Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Pada tahun 2015 ini, Pesta Kesenian Bali (PKB) sudah memasuki penyelenggaraan ke-37. Bagi masyarakat Bali, pesta seni yang digulirkan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra di tahun 1979, adalah sebuah pesta yang sarat dengan semangat jengah. Sedangkan bagi para seniman Bali, selama sekian lama itu pula, kiranya PKB adalah arena berkesenian yang menggelora dari nurani ngayah. Deru jengah dan ketulusan ngayah itu kiranya adalah penyangga yang sangat signifikan terhadap perjalanan pesta seni yang cukup banyak menyita perhatian masyarakat Bali ini.
Kini pesta seni akbar Bali ini sudah mulai dikenal hingga ke mancanegara. Tak ada bulan Juni-Juli yang berlalu tanpa adanya perhelatan pesta seni yang penyelenggaraannya disokong oleh Perda No. 7/1986. Secara idealistik, PKB dicetuskan dan dilaksanakan sebagai media dan sarana untuk menggali dan melestarikan seni budaya, mendorong masyarakat, mengembangkan kreativitas, hiburan sehat, pendidikan generasi muda dan promosi pariwisata budaya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Namun demikian, PKB tampaknya masih memerlukan perjuangan yang panjang. Memang, jika ditelusuri, kehadiran PKB berimbas konstruktif bagi iklim berkesenian di pulau kesenian ini. Secara herisontal, misalnya kesenian langka, nilai seni yang terpinggir atau pingsan dibangkitkan lagi, direaktualisasikan. Secara vertikal, misalnya muncul kreativitas bahkan inovasi seni yang memberi binar dan memperkaya khasanah kesenian Bali. Semua ini mengangkat prestise kesenian itu sendiri dan mempertebal kepercayaan diri masyarakat Bali yang sebelumnya konon dulu sempat “minder” terhadap nilai-nilai seni tradisinya sendiri.
Seniman adalah pilar dan sumber insani mutlak dalam PKB. Seniman di mana pun, apalagi di Bali, cenderung memanjakan batinnya. Berkesenian sebagai persembahan masih dianut oleh umumnya seniman Bali. Jika batinnya terpuaskan dan bila eksistensinya diterima, persoalan lahir dan finansial malah sering tak diabaikan. Demikian pula kiprah mereka di arena PKB. Mereka dengan antusias berkorban segalanya, waktu-pikiran-materi. Dedikasi mereka sungguh-sungguh mengharukan. Implementasi sikap yang tulus demikian, memang mengkristal dan berlangsung alamiah di lingkungan komunitas mereka masing-masing.
Tengok misalnya sebuah sekaa kesenian yang tampil sebagai peserta Parade Gong Kebyar–seni pentas yang banyak digemari masyarakat Bali. Gabungan seniman tari, karawitan dan pedalangan yang merupakan duta masing-masing kabupaten mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Latihan-latihan yang meletihkan hingga pentas di gelanggang PKB menyita waktu hampir empat-enam bulan. Ini pun sering tidak lancar. Terutama yang amat memusingkan adalah soal dana yang tak mencukupi. Bukan rahasia lagi, hampir semua peserta sekaa tari dan tabuh parade Gong Kebyar, harus merogoh kantongnya sendiri bahkan bila perlu harus ngutang di sana-sini terlebih dahulu.
Jengah. Itulah yang melatarbelakangi tekad mereka ke pentas PKB. Jengah dalam bingkai fanatisme sekaa, banjar, desa, dan
obsesi kebanggaan berkiprah dalam PKB. Mungkin gelora jengah pula yang bergemuruh di dada para perancang acara-acara PKB, panitia pelaksana, atau para juri berbagai lomba. Jika tak demikian bagaimana “karya agung” ini bisa bergulir? Jika tidak demikian, bagaimana mungkin institusi seperti ISI Denpasar dan SMK Negeri 3 Sukawati masih tetap setia menampilkan garapan-garapan seni kolosalnya yang menyedot biaya besar dengan sokongan dana yang tak rasional?
Selain itu, masyarakat Bali beruntung memiliki budaya ngayah. Budaya ini selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam gerak laku masyarakatnya. Dalam bidang kesenian misalnya, semua orang merasa memiliki peran. Dalam konteks ritual keagamaan, tradisi ngayah tersebut begitu eksplisit terlihat. Mereka yang tak bisa menari, mendalang, menabuh atau makidung, mungkin ngayah menata atau mengerjakan dekorasi panggung. Membantu para penari mengenakan kostum tarinya pun sudah termasuk berperan. Mengangkat gamelan dan mengurus konsumsi penari dan penabuh juga termasuk ngayah.
Kesenian Bali berkaitan erat dengan agama Hindu yang dipeluk mayoritas penduduknya. Maka tak salah bila dikatakan bahwa eksistensi kesenian Bali banyak terkondisi oleh tradisi ngayah. Seorang seniman seni rupa akan merasa bahagia bila sempat menyumbangkan kebolehannya dalam membuat benda-benda keagamaan. Seorang penari Topeng Pajegan akan merasa puas batinnya bila sempat unjuk kemampuan saat prosesi upacara sedang berlangsung. Para seniman karawitan akan merasa berperan bila ikut memberi suasana hikmat lewat permainan gamelannya.
Pada zaman modern sekarang ini, budaya ngayah masih tetap kental. Di samping tetap berlangsung dalam kaitannya dengan iman keagamaan dan dalam konteks budaya feodal, ngayah berkembang pada entitas yang lebih luas yakni kepada penguasa masa kini. Kiranya inilah yang terjadi dalam perhelatan akbar PKB. Jika tak demikian, bagaimana kita bisa memahami antusiasisme para pelaku utama PKB terutama para seniman yang tetap konsisten menunjukkan kiprahnya tanpa sempat menunjukkan sikap pragmatisnya?
Kiranya perpaduan budaya jengah dan ngayah-lah yang mendorong PKB terus menggelinding yang rasanya sulit untuk dihentikan. Kecuali bila penguasa yang menghendakinya–atau kecuali para seniman Bali berontak dari gereget jengah dan kesadaran ngayah-nya. PKB sudah menjadi ajang tahunan yang ditunggu-tunggu oleh segenap lapisan masyarakat Bali.
Budaya jengah dan ngayah adalah modal positif yang perlu dipertahankan. Tapi sampai kapan PKB melenggang dengan hanya bermodal sikap budaya tersebut? Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Bali pun adalah bagian dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Semua ini tentu berimplikasi terhadap prilaku dan pola berpikir masyarakatnya. Misalnya mengemuka kecendrungan sadar sesadar-sadarnya akan arti ekomomi-uang dan pasar. Tengok misalnya bisnis kesenian dalam jagat pariwisata kita.
Dari sisi pandang ini, ajang PKB kiranya pantas memberi teladan bagaimana seharusnya menghormati dan menghargai seniman. Kita tentunya tak ingin terjadi dekadensi atau lunturnya pamor positif dari budaya jengah dan ngayah yang dihayati para seniman kita yang telah terbukti memiliki kontribusi penting bagi jagat kesenian Bali.