuk memproduksi sebuah karya baru, dinilai terlalu lama. Wacana penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali ini pun dinilai rentan terhadap serangan pengaruh budaya asing yang tidak pernah berhenti mengincar Bali. Sebagaimana kita ketahui, agama, kebudayaan dan kesenian merupakan benteng pertahanan budaya Bali yang harus diperkokoh oleh masyarakat pendukungnya dari dalam. Demikian pula, PKB sebagai sebuah event kebudayaan dan kesenian di Bali secara tidak langsung merupakan sebuah filter yang sangat baik demi mempertahankan keluhuran budaya Bali dari pengaruh global yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan diadakannya PKB setiap tiga tahun sekali, dikhawatirkan kesenian bahkan kebudayaan Bali akan mudah disusupi pengaruh negatif globalisasi.
Selain alasan tersebut, waktu satu tahun bagi seorang atau kelompok seni untuk memproduksi sebuah karya tidaklah terlalu mepet. Justru, mereka akan merasakan tantangan dan semakin terpacu untuk menemukan gagasan segar untuk dituangkan dalam karya seninya. Tetapi, apakah faktanya memang demikian? Tidak salah, namun belum sepenuhnya benar. Kesenian yang tertampil di PKB memang beragam dan masih menghormati keberadaan kesenian Bali yang sakral, klasik dan bahkan langka. Namun, dari sisi kualitas, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, misalnya menyangkut masalah teknis, artistik dan tentu saja yang paling esensial adalah inovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang dianggap merusak tatanan seni tradisi yang sudah mapan, namun justru menempatkan seni tradisi sebagai sumber penciptaan dan inspirasi karya yang tidak akan habis untuk diolah dan setidaknya menjadi sebuah tawaran baru untuk mengatasi tudingan monotonitas PKB dari tahun ke tahun akibat miskin inovasi.
Sisi baik yang kedua adalah, bilamana PKB diadakan tiga tahun sekali, akan memberikan peluang untuk membina bibit-bibit penari unggulan di setiap kabupaten di Bali. Sebagaimana kita ketahui, Bali sangat kaya dengan potensi seniman mulai usia belia hingga uzur. Sangat mudah menemukan seorang yang bisa berkesenian di Bali. Namun, tak semua orang yang bisa berkesenian itu dapat disebut seniman. Inilah yang harus dicari oleh para pembina-pembina seni di tiap kabupaten untuk mendapat kualitas individu seniman yang menonjol yang tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pertunjukan secara menyeluruh.
Faktor pembinaan mungkin menjadi hal yang menjadi pokok pikiran politisi adik kandung Bupati Gianyar Cok Ace ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum pentas di panggung utama Art Center Denpasar, para seniman yang merupakan andalan tiap-tiap kabuaten di Bali ini harus melalui tahapan seleksi yang digelar oleh kabupaten masing-masing. Namun rupanya, tudingan monotonitas yang dialamatkan beberapa komponen masyarakat dan pemerhati budaya di Bali tidak hanya berhenti pada aspek inovasi semata. Menurut penulis, monotonitas pun berlaku pada aspek pelaku dan bahkan kreator seni di masing-asing kabupaten. Hal ini bisa dilihat dari lambannya proses regenasi seniman pengkarya di masing-masing kabupaten yang mengirim dutanya sehingga kita tidak bisa menyalahkan adanya tudingan miskin seniman di kabuaten tertentu. Belum lagi masalah “ISI-nisasi” (terlalu berkiblat ke ISI Denpasar) sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerah tertentu menjadi tersisihkan begitu saja, proses seleksi yang terkesan like and dislike, hingga dominasi kelompok seniman tertentu di suatu kabupaten yang seolah tak tergantikan posisinya sebagai pengkarya.
Kembali menurut opini penulis, usulan penyelenggaraan PKB yang tiga tahun sekali memang ada benarnya, namun mungkin akan lebih bijak bila justru setiap tiga tahun sekali diadakan regenerasi para kreator atau seniman pencipta khususnya untuk seni-seni yang bersifat tradisi. Sedangkan untuk kesenian yang bersifat rekonstruksi, diupayakan agar tiap-tiap daerah menampilkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga jauh dari kesan ISI sentris karena PKB bukan ajang untuk homogenisasi atau bahkan ISI-nisasi tiap-tia kabupaten, tapi justru membuat event tersebut semakin beragam warna. Seni-seni yang langka di Bali masih banyak yang belum terekspos melalui event ini. Seperti misalnya ragam tari Sanghyang, tari Baris-baris yang kuno, permainan tradisonal yang kini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya anak-anak, dan sebagainya. Proses penggalian dan rekontruksi ini saja jika diberikan waktu setahun, sudah dirasa cukup. Belum lagi penciptaan karya pengembangan atau seni kontemporer yang tidak memiliki batasan-batasan baku, yang setiap saat dapat merangsang imajinasi kreativitas yang unik.
Dari sisi akomodasi, Cok. Ibah juga memberi saran bahwa PKB jangan terlalu sentralistik. Artinya, setiap kegiatan di PKB sebaiknya jangan terpusat di satu tempat tertentu, namun agar disebar ke tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Misalnya pameran lukisan bisa diadakan di Monumen Bajra Sandhi, Parade Topeng bisa ditempatkan di lapangan Puputan Badung, dan begitu juga dengan acara lainnya. Menurut saya, ini usulan yang cukup baik dan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh paenyelenggara PKB, meski belum sepenuhnya terealisasi. Seperti yang terjadi pada event PKB yang baru berakhir beberapa wakktu lalu, di mana materi parade Baleganjur dan Angklung Kebyar dilaksanakan di lingkungan kampus ISI Denpasar. Mungkin untuk ke depannya, penyelenggara dalam hal ini harus berpikir dan mengkaji berbagai kemungkinan, agar kesan semrawut dan sentralistik di PKB ini bisa dikurangi.
Kesimpulannya, PKB merupakan event kesenian terbesar di Bali yang masih perlu pembenahan. Hal ini wajar, karena pada esensinya perkembangan merupakan sesuatu yang abadi terjadi khususnya pada perjalanan kesenian. Kesan monoton yang menjadi tudingan utama dari penyelenggara PKB, mau tidak mau harus dicari pangkal permasalahannya.pokok-pikiran yang muncul ke permukaan harus dicermati dari berbagai sisi agar dapat disaring nilai-nilai yang dapat memperbaiki penyelenggaraan ke depannya.
Usulan penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali yang dilontarkan oleh Tjok. Raka Kerthyasa tersebut di atas patut kita apresiasi, sebab secara tersirat ada pemikiran untuk membenahi dan meningkatkan kualitas PKB dan menjauhkannya dari kesan monoton. Namun, mengingat usulan tersebut baru dalam tahap opini pribadi, dirasa terlalu dini dan perlu adanya analisis berikut perbandingan sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengayomi berbagai pihak (win-win solution). Solusi yang sebaiknya kita laksanakan adalah dengan mengoptimalkan konsep penyelenggaraan yang telah disiapkan. Penyelenggaran PKB tiga tahun sekali mungkin belum saatnya diterapkan. Namun, bilamana situasi sudah begitu medesak, bukan tidak mungkin usulan ini akan menjadi kenyataan di masa mendatang. Tentu, dengan catatan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait yang juga terlibat dalam event PKB ini. Bagaimana menurut pendapat anda?
PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali , Setujukah? selengkapnya