Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah diskusi bertema “Menakar Nasib Seni dan Seniman Bali” berlangsung hangat di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Selasa (8/12) siang lalu. Penyelenggaraan diskusi atas kerja sama anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI Gede Pasek Suardika, SH,MH dengan pihak ISI itu berlangsung hangat. Mengerucut opini dari para peserta diskusi yaitu belum maksimalnya peran negara pada jagat seni dan seniman. Keberpihakan negara atau pemerintah pada nasib seni dan seniman masih memperihatinkan, yang, sudah seharusnya memberikan pengayoman yang setimpal dengan kemuliaan dan keadaban yang telah dipersembahkan jagat seni dan seniman kepada negara.
Di masa lalu, negara dalam representasi kerajaan menunjukkan perannya sebagai pelindung seni dan seniman yang cukup penting. Pengayom seni dan seniman pada era feodalisme ini memiliki perhatian dan respek yang besar bagi eksistensi jagat kesenian. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para seniman didukung oleh tradisi perlindungan seni. Juga harus diakui tak sedikit cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan oleh system maesenas alias pelindung seni dan seniman.
Sejatinya, kedermawanan kepada seniman dan seni adalah dedikasi yang luhur. Betapa tidak. Banyak seniman berbakat dapat menyalurkan segala kemampuan yang dimilikinya karena simpati positif dari sang maesenas. Tak sedikit masterpiece yang menjadi kebanggaan dunia disebabkan oleh kebiasaan memberikan motivasi semangat dan materi dari para dermawan seni. Demikian pula andil para sponsor seni dalam pemeliharaan dan pelestarian ekspresi atau wujud-wujud karya seni.
Kedermawanan dan perlindungan terhadap seni dan seniman Bali dengan jelas dapat kita tarik dari masa keemasan raja-raja. Ini dapat direntang antara abad ke 16-19 pada pemerintahan Dalem Waturenggong (1416-1550), Dalem Bekung (1550-1580), Dalem Sagening (1580-1665), Dalem Dimade (1665-1685). Diduga kuat bahwa seni pertunjukan Bali seperti Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong Kraton dan seni klasik lainnya tumbuh dan berkembang pada era itu dengan gaya sponsor para penguasa saat itu. Demikian juga yang terjadi pada bidang kesenian lainnya seperti seni rupa, sastra, arsitektur dan lain-lainnya.
Kesenian pada masa itu bukan hanya sebagai hiburan atau bagian ritual semata, namun juga berdimensi politis dan prestise. Maka tak mengherankan bila setiap kraton atau puri memiliki tempat khusus untuk memajang atau mempertunjukan kesenian kebanggaannya sepertinya adanya bale pagambuhan misalnya. Para seniman menjadi insan yang sangat penting dan dibanggakan, dipuji, disayangi, dilindungi, diberikan gaji dan gelar bahkan dijamin masa tuanya.
Drama tari Gambuh yang dianggap sebagai sumber tari Bali rasanya tak mungkin memiliki kualitas seni dan nuansa klasik seperti itu tanpa ada campur tangan dan perlindungan kaum bangsawan. Kisah-kisah yang dituturkan Gambuh adalah romantika disekitar kaum bangsawan yang berisi puji-pujian terhadap para leluhur mereka, keluarga keraton. Lalu, tata penyajian drama tari ini sangat protokoler yang mencerminkan budaya keraton. Karenanya, teater tari yang pernah jadi primadona keluarga puri ini tentu mengalami pengayoman yang begitu asih dari elite penguasa. Kompleksitas ketatnya penyajian tari, sastra dan musiknya jelas mengalami masa perlindungan yang serius dan panjang. Dan para senimannya dari generasi ke generasi tentu juga adalah orang-orang yang dekat dengan pusat kekuasaan dan tokoh-tokoh terpandang di tengah masyarakat.
Respek dan kedermawanan terhadap seni dan seniman pada era kejayaan raja-raja dulu dapat pula kita kaji dari eksistensi lukisan gaya Kamasan. Gaya lukisan tradisional Kamasan meskipun pada mulanya adalah “lukisan kaum sudra”, namun sebagai akibat dari patronisasi para bangsawan kerajaan Klungkung terserap menjadi kesenian tradisi agung dari pusat kerajaan di Klungkung. Para maesenas pada zaman kejayaan kerajaan Klungkung selain bangsawan adalah juga para sastrawan yang mumpuni dalam hal agama dan kesenian klasik.
Hanya sayangnya, lehadiran kolonialisme yang menyebabkan berkurangnya bahkan hilangnya kekuasaan dan harta benda kaum bangsawan berpengaruh terhadap perhatian dan kedermawanan mereka terhadap seni dan seniman. Walau masih ada beberapa kaum bangsawan berusaha respek terhadap seni dan seniman namun hanya mampu sebatas apresiator atau pengagum saja. Sebagai dermawan yang memberikan jaminan hidup kepada seniman, mantan penguasa itu tak punya daya dan biaya lagi. Terjadilah kekosongan maesenasisme di Bali.
Kokosongan perlindungan seni dan seniman pasca zaman kerajaan tersebut mengalihkan perkembangan kesenian Bali ke tengah rangkulan masyarakat luas. Mantan seniman istana yang tak mutlak lagi dibawah pengayoman puri dan memiliki dedikasi tinggi terhadap kesenian menjadi pilar-pilar pengembang kesenian yang berpengaruh. Ini berarti wajah maesenas yang tadinya individual menjadi kolektif (masyarakat). Seni dan seniman Bali mendapat perlindungan dari masyarakat dalam wadah sekaa-sekaa kesenian. Baru sejak zaman kemerdekaan, negara atau pemerintah mulai unjuk perhatian, misalnya mendirikan sekolah seni. Idealisme Gubernur Bali Ida Bagus Mantra menggelindingkan Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1979, menjadi salah satu wahana yang mencerahkan dunia seni dan arena berekspresi seniman Bali. Namun demikian, geliat seni dan kehidupan seniman masa kini tampaknya belum merasakan pengayoman kasih tulus dan kepedulian negara seperti pada masa lampau. Kenapa negara atau pemerintah kita terkesan kurang peduli dengan harkat seni dan martabat seniman sang pengawal jati diri bangsanya?