Kiriman I Gusti Putu Adi Putra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Kehidupan merupakan satu anugrah terindah yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Dikarenakan dalam kehidupan banyak sekali sesuatu yang ada didalamnya. Seperti halnya Tuhan menciptakan segala macam yang menghiasi kehidupan, baik itu berupa pepohonan, binatang maupun mahluk hidup serta manusia yang diciptakan yang paling sempurna di antara kesemuanya itu. Namun dalam kesempurnaan itu manusia masih sangat banyak kekurangan dan keburukan yang melekat di tubuh manusia itu sendiri. Seperti diketahui, kepuasan atau rasa bahagia akan tergugah bila kita mengalami peristiwa yang menyenangkan terutama peristiwa baik yang terjadi antara manusia dengan manusia.
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna ingin meningkatkan terus peradabannya, karena telah diberi akal dan budi oleh Sang Penciptanya. Setiap insan manusia yang dilahirkan ke dunia ini mempunyai kekurangan serta kelebihan pada setiap individunya, bahkan kekurangan itu sendiri akan menjadi beban yang akan selalu membayang-bayangi di setiap jalan hidupnya. Namun di balik kekurangan tersebut Sang Pencipta mempunyai tujuan tertentu yang tidak bisa diketahui oleh setiap insan manusia itu sendiri. Seberapa besar kekurangan yang ada pada diri manusia, tentunya ada kelebihan yang dimiliki, asalkan bisa mensyukuri serta memanfaatkan kekurangan tersebut niscaya akan menjadi hal yang paling berguna serta bermanfaat bagi orang lain.
Kehidupan ini tak jauh beda layaknya dua sisi mata uang yang berbeda serta mempunyai unsur yang tidak sama satu sama lain, sama juga halnya dengan sebuah konsep rwa bhineda yaitu ada laki-laki, perempuan, sifat baik serta sifat buruk yang seakan-akan selalu saling berdampingan yang tak akan bisa terpisahkan. Maka dengan itu, bagaimana sempurnanya manusia yang diciptakan oleh Hyang Maha Kuasa tetap saja masih banyak kekurangan yang ada pada dirinya. Selain dari pada itu di dalam kehidupan ini manusia banyak sekali menganggap dirinya paling sempurna, akan tetapi di balik itu semua manusia terlahir memiliki segala macam kekurangan maupun kelebihan, terlebih lagi keburukan yang selalu menyertai, baik dari sikap maupun kebiasaan yang dilakukan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa manusia diciptakan belum sepenuhnya sempurna.
Di balik semua itu kehidupan manusia satu dengan yang lainnya sudah tentu memiliki kebiasaan serta tabiat yang berbeda. Seperti apa yang dialami penata yang mempunyai kekurangan dan kebiasaan gehgean. Yang mana kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan, walaupun sudah berusaha diobati dengan segala hal. Kebiasaan penata ini sudah ada sejak bangku sekolah dasar dan masih terjadi sekarang.
Dalam kamus Bali Indonesia dijelaskan bagaimana arti kata gehgean itu sendiri, yaitu sifat suka terkejut dan menirukan secara otomatis omongan atau gerakan orang yang menimbulkannya dengan mengagetkan. Gehgean adalah suatu keadaan kejiwaan di mana sesorang menjadi seperti kesurupan dan meniru secara otomatis omongan atau gerakan orang yang menimbulkannya dengan mengagetkan penderita. Gehgean merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan dikarenakan faktor lingkungan. Gehgean adalah respons reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Gehgean bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Setiap orang gehgean punya respons yang berbeda-beda di antarnya: mengulangi perkataan orang lain, meniru gerakan orang lain, mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok), melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, seperti ; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti jongkok atau loncat, dia akan melakukan perintah itu seketika.
Melihat fenomena yang terjadi, maka munculah sebuah inspirasi dan ingin mengangkat gehgean untuk dijadikan sebuah judul komposisi karawitan dalam bentuk tabuh kreasi. Secara umum dalam kamus bahasa Bali Indonesia gehgean dapat diartikan keadaan jiwa yang mengalami kebiasaan kaget serta berbuat refleks seperti perkataan, maupun perbuatan. Selanjutnya inspirasi ini kemudian akan dituangkan ke dalam media ungkap Gong Kebyar dan menjadi sebuah wujud karya tabuh kreasi.
Dalam penuangan ide penata mencoba mentransformasikan dengan sebuah media atau alat musik Gong Kebyar sebagai media ungkap yang akan mendukung dari karya komposisi ini. Itu dikarenakan Gong Kebyar sangat kaya akan sumber inspirasi serta mendukung suasana dan karakter dari karya komposisi tabuh kreasi yang berjudul “Gehgean”. Dalam karya komposisi ini, masih berpijak pada pola- pola tradisi yang dikembangkan sesuai dengan perkembangan saat ini. Pola tradisi seperti pengawit, pengawak, pengecet serta pola-pola musikal yang di dalamnya terdapat pola kotekan, kakilitan, kebyar, gagenderan, dan yang lainnya serta didukung dengan unsur-unsur musik seperti tempo, irama, melodi, ritme, harmoni, dinamika yang akan membentuk tabuh kreasi yang berjudul ”Gehgean”.
Ide Garapan
Dalam penggarapan komposisi karawitan sudah barang tentu didasari oleh segala macam ide yang muncul yang nantinya bisa membentuk karya komposisi karawitan itu sendiri. Segala macam bentuk ide yang muncul tentunya didukung oleh segala aspek kemampuan si penatanya. Ide yang baik tanpa teknik yang mantap tidak akan menghasilkan komposisi yang baik, sebaliknya dengan teknik yang mantap setidaknya akan menghasilkan komposisi yang enak di dengar. Berbekal dan berangkat dari sana, serta melihat fenomena yang terjadi pada diri sendiri serta dengan segala kekurangan dan pengalaman pribadi yang memiliki kebiasaan gehgean, maka penata ingin mengangkat pengalaman pribadi ini dan mencoba untuk membuat sebuah karya komposisi karawitan yang berbentuk tabuh kreasi yang berjudul “Gehgean.”.
Melihat fenomena yang ada pada diri penata, maka timbulah ketertarikan penata untuk menuangkan ide ini, dan mengangkat Gong Kebyar sebagai media ungkap untuk mendukung dari komposisi karawitan yang berjudul “Gehgean” ini. Gong Kebyar merupakan salah satu dari sekian banyak barungan gamelan yang ada di Pulau Dewata ini. Barungan gamelan Gong Kebyar ini merupakan barungan gamelan yang dalam klasifikasinya termasuk barungan yang tergolong muda atau madya. Selain itu pula di dalam tatanan penyajian komposisinya sangat bebas, kendatipun ada dari beberapa bagian-bagian tertentu masih menggunakan jajar pageh atau hukum-hukum tabuh klasik. Seperti tabuh-tabuh klasik pagongan misalnya tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat, tabuh kutus dan sebagainya.
Selain dari pada itu di dalam penyajian gamelan Gong Kebyar sangat identik sekali dengan penyajian dalam bentuk karawitan instrumental yang gending atau lagunya masih bersumber dari beberapa jenis-jenis gending dari beberapa gamelan yang lainnya. Maka dari itu gamelan Gong Kebyar adalah barungan gamelan yang sangat fleksibel sifatnya.
Dipilihnya gamelan Gong Kebyar sebagai media ungkap dalam mendukung dari garapan ini, dikarenakan gamelan ini sangat mampu mendukung suasana serta karakter dari garapan komposisi “Gehgean” ini Seperti: gembira, keras, lembut, tegang, yang disesuaikan dengan alur dari pada garapan kreasi “Gehgean” ini.
Dalam karya yang berbentuk tabuh kreasi ini, penata memakai istilah bagian, yaitu bagian I, bagian II, bagian III dan seterusnya. Maka dengan hal tersebut, penata mengembangkan serta menggarap dan mewarnai dengan pola-pola garap kekinian seperti aksen-aksen, tempo, harmoni, ritme sesuai dengan perkembangan saat ini.
Konsep Garapan
Pembentukan sebuah karya sudah barang tentu didasari dengan sebuah konsep sebagai rancang bangun dari sebuah karya. Konsep dalam hal ini akan sangat membantu atau mempermudah seorang komposer atau penata dalam suatu pembentukan sebuah karya yang ingin diangkat untuk dijadikan sebuah karya musik ataupun karya dalam bidang karawitan dan mempermudah dalam mewujudkan garapan. Selain itu dalam konteks karya seni akademik, sebuah konsep garapan akan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memberikan pertanggung jawaban secara konprehensif terhadap hasil karya yang telah dibuat.
Komposisi karawitan ”Gehgean” ini merupakan sebuah karya tabuh kreasi yang secara umum konsep musikalnya masih mengacu kepada konsep garap musik tradisi, seperti halnya dalam konsep tri angga seperti ada kawitan, pengawak, serta pengecet. Berpijak dari konsep tradisi ini, tentunya akan selalu menjadi pijakan maupun pedoman yang mendasari dari sebuah karya komposisi karawitan. Pada intinya bagian-bagian yang sesuai dengan konsep tri angga seperti kepala (Pengawit), badan (pengawak), kaki (pengecet) tersebut dikembangkan melalui pengembangan unsur-unsur musikalnya. Dalam garapan tabuh kreasi Gehgean ini memakai media ungkap gamelan Gong Kebyar, itu dikarenakan gamelan ini sangat mendukung karakter maupun suasana yang diinginkan. Sesuai dengan kebutuhan dari garapan ini, penata didalam garapan ini akan menggunakan 30 atau lebih penabuh sebagai pendukung.