Kiriman I Made Arsa Wijaya, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
I Nyoman Sutama lahir di Jembrana, 3 Januari 1965. Pria 46 tahun ini menikah tahun 1992 dan di karuniai 2 orang anak. Ia sekarang tinggal di Jalan Dewi Supraba, Gang I, No. 28, Denpasar. Dalam kesenian Jegog, Sutama merupakan seorang tokoh yang sangat penting dan sangat berpengaruh.
Sejak kecil, I Nyoman Sutama memang sudah berniat ingin belajar bermain gamelan. Ia tertarik belajar megambel ketika mendengar gending Legong pada saat melihat orang belajar menari. Ketertarikannya terhadap seni karawitan, tentang cara membuat gending, dan teknik-teknik dalam bermain gamelan membuatnya memilih kuliah di ASTI Denpasar. Akan tetapi, pada saat itu ia belum memiliki skill yang memadai dalam hal bermain gamelan. Pada saat tes praktek untuk kuliah di ASTI, ia di tes oleh bapak I Nyoman Windha. Ia disuruh bermain Gangsa, Kendang, dan Gender Wayang. Pada saai itu ia hanya bisa memainkan Gangsa dan Gender Wayang saja, tetapi masih dalam teknik yang sederhana. Selanjutnya, pada tes interview, ia dites oleh bapak I Made Bandem. Pada saat tes ini, Sutama sempat memohon untuk diterima di ASTI, karena menyadari dirinya belum bisa untuk bermain gamelan. Saat pengumuman tes, Sutama merasa takut jika ia tidak diterima di ASTI. Namun, akhirnya ia diterima dengan urutan paling akhir.
Setelah kuliah di ASTI, ia belajar dengan tekun agar bisa menguasai teknik permainan gamelan Bali dengan baik. Ia sempat belajar bermain kendang dengan Almarhum Pak Lemping, dia merupakan waker (pekerja) di ASTI. Dia sempat di ejek sebagai tukang bersih-bersih oleh teman-temannya karena dia setiap hari membantu Almarhum Pak Lemping membersihkan ruangan. Namun hal tersebut tidak dihiraukan olehnya. Dia tetap membantu Almarhum Pak Lemping karena keinginan yang besar untuk diajarkan bermain kendang. Selain dengan Almarhum Pak Lemping, dia juga pernah belajar bermain kendang dan belajar membuat notasi dengan bapak I Made Murna. Selain belajar bermain kendang dan belajar mebuat notasi, ia juga belajar untuk membuat gending dengan bapak I Nyoman Windha dan bapak I Wayan Suweca. Dari semester empat, Sutama sudah menjadi penabuh inti ASTI Denpasar. Dia di ajak untuk misi kesenian di dalam dan di luar negeri. Madura, Jakarta, Surabaya, Bandung, Australia, dan Jerman adalah tempat yang ia pernah kunjungi selama kuliah di ASTI.
Sutama meraih gelar S.SKar di ASTI Denpasar dengan garapan tabuh kreasi Utsaha dan sendratari Men Brayut. Sutama boleh bangga, karena tabuh kreasi Utsaha yang ia buat masuk dalam kaset ASTI vol.16. Setelah tamat dari ASTI, ia disuruh untuk melatih Gong Kebyar Desa Pengeragoan (Jembrana) dalam rangka PKB. Sampai sekarang Sutama sering menciptakan tabuh dan tari kreasi dalam acara PKB duta Kabupaten Jembrana.
Pada tahun 1988-2002, Sutama bekerja sebagai komposer di Suar Agung. Sebagai tahap percobaan, Sutama disuruh membuat enam buah gending kreasi yang akan dijadikan album “Suara Bambu Jembrana” dengan menggunakan gamelan Gerantang Pelog. Setelah itu, Sutama terus diajak untuk bermain gamelan Jegog bersama sanggar Suar Agung, namun pada saat itu gending-gending Jegog masih berupa gending yang di ambil dari gending Gong Kebyar. Karena merasa kurang cocok, akhirnya Sutama berinisatif untuk tidak menggunakan gending-gending Gong Kebyar lagi. Dia membuat gending kreasi yang khas dengan gamelan Jegog. Karya pertama Jegog kreasi berjudul Dusta Lina. Selain sebagai pelopor adanya tabuh dan tari kreasi pada Jegog, ia juga adalah seseorang yang membuat permainan Jegog dilakukan dengan cara berdiri, yang dulunya dilakukan dengan cara duduk. Hal ini dilakukan karena ia memiliki pertimbangan agar pemain Kendang bisa memimpin dan melihat dengan jelas penabuh yang dipimpinnya. Pada waktu permainan Jegog dilakukan dengan cara duduk, pemain Kendang sangat susah untuk memimpin para pemain gamalan Jegog karena para pemain gamelan Jegog duduk lebih tinggi sedangkan pemain Kendang duduk di bawah. Akhirnya, sampai sekarang permainan Jegog dilakukan dengan cara berdiri. Pengalaman bermain gamelan Jegog ke luar negeri pun banyak ia dapatkan, seperti ke Jepang, Prancis, dan Jerman. 26 karya telah ia buat di Suar Agung, itulah awal kesuksesan Sutama dalam bidang seni karawitan, khususnya gamelan Jegog.
Setelah di Suar Agung, Sutama melanjutkan karirnya di Jimbarwana pada tahun 2002-2005. Dalam waktu tiga bulan, Sutama dituntut untuk bisa menyelesaikan tujuh buah gending kreasi yang akan dibawa pentas ke Jepang. Dengan keuletannya berkarya, ia mampu menggarap tujuh buah gending yang mampu menggetarkan masyarakat Jepang.
Tahun 2006-sekarang, Sutama bekerja sebagai pelatih dan komposer di Yudistira, disini dia telah memiliki sepuluh buah gending yang sudah dibuatkan album yang berjudul Yudistira. Disini Sutama merasa sangat senang, karena memiliki penabuh yang cukup hebat dalam bermain gamelan Jegog. Pengalamannya bermain Jegog disini hanya dapat pergi ke luar Bali seperti ke Lampung dan Ponorogo. Selain itu Yudistira juga sering pentas dalam acara PKB dan juga pentas di villa di daerah Canggu.
Selain di Yudistira, Sutama merupakan seorang pelatih dan komposer untuk sanggar Swar Dwi Stri. Sanggar ini merupakan perkumpulan ibu-ibu Jepang yang ingin belajar dan ikut melestarikan seni budaya Bali khususnya gamelan Gerantang Pelog.
I Nyoman Sutama Tokoh Seni di Kabupaten Jembrana selengkapnya