Kiriman : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (Dosen Program Studi Pedalangan)
ABSTRAK
Mencermati kondisi masa kini, para dalang di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, dibalik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman (khususnya dalang) masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi.
Masalah perkembangan pertunjukan wayang pada hakekatnya meliputi tiga komponen yaitu, konsep estetis, teknik kesenian, dan kelompok sosial yang merupakan wadah dimana seni pertunjukan wayang berada (Soetarno, 1999: 2). Konsep estetis adalah nilai-nilai keindahan yang menjadi dasar dari suatu ekspresi pertunjukan wayang, serta yang dianut oleh bersama oleh para dalang maupun anggota masyarakat pendukung pewayangan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa nilai-nilai estetis dalam pakeliran sangat terpelihara dan dihormati serta diterima oleh para dalang dan para pengamat atau pendukung pakeliran wayang. Kedua, bahwa perkembangan dunia pewayangan dalam kondisi masyarakat yang bersifat kota yang akan menuju ke masyarakat industri diperlukan teknik berkesenian yang tinggi, atau yang rumit/canggih (sophisticated), artinya teknik kesenian yang tidak membodohkan masyarakat bangsa. Misalnya mulai dari pemilihan tema lakon, penggarapan detail jalannya cerita, garapan isi, iringan pakeliran, tetikesan/sabet dan sebagainya. Teknik yang maju tentu akan memerlukan pemikiran yang matang, fantasi yang hidup, perasaan yang kaya dan intuisi yang tajam. Ketiga, adalah golongan sosial yang menjadi pendukung kehidupan pewayangan. Suatu kesenian sebagai pranata sosial tidak hidup di awang-awang tetapi ada golongan yang menjadi pendukung, pembina, dan penggerak sekaligus sebagai konsumen (Soetarno, 1999: 4-9).
Tulisan kecil ini akan dicoba mengamati ideologi dan strategi seniman dalang dalam mencermati format pertunjukan wayang baik pakeliran tradisi, inovasi serta eksperimen atas dasar konsep estetikanya. Diawali dari wayang tradisi sebagai upaya pelestarian, kemudian akan dibahas inovasi pewayangan untuk mengembangkan khasanah genre wayang dan model-model lakon yang bisa ditransformasikan dalam pewayangan. Dan ditelaah pula eksperimen-eksperimen pewayangan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan garap sebagai sebuah proses kreatif akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi.
Selengkapnya dapat diunduh disini