Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digulirkan gubernur Ida Bagus Mantra adalah bentuk perlindungan dan kedermawanan bersifat kelembagaan yang kini sudah berusia 37 tahun. PKB tahun 2015 ini mengangkat tema “Jagaddhita: Memperkokoh Kesejahteraan Masyarakat”. Selama lebih dari seperempat abad ini, berbagai ekspresi seni dilestarikan dan dikembangkan. Bentuk-bentuk kesenian yang muncul pada zaman kejayaan dinasti Dalem Waturenggong, direkontruksi dan diaktualisasikan sejak era Mantra. Dari segi pengembangan, dapat disebut misalnya sendratari kolosal yang digelar di panggung besar Ardha Candra adalah “mercusuar” PKB.
Bali diidentikan dengan jagat seni. Ada pula generalisasi bahwa semua orang Bali adalah seniman. Memang sejak dulu atmosfir Bali tak pernah sepi dari merdunya suara gamelan, lenggang orang menari, senandung hening kidung, tutur dan petuah mangku dalang, dan seterusnya. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan nafas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaha-sekaha kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura-pura.
Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, masih utuhkan harmoni dan romatisme kesenian Bali itu? Seperti kita ketahui era kesejagatan yang lazim bertiup dengan transformasi budaya sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan prilaku masyarakatnya. Dunia ide dan rasa dalam selimut estetika yang disebut kesenian Bali, rupanya tak juga luput dari “provokasi” semangat zaman. Kendati secara historis Bali memiliki pengalaman yang cukup teruji mengelola dan mengarahkan ekspresi seninya, tapi agaknya sebagian masyarakat Bali kekinian mulai berjarak dengan keseniannya sendiri dan sedang menggapai-gapai candu estetika jagat global.
Selengkapnya dapat unduh disini