Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pengakuan dan penghargaan Pemda Bali kepada seseorang atau kelompok orang yang telah berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk dunia seni ditandai dengan penganugrahan piagam yang bernama Dharma Kusuma. Apresiasi pemerintah terhadap dedikasi para seniman ini, Minggu (14/8) lalu, misalnya, ditunjukkan oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika serangkaian dengan HUT Pemda Bali ke-53. Di antara 18 piagam yang diserahkan gubernur Bali itu, terdapat sebuah penghargaan untuk seniman pedalangan. Piagam untuk seniman pengabdi wayang kulit ini terasa mengetuk rasa haru, mengingat semakin tergerusnya wibawa teater boneka pipih dua dimensi ini di tengah masyarakat Bali masa kini.
Dulu, wayang kulit adalah pertunjukan favorit masyarakat. Masing-masing daerah di Bali mengembangkan kekhasan bentuk dan gaya pementasannya. Kendatipun berangkat dari sumber cerita yang sama, Ramayana dan Mahabharata, ornamentasi fisik wayang kulit Bali bervariasi, seperti berukir rumit halus di Bali Selatan dan sebaliknya agak polos di Bali Utara. Namun bagaimana pun bentuk estetik fisik wayangnya dan gaya artistik pementasannya, yang pasti, di masa lalu, pementasan wayang kulit begitu mempesona penonton. Penyajiannya dicermati penonton mulai dari kotak wayang dibuka oleh dalang hingga wayang kayonan ditancapkan pertanda pertunjukan usai. Cerita yang dikisahkan merasuk ke relung hati.
Tetapi kini, kelaziman penyebutan nama desa asal domisili para dalang terkenal tidak terdengar lagi. Sebutan Dalang Sukawati (Gianyar), Dalang Bongkasa (Badung), atau Dalang Tunjuk (Tabanan) misalnya, sudah tak bergaung lagi. Kendati di kantong-kantong seni pedalangan Bali itu wayang kulit masih dirawat, namun sebagai seni tontonan yang sarat tuntunan, seni pertujukan bayang-bayang ini telah terdepak ke pinggir. Amat menyedihkan, belakangan, sebuah pertunjukan wayang hanya ditunggui segelintir orang. Masyarakat kekinian tak sempat lagi mengunyah-ngunyah lezatnya cerita atau saripati kehidupan yang dituturkan sajian wayang. Fenomena surutnya pementasan wayang terjerembab hampir di seluruh Bali.
Namun, walaupun mendung pesimisme membayang-bayangi kelir (layar) wayang, sebagian seniman pedalangan Bali masih bersiteguh menggeluti keseniannya. I Wayan Nartha, 69 tahun, di Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, adalah salah satu dalang desa setempat menunjukkan totalitas hidupnya untuk teater wayang kulit. Karenanya, sangat pantas bila Dalang Wayan Nartha menjadi salah satu penerima piagam Dharma Kusuma tahun 2011 tersebut. Selain pantas, penghargaan ini sangat bermakna menyemangati para seniman pedalangan dan sekaligus menggedor masyarakat untuk kembali mengapresiasi wayang. Lebih-lebih bila mengingat arti penting kesenian ini sebagai seni pertunjukan adiluhung yang telah diakui Unesco, PBB, sebagai warisan budaya dunia.
Wayan Nartha adalah kakak kandung Dalang “Jengki” I Ketut Madra (almarhum). Sejak Madra meninggal pada tahun 1979, Nartha meneruskan profesi keluarganya sebagai pelaku seni pertunjukan wayang, menjadi dalang. Ketika pertunjukan wayang kulit masih mengundang antusiasisme penonton, tahun 1980-an, Dalang Nartha sering diundang pentas di tengah masyarakat Bali, baik ngewayang untuk tontonan maupun tampil dalam konteks ngayah ngewayang saat ritual keagamaan. Sebagai wujud pengabdiannya pada jagat wayang, Dalang Nartha membuat sendiri wayang yang dimainkannya. Di rumahnya, dalang yang sempat melawat ke Jerman, Jepang, dan Australia ini, kesehariannya banyak diisi dengan mengukir atau mengecat wayang buatannya.
Keteladanan Dalang Nartha yang juga patut diapresiasi dan dikagumi di tengah surutnya pertunjukan wayang adalah ketulusannya berbagi ilmu, membina generasi penerus seni pedalangan. Tanggung jawabnya mewariskan seni pedalangan pada keturunannya telah mengalir secara alamiah. Salah satu anaknya (Ketut Sudiana) dan dua orang cucunya (Natya dan Gus Dian) telah menapaki jejaknya sebagai dalang. Selain pengkaderan di lingkungan keluarganya, Dalang Nartha juga dengan penuh kesungguhan membina siapa pun dan dari mana pun orang-orang yang datang kepadanya. Bahkan peminat teater wayang dari luar negeri pun dibinanya dengan serius. Maria Bodmann, seorang pemain teater dari Amerika Serikat, telah berhasil dicetaknya menjadi dalang yang kini sudah sering pentas di negerinya.
Kaderisasi seperti yang telah diayunkan oleh Dalang Nartha tersebut patut diberi perhatian dan sangat urgen dilakukan pada seni pedalangan Bali. Sebab, di tengah masyarakat Bali, dalam konteks sosial-religius, kesenian ini masih fungsional walaupun sebagai presentasdi estetik ia kini mungkin tereduksi oleh beragamnya pilihan tontonan modern, televisi utamanya. Juga, sebagai ekpresi artistik, teater total yang telah muncul pada abad ke-11 ini perlu diselamatkan, direvitalisasi, dan ditransmisikan pada generasi mendatang. Tapi masalahnya adalah seni mendalang yang memerlukan kemampuan multiseni ini langka peminat. Di lembaga pendidikan formal yang memiliki jurusan seni pedalangan selalu cekak murid atau mahasiswa.
Krisis yang kini mendera seni pedalangan sangat mengkhawatirkan. Diperlukan kesadaran semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menanggulanginya. Penanggulangannya, rupanya, tidak cukup hanya berupa apresiasi simbolik selembar piagam saja melainkan suatu komitmen kongkret dengan perspektif sosial-kultural-religius. Wayang, nilai keindahan seni pada umumnya, berkontribusi penting membangun humanisme serta mental-spiritual manusia dan masyarakat bangsa ini.