Kiriman: Ida Bagus Surya Peradantha, SSn., MSn
Kini kita menginjak pada hubungan antara hidung, bau-bauan dan dunia seni. Hidung sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya merupakan panca indera manusia yang sesungguhnya memiliki “kedudukan” sejajar atau sama pentingnya dengan indera manusia yang lainnya dalam sudut pandang tertentu, misalnya religi. Namun indera penciuman secara jelas dalam buku ini dianggap sebagai “malaikat jatuh” serta ada indikasi untuk memandangnya dengan sebelah mata.
Disebut sebagai malaikat jatuh pada bab ini, diperlukan sebuah interpretasi makna untuk membahasnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, ada anggapan dari beberapa orang untuk menolak atau meremehkan indera yang satu ini. Secara lahiriah ia merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri, sebab telah melengkapi tubuh ini sehingga dapat dikatakan memiliki panca indera. Itu yang disebut sebagai “malaikat”. Ia disebut jatuh karena ia diremehkan, tidak dimengerti makna dari sebuah indera penciuman baik secara lahiriah maupun secara maknawi. Padahal, ada data yang patut diperhatikan, jika seseorang melatih penciumannya, akan sangat peka dalam mencium sesuatu, bahkan sampai ratusan ribu jenis bau. Bila tidak ada indera penciuman, maka mungkin saja tidak akan ada ahli parfum atau tukang campur whiski.
Dalam dunia seni pertunjukan tradisional Bali, kita tidak bisa begitu saja meremehkan kehadiran indera yang satu ini. Kita dapat mengingat ketika pementasan tari Sanghyang Dedari misalnya, di mana kedua penari yang telah dianggap siap menjadi “media” turunnya kekuatan suci yang dimohonkan oleh lingkungan masyarakat tertentu akan diupacarai terlebih dahulu. Dalam rangkaian upacara tersebut, terdapat ritual “madudus” atau menghirup bau kemenyan yang disertai mantra pemanggilan roh suci oleh seorang pemangku. Inilah proses inti daripada penurunan kekuatan suci dalam Tari Sang Hyang Dedari. Tanpa proses ini, tidak mungkin roh suci yang dimohon untuk “meminjam” raga dari para penari berkenan untuk hadir. Maka dari itu, hal ini dapat dijadikan suatu bukti penting bahwa indera penciuman memiliki peran yang signifikan dalam khasanah kesenian di Bali.
Hal lain yang dapat menunjukkan bau-bauan serta indera penciuman menjadi suatu hal yang penting (atau dapat menyejajarkan diri dengan indera lain) dalam seni di Bali, adalah ketika para seniman (tidak hanya penari), mengenakan bunga sebagai penunjang performance-nya di atas pentas. Mengapa bunga? Kita mengingat kembali, seni dalam tradisi di Bali mendapat pengaruh yang cukup kuat dari kegiatan ritual keagamaan. Dalam keyakinan Hindu di Bali, ada tiga unsur penting dalam upacara yaitu api, air dan bunga. Bunga selalu diidentikkan dengan keharuman. Dengan keharuman, seseorang diharapkan dapat memancarkan aura yang baik, menarik dan indah. Secara metaforis, seseorang yang mengenakan bunga di telinga, disematkan di rambutnya atau dengan cara penggunaan yang logis, merupakan penegasan akan suatu keharuman yang dapat menambah daya tarik terhadap penonton atau oang lain. Bunga juga lambang persembahan cinta kasih pada sesuatu. Bila dalam ritual agama bunga dipakai untuk menyatakan rasa bakti dan cinta kepada Tuhan, maka dalam seni bunga digunakan untuk menyatakan rasa gembira dan suka cita dalam mempersembahkan suatu pertunjukan. Terlebih lagi, dalam sebagian besar tari penyambutan seperti tari Sekar Jagat (ciptaan NLN. Swasthi Widjaja Bandem), tari Selat Segara (ciptaan I Gst. Ayu Srinatih), tari Cittarasmi (ciptaan Ida Ayu Wimba Ruspawati), menggunakan bunga sebagai properti tariannya. Demikian pula, tari-tari maskot yang dimiliki oleh beberapa daerah di Bali menggunakan nama “Sekar” misalnya Sekar Jepun (tari maskot Kabupaten Badung ciptaan Ida Ayu Wimba Ruspawati), Tari Sekar Sandat (tari maskot kab.Bangli), serta Sekar Jempiring (tari maskot Kota Denpasar ciptaan I.A. Arya Satyani) yang berarti bunga. Hal ini pun menunjukkan betapa bunga dengan simbol keharumannya merupakan persembahan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh hidung sebagai indera penciuman, namun telah merambah ke dimensi yang lebih jauh yaitu secara simbolik atau maknawi.
Tidak jarang pula ketika penulis amati (baik saat terlibat menari atau tidak), para penari yang akan tampil di atas pentas sering kali mempersiapkan diri dengan menyemprotkan parfum ke seluruh badan. Meskipun penonton berada beberapa jauh di depan atau di samping, ternyata tujuan utamanya tidaklah untuk dibaui oleh para penonton tersebut, melainkan memancarkan keharuman antar para penari (bila menari berkelompok), atau sekedar ingin menambah kepercayaan dirinya bila menari sendiri. Termasuk pula, usaha para penari untuk memotong bulu ketiak yang panjang. Apakah maksudnya hal ini? Ternyata tidak hanya untuk terlihat tampil bersih dan rapi, melainkan menghilangkan kesan bau badan yang kurang sedap. Sebagaimana konotasi yang telah berkembang, bulu ketiak yang panjang dan lebat dianggap sebagai sarang bakteri penyebab bau badan. Otak manusia sudah mengunci dogma ini pada jaman sekarang. Maka dari itu, untuk meminimalisir bau badan yang kurang sedap tersebut, para penari rela untuk memangkas habis bulu ketiaknya agar terlihat lebih bersih dan tentu saja bebas dari bau badan.
Bau, enak ataupun tidak enak, harum atau tidak harum, entah ini natural atau buatan pabrik, merupakan elemen pembentuk presentasi diri dan konstruksi orang lain. Dengan ini orang akan merasa tertarik atau saling menolak. Tidak jarang,kesan pertama seseorang akan sesuatu yang baru dikenalnya berawal dari indera penciuman ini.
Pemeran utama bau-bauan dalam budaya kita adalah estetika. Orang menghancurkan bau lama dan menciptakan bau yang baru agar tercium baik, manis, menjadi cantik dan menarik, dalam rangka membangun kesan pertama yang baik. Seperti pada hipotesis fundamental yang disebutkan di awal, apa yang berbau enak pasti baik dan yang tidak enak berarti jahat atau tidak baik. Memang, itu bukanlah bersifat mutlak, namun perlu dicatat bahwa estetika semacam itu memiliki akar yang sangat kuat hingga bertahan sampai sekarang. Ia merupakan konstruksi awal dari kesan seseorang.
Penciuman memainkan peranan penting namun kerap kali tidak diperhatikan dalam budaya kita. Ia berperan begitu vital dalam berbagai aspek kehidupan seperti aspek ekonomi, politik, memiliki kekuatan estetik, secara seksualitas, spiritual, emosional, seni budaya dan secara moral. Penciuman dapat dikatakan sebagai komponen pembentuk individu dan identitas kelompok, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Jadi ia layak untuk dipertahankan, dimengerti dan digunakan sebagaimana seharusnya ia sebagai indera penciuman.