Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Bung Karno adalah salah satu pemimpin dunia yang dikenal sebagai penyasang seni. Kasih sayang presiden pertama RI ini terhadap jagat seni begitu merasuk, termasuk terhadap kesenian dan seniman Bali. Tengoklah, sebuah garapan seni bertajuk “Sirna Ilang Kertaning Bali“ yang disajikan oleh insan-insan seni Desa Sukawati, Sabtu (26/9/2015) malam. Seni pentas yang menyodorkan tema tentang kedamaian seni tersebut, diantaranya, mengisahkan bagaimana Bung Karno membanggakan kesenian Bali kepada masyarakat dunia.
Istana Tampaksiring, menjadi arena yang intim bagi para seniman dimana para seniman terbaik Bali mendapat perhatian istimewa dari Bung Karno. Bung Karno dengan penuh kebanggaan menyuguhkan tari-tarian Bali seperti tari janger, legong keraton, tari-tarian kebyar, kepada tamu-tamu terhormatnya. Pada suatu hari di tahun 1950, Bung Karno terkagum-kagum dengan sebuah tari ciptaan baru. Kepada I Gede Manik, sang pencipta tari itu Bung Karno bertanya: “Pak Gede Manik, tari ciptaan bapak lain dari pada yang lain, bagus, bagus sekali!Tari apa namanya?” I Gede Manik menjawab polos, “Belum punya nama paduka presiden”. “Oh, begini Pak Manik, melihat dari gerak gerik semangat, dinamis dan lugasnya tari ciptaan bapak ini, aku melihat adanya gelora generasi muda yang pantang menyerah berjuang memajukan bangsanya. Oleh karena itu, tari ini aku beri nama Tarunajaya, setuju?”
Adegan pemberian nama Tarunajaya itu adalah awal pemunculan tokoh Bung Karno pada garapan seni pentas yang dibawakan oleh 150 orang pelaku seni itu. Pengayoman sang proklamator kemerdekaan Indonesia ini pada seni dan seniman Bali juga disuguhkan melalui semarak tari janger. Dilukiskan, tokoh Bung Karno berdiri gagah di tengah-tengah kemeriahan dan kegirangan muda-muda Bali menari janger. Di tengah lenggang dan lantunan janger itu, Bung Karno berucap lantang: “Hawai, para pemuda, singsingkan lengan bajumu, bangun kedigjayaan bangsamu, raihlah cita-cita setinggi langit!, untuk itu bersatulah! Ingatlah, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.
Sebagai orator ulung, Bung Karno berkontribusi menyemangati kehidupan berkesenian di Pulau Bali. Seperti, tari Tarunajaya semakin berkibar di tempat kelahirannya di Bali Utara bagian timur serta merangsang munculnya tari yang tak kalah apik dengan tari Tarunajaya yaitu tari yang juga bernuansa heroik, Wiranjaya, di wilayah Buleleng bagian barat. Tari Tarunajaya bahkan menyebar ke seluruh Bali dan hingga kini terus dipentaskan menjadi tari kebyar favorit masyarakat Bali.
Tari Tarunajaya memang mempesona. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan sungguh menggugah. Cipta tari yang cikal bakalnya yaitu tari Kebyar Legong, menguak dari Bali Utara sebelum zaman kemerdekaan itu, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Tari yang lazim dibawakan oleh penari wanita itu masih konsisten menunjukkan energisitasnya. Tarunajaya dapat dipandang sebagai representasi dari konsistensi semangat pemuda Bali dalam rona artistik. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Hayatilah, betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya. Bung Karno yang memiliki kepekaan seni nan tajam pun terhujam dibuatnya.
Sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno juga menunjukkan ketertarikan pada kesenian Bali berwajah kerakyatan. Soekarno begitu gandrung dengan tari janger. Keriangan dan penuh semangat yang menjadi karakter tari ini menggugah presiden berdarah Bali itu memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini. Saat konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, sekaa-sekaa janger yang marak di seluruh Bali dengan lantang memekikan “Ganyang Malaysia!“, baik dalam bentuk lagu maupun dalam lakon yang melengkapinya. Janger sebagai ungkapan seni juga sering diusung Bung Karno ke Istana Tampaksiring sebagai seni pentas terhormat bagi tamu-tamu negara.
Bung Karno tidak hanya sebatas membanggakan kesenian Bali kepada tamu-tamunya, namun juga terlibat memberikan saran-saran kepada pelakunya. Misalnya ketika Bung Karno mengundang grup Cak Bona pentas di Istana Tampaksiring untuk menyambut Presiden Uni Soviet Nikita Khrushchev pada tahun 1960. Sebagai sebuah pementasan seni yang disuguhkan bagi tamu kehormatan negara, dirasakan kurang sopan menampilkan tari ini dengan para pemain yang hanya memakai selembar kain hitam yang menutup bagian vital saja. Bung Karno menyarankan para pemeran tokoh-tokoh seperti Rama, Laksmana, Sita dan lain-lainnya memakai busana meniru busana tari Wayang Wong. Bung Karno juga mengusulkan agar jumlah penari yang awalnya sekitar 50 orang ditambah menjadi 100 orang yang duduk melingkar berlapis-lapis.
Tak hanya ngecak dengan 100 penari, Bung Karno lebih jauh meminta agar dapat ditampilkan cak dengan lebih dari 1000 penari untuk memeriahkan perayaan ulang tahun proklamasi ke-13 Republik Indonesia. Bahkan Bung Karno meminta penarinya harus wanita. Maka pada tahun 1958 itu berangkatlah para seniman Cak Bona I Nengah Mudarya, I Gusti Putu Wates, dan Ni Wayan Manis ke Jakarta melatih 1.500 wanita menjadi penari cak. Sukses pementasan tari cak wanita itu mendorong Bung Karno menggelarnya kembali pada pembukaan pesta olahraga Ganefo di Jakarta, pesta olahraga dari negara-negara yang dikelompokkan oleh Bung Karno sebagai new emerging forces, di tahun 1962. Pada momentum yang sama, Bung Karno juga memamerkan keindahan kesenian Bali yaitu tari Pendet yang dibawakan oleh 1000 orang gadis-gadis Bali.
Kasih sayang dan kebanggaan Bung Karno pada seni dan seniman Bali adalah penggalan kisah pengayoman seni yang menjadi bagian keseluruhan dari garapan seni pentas “Sirna Ilang Kertaning Bali“ para insan seni Sukawati. Seni Pertunjukan yang berdurasi 1,5 jam ini diawali bencana kehidupan manusia yang didera krisis moral. Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja kembali menata harmoni kehidupan dengan damainya keindahan seni. Dikisahkanlah kemudian masa keemasan kesenian Bali di abad ke-16 pada pemerintahan Dalem Waturenggong hingga atsmosfer kehidupan seni di Bali pada zaman republik, khususnya di era kepemimpinan Sang Putra Fajar, Bung Karno.