Kiriman: I Nyoman Wija, SE, AK*
Bangkrutnya sendi-sendi ekonomi, dan porak porandanya hukum dengan perangkat keras maupun lunaknya hingga krisis kewibawaan, dan maraknya aksi kekerasan adalah suatu isyarat bahwa proses reformasi persoalan pokok bangsa dan negara belum mampu membangkitkan kesepakatan dan kebersamaan para elite politik penguasa dalam menyatukan kekuatan bersama membangun bangsa dan negara. Artinya, para elite politik penguasa belum sembuh dari penyakit lamanya, feodalisme dan otoriterisme (ditaktor). Bahkan celakanya malahan tambah lebih buruk menjelma sebagai koruptor. Tak hanya itu, beragam kebijakan yang berdalih kepentingan pembangunan fasilitas publik lebih dominan bersifat memenuhi kepuasan nafsu kekuasaan demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.
Dalam posisi itulah pers dan media massa punya tanggungjawab untuk mengarahkan dan mengingatkan, serta melakukan fungsi informasi dan sosialisasi menuju perubahan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini pers dan media massa berperan sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Menyampaikan pesan kebijakan pemerintah dan berbagai instansinya yang patut diketahui masyarakat. Selain itu, sebagai komunikator dalam menggali informasi dari sumber pemerintah dengan berbagai pertimbangan termasuk visi subjektif sesuai kaedah jurnalistik berdasarkan undang-undang pers, UU No.40 tahun 1999.
Pers dan media massa adalah lembaga yang otonom, independen dengan tugas pokok sebagai watch dog, penjaga atau pengontrol pemerintah. Semangatnya seringkali ditafsirkan saling curiga dan bermusuhan. Namun, sejatinya tidaklah demikian, melainkan ditentukan dan dipengaruhi oleh persepsi terkait kekuasaan, paham demokrasi, pembagian kekuasaan, sistem check and balance, serta peranan masing-masing di tengah masyarakat.
Jacob Oetama, pimpinan umum harian Kompas dalam bukunya berjudul Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus bahkan menegaskan bahwa hubungan pers dan media massa dengan pemerintah dan instansinya, termasuk dengan masyarakat atas dasar kepentingan bersama untuk menyampaikan dan menerima pesan, serta untuk menyampaikan dan menerima kontrol sebagai upaya peningkatan pelayanan publik, kepentingan masyarakat luas. Dalam semangat kerjasama dan kekeluargaan tanpa meniadakan ataupun mengurangi posisi dan peran masing-masing, serta selalu mengutamakan dialog dalam penyelesaian setiap persoalan yang terjadi.
Dengan demikian, kebebasan ataupun peranan pers dan media massa tidaklah semata untuk dirinya sendiri, melainkan demi kepentingan publik sebagai media interaksi dalam mensosialisasikan kebijakan pemerintah yang mesti diketahui masyarakat. Arah interaksi haruslah tidak membatasi, melainkan semakin meluaskan, dan sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Patut diketahui bahwa pekerjaan pers dan media massa merupakan pekerjaan persaingan intern maupun ekstern dalam dunia industri. Sehingga persaingan menjadi suatu hal wajar. Karena itulah, para pekerja pers dan media massa pun dituntut punya semangat tak pernah puas, terus mencari, terus meneliti, terus melihat, terus mendengarkan, terus membuka hati, dan selalu berpikiran secara kritis. Artinya, pers dan media massa dengan kesadaran intelektual yang aktif, kejadian dan permasalahan disusun atau dikonstruksi menjadi berita demi tujuan pembangunan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Atau dengan kata lain, pers dan media massa dapat menemukan peluang untuk terjadinya proses kemajuan dan percerdasan bagi masyarakat apabila bersedia berpikir keras dan mengamati dengan cermat setiap persoalan publik.
Kisruh pers dan media massa yang sempat terjadi antara pemerintah, gubernur Bali, Made Mangku Pastika dengan harian Bali Post dalam bentuk somasi sejatinya tidak perlu terjadi, kalau saja masing-masing mampu memahami tugas dan fungsinya sebagai media publik, masyarakat luas. Lantas apa dampaknya ?
Dalam telaah kritis Jacob Oetama tercatat bahwa kalau berdasarkan kaedah jurnalistik tuntutan terhadap pers dan media massa secara perdata dengan ganti rugi yang tidak masuk akal, jika dituruti berarti kematian bagi penerbitan pers dan media massa. Higgga menghambat kedewasaan pers dan media massa dalam mempertimbangkan dan menggunakan kebebasannya. Artinya, pers dan media massa akan kehilangan fungsinya sebagai media kontrol, kritik, dan koreksi. Tentunya, bukan berdalih ataupun beralibi untuk mengabaikan standar dan etika profesi, karena ada hak jawab yang diberikan secara profesional sebagai pertanggungjawaban.
Dengan kata lain, kalau pers dan media massa dengan pemerintah saling bermusuhan tentunya dapat merugikan kepentingan pembangunan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat luas. Kebebasan pers dan media massa bisa hidup bukan saja karena diakomodasi dalam sistem hukum. Namun, pers dan media massa hidup dan berkembang karena masyarakat menghargainya. Mengingat pers dan media massa yang bebas memegang peranan besar dalam pembentukan karakter dan moral bangsa serta sekaligus mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam menghargai demokrasi dan hak asasi manusia.
Hal ini juga sangat sejalan dengan amandemen UUD 1945 tentang pasal 28F yang berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Tentunya, upaya itu demi menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, makna mengenai kebebasan pers dan media massa seringkali masih diperalat bagi kebutuhan maupun kepentingan di luar politik pers dan media massa. Dengan begitu pers dan media massa tidak boleh berdiam diri ataupun bungkam ketika kebebasan itu tersandera kepentingan atas dasar kebenaran dari budaya feodalisme dan kapitalisme, termasuk tekanan dari para elite politik penguasa.(*)
Membungkam Pers dan Media Massa? Antara Fakta, Somasi, dan Hak Jawab Selengkapnya