by admin | Dec 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Surya Peradantha, SSn., MSn
Kini kita menginjak pada hubungan antara hidung, bau-bauan dan dunia seni. Hidung sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya merupakan panca indera manusia yang sesungguhnya memiliki “kedudukan” sejajar atau sama pentingnya dengan indera manusia yang lainnya dalam sudut pandang tertentu, misalnya religi. Namun indera penciuman secara jelas dalam buku ini dianggap sebagai “malaikat jatuh” serta ada indikasi untuk memandangnya dengan sebelah mata.
Disebut sebagai malaikat jatuh pada bab ini, diperlukan sebuah interpretasi makna untuk membahasnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, ada anggapan dari beberapa orang untuk menolak atau meremehkan indera yang satu ini. Secara lahiriah ia merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri, sebab telah melengkapi tubuh ini sehingga dapat dikatakan memiliki panca indera. Itu yang disebut sebagai “malaikat”. Ia disebut jatuh karena ia diremehkan, tidak dimengerti makna dari sebuah indera penciuman baik secara lahiriah maupun secara maknawi. Padahal, ada data yang patut diperhatikan, jika seseorang melatih penciumannya, akan sangat peka dalam mencium sesuatu, bahkan sampai ratusan ribu jenis bau. Bila tidak ada indera penciuman, maka mungkin saja tidak akan ada ahli parfum atau tukang campur whiski.
Dalam dunia seni pertunjukan tradisional Bali, kita tidak bisa begitu saja meremehkan kehadiran indera yang satu ini. Kita dapat mengingat ketika pementasan tari Sanghyang Dedari misalnya, di mana kedua penari yang telah dianggap siap menjadi “media” turunnya kekuatan suci yang dimohonkan oleh lingkungan masyarakat tertentu akan diupacarai terlebih dahulu. Dalam rangkaian upacara tersebut, terdapat ritual “madudus” atau menghirup bau kemenyan yang disertai mantra pemanggilan roh suci oleh seorang pemangku. Inilah proses inti daripada penurunan kekuatan suci dalam Tari Sang Hyang Dedari. Tanpa proses ini, tidak mungkin roh suci yang dimohon untuk “meminjam” raga dari para penari berkenan untuk hadir. Maka dari itu, hal ini dapat dijadikan suatu bukti penting bahwa indera penciuman memiliki peran yang signifikan dalam khasanah kesenian di Bali.
Hal lain yang dapat menunjukkan bau-bauan serta indera penciuman menjadi suatu hal yang penting (atau dapat menyejajarkan diri dengan indera lain) dalam seni di Bali, adalah ketika para seniman (tidak hanya penari), mengenakan bunga sebagai penunjang performance-nya di atas pentas. Mengapa bunga? Kita mengingat kembali, seni dalam tradisi di Bali mendapat pengaruh yang cukup kuat dari kegiatan ritual keagamaan. Dalam keyakinan Hindu di Bali, ada tiga unsur penting dalam upacara yaitu api, air dan bunga. Bunga selalu diidentikkan dengan keharuman. Dengan keharuman, seseorang diharapkan dapat memancarkan aura yang baik, menarik dan indah. Secara metaforis, seseorang yang mengenakan bunga di telinga, disematkan di rambutnya atau dengan cara penggunaan yang logis, merupakan penegasan akan suatu keharuman yang dapat menambah daya tarik terhadap penonton atau oang lain. Bunga juga lambang persembahan cinta kasih pada sesuatu. Bila dalam ritual agama bunga dipakai untuk menyatakan rasa bakti dan cinta kepada Tuhan, maka dalam seni bunga digunakan untuk menyatakan rasa gembira dan suka cita dalam mempersembahkan suatu pertunjukan. Terlebih lagi, dalam sebagian besar tari penyambutan seperti tari Sekar Jagat (ciptaan NLN. Swasthi Widjaja Bandem), tari Selat Segara (ciptaan I Gst. Ayu Srinatih), tari Cittarasmi (ciptaan Ida Ayu Wimba Ruspawati), menggunakan bunga sebagai properti tariannya. Demikian pula, tari-tari maskot yang dimiliki oleh beberapa daerah di Bali menggunakan nama “Sekar” misalnya Sekar Jepun (tari maskot Kabupaten Badung ciptaan Ida Ayu Wimba Ruspawati), Tari Sekar Sandat (tari maskot kab.Bangli), serta Sekar Jempiring (tari maskot Kota Denpasar ciptaan I.A. Arya Satyani) yang berarti bunga. Hal ini pun menunjukkan betapa bunga dengan simbol keharumannya merupakan persembahan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh hidung sebagai indera penciuman, namun telah merambah ke dimensi yang lebih jauh yaitu secara simbolik atau maknawi.
Tidak jarang pula ketika penulis amati (baik saat terlibat menari atau tidak), para penari yang akan tampil di atas pentas sering kali mempersiapkan diri dengan menyemprotkan parfum ke seluruh badan. Meskipun penonton berada beberapa jauh di depan atau di samping, ternyata tujuan utamanya tidaklah untuk dibaui oleh para penonton tersebut, melainkan memancarkan keharuman antar para penari (bila menari berkelompok), atau sekedar ingin menambah kepercayaan dirinya bila menari sendiri. Termasuk pula, usaha para penari untuk memotong bulu ketiak yang panjang. Apakah maksudnya hal ini? Ternyata tidak hanya untuk terlihat tampil bersih dan rapi, melainkan menghilangkan kesan bau badan yang kurang sedap. Sebagaimana konotasi yang telah berkembang, bulu ketiak yang panjang dan lebat dianggap sebagai sarang bakteri penyebab bau badan. Otak manusia sudah mengunci dogma ini pada jaman sekarang. Maka dari itu, untuk meminimalisir bau badan yang kurang sedap tersebut, para penari rela untuk memangkas habis bulu ketiaknya agar terlihat lebih bersih dan tentu saja bebas dari bau badan.
Bau, enak ataupun tidak enak, harum atau tidak harum, entah ini natural atau buatan pabrik, merupakan elemen pembentuk presentasi diri dan konstruksi orang lain. Dengan ini orang akan merasa tertarik atau saling menolak. Tidak jarang,kesan pertama seseorang akan sesuatu yang baru dikenalnya berawal dari indera penciuman ini.
Pemeran utama bau-bauan dalam budaya kita adalah estetika. Orang menghancurkan bau lama dan menciptakan bau yang baru agar tercium baik, manis, menjadi cantik dan menarik, dalam rangka membangun kesan pertama yang baik. Seperti pada hipotesis fundamental yang disebutkan di awal, apa yang berbau enak pasti baik dan yang tidak enak berarti jahat atau tidak baik. Memang, itu bukanlah bersifat mutlak, namun perlu dicatat bahwa estetika semacam itu memiliki akar yang sangat kuat hingga bertahan sampai sekarang. Ia merupakan konstruksi awal dari kesan seseorang.
Penciuman memainkan peranan penting namun kerap kali tidak diperhatikan dalam budaya kita. Ia berperan begitu vital dalam berbagai aspek kehidupan seperti aspek ekonomi, politik, memiliki kekuatan estetik, secara seksualitas, spiritual, emosional, seni budaya dan secara moral. Penciuman dapat dikatakan sebagai komponen pembentuk individu dan identitas kelompok, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Jadi ia layak untuk dipertahankan, dimengerti dan digunakan sebagaimana seharusnya ia sebagai indera penciuman.
Hidung, Bau-Bauan Dan Seni selengkapnya
by admin | Dec 14, 2011 | Artikel, Berita
oleh: Drs. I Made Jana, M.Sn., Dosen Kriya Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain Internet Seminar Indonesia Denpasar
Membicarakan seni lukis Kamasan sebagai salah satu manifestasi percampuran antara seni lukis tradisi Indonesia dengan pengaruh Barat, tidak lepas dari perkembangan peradaban bangsa Indonesia itu sendiri. Berdasarkan catatan sejarah Indonesia menunjukan bahwa sebelum munculnya pengaruh Hindu di Bali, masyarakat Bali di masa lampau telah meletakan dasar yang kuat bagi perkembangan kebudayaan Bali selanjutnya dan ternyata telah turut memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia. Untuk mengetahui dasar-dasar kebudayaan Bali, harus dicari kembali di dalam zaman prasejarah Bali yang merupakan awal sejarah masyarakat Bali selanjutnya.
Kalau pada zaman Dharmawangsa sampai zaman Majapahit berkembang sastra kekawin Mahabharata dan Ramayana serta kidung Panji, pada zaman raja-raja Bali kakawin dan kidung diperbanyak oleh pujangga Istana, termasuk terjadi transformasi sastra kekawin dan kidung menjadi sekar macepat, suatu pengalihan sastra kawi menjadi sastra Bali dalam bentuk puisi tembang. Diduga saat itulah muncul peparikan Adiparwa, Bharatayuda, Narasoma, dan Bomantaka yang diciptakan berdasarkan wiracarita Mahabharata.
Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, datanglah seorang pendeta dan sastrawan dari Majapahit, yang bernama; Danghyang Nirartha yang memperkenalkan arsitektur Pura (tempat persembahyangan ) dan Puri (sebagai Istana Raja). Selain itu Danghyang Nirartha telah meninggalkan sejumlah karya dalam bentuk lontar. Pertumbuhan dan perkembangan kesenian pada saat itu ditandai dengan tumbuhnya pusat kesenian di sekitar Istana. Seni yang muncul saat itu merupakan seni keagamaan (religi), dan seni untuk puri (seni keraton). Selain Penciptaan karya seni di atas, kemudian menjadi semakin kompleks, pada masa itu alat-alat perlenggkapan sesajen, seperti lamak, lis, tamiang, penjor, dan bentuk-bentuk jejahitan yang lain dibuat dari daun kelapa atau daun lontar yang ditata, dirangkai menjadi semakin rumit dan artistik. Upacara-upacara dibuat lebih besar untuk mengagungkan kekuasaan raja dan kemakmuran rakyat, termasuk pembuatan perlengkapan alat ngaben yang disebut petulangan, seperti; lembu, gajah, mina, singa, macan, bebean, geganjan, peti mas, bekang, dan bentuk binatang lainya, serta bade atau wadah (menara) dibuat sangat megah sebagai ekspresi karya seni yang bermutu. Bahan-bahannya dibuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, kertas mas dengan jenis-jenis ukiran yang menarik. Meninjau perkembangan seni lukis Bali pada masa kejayaan raja-raja Bali, dewasa itu muncul gaya Kamasan, karya lukis berbentuk ornamen dari wayang yang temanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana. Teknik pemecahan ruang dan komposisinya menyerupai pertunjukan wayang kulit di atas kelir. Lukisan wayang ini berperan juga dalam bangunan pura dan puri sebagai penghias langit-langit, sebagai gambar dinding, atau sebagai lukisan alat ritual, seperti lelontek dan ider-ider.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kontak Bali dengan dunia Barat, yang ditandai dengan jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada tahun 1906-1908. Kedatangan Belanda telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali yang tadinya lamban, bersifat tradisional, dihadapkan kepada hal-hal yang sama sekali baru, cara berpikir rasional serba cepat. Dalam hal ini diperkenalkan sistem pendidikan, didirikan sekolah-sekolah, sistem pemerintahan, gedung perkantoran dengan gaya Belanda, serta muncul pula motif hias yang disebut patra Holanda.
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Bali, pada tahun 1930-an kesenian Bali, seni rupa khususnya mengalami perubahan bentuk dan isi. Apabila di zaman raja-raja Bali, pusat kesenian berada di Klungkung dan sekitarnya, pada masa pemerintahan Belanda pusat kegiatan seni rupa berpindah ke Ubud, Gianyar. Perpindahan ini membawa akibat perubahan gaya dan tema terhadap perkembangan seni rupa Bali. hal ini ditandai oleh kedatangan dua pelukis, Walter Spies yang berkebangsaan Jerman, dan Rudolf Bonnet, berkebangsan Belanda yang menetap di Ubud.
Berdasarkan perkembangan sejarah kebudayaan Bali, dari zaman pra-sejarah, zaman raja-raja di Bali, maupun pada zaman pemerinhan Belanda dapat memberikan gambaran kepada kita terkait dengan topik yang akan dibahas, dalam hal ini dapat ditelusuri bagaimana tradisi-tradisi kebudayaan Jawa Hindu dapat berkembang dengan baik ke dalam kebudayaan Bali, khususnya dalam bidang kesenian. Dan perkembangan lebih lanjut dengan datangnya dua tokoh seniman Barat, membuat kesenian Bali (seni rupa, seni pahat, seni lukis), menjadi lebih dinamis.
Seni lukis Kamasan Sebagai Salah Satu Manifestasi Percampuran Antara Seni Lukis Tradisi Indonesia dengan Pengaruh Barat selengkapnya
by admin | Dec 13, 2011 | Artikel, Berita
Oleh: I Made Sumantra, SSn., MSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.
Keahlian Ngakan weda melukis di atas cagkang telor sungguh layak mendapat acungan jempol. Di permukaan telur yang begitu kecil dan tipis, ia bisa menumpahkan kreasinya mengenal tradisi kebudayaan Bali. Dengan potensi yang tak pernah padam, pria yang semula melukis di atas kertas dan kanvas, kini sering tampak asyik “mendandani” cangkang telur.
Tiga jenis telur yang kerap digunakan sebagai media lukisnya adalah telur bebek, telur burung kaswari, dan telur burung unta. Perbedaannya hanya dalam hal penggarapannya. Telur bebek dan telur burung kaswari yang ukurannya tidak terlalu besar, oleh Ngakan akan dilukisnya. Sementara telur burung unta yang ukurannya lebih besar dengan tekstur cangkang yang lebih keras, selain dilukis juga dipahatnya.
Memahat cangkang telur yang tipis merupakan suatu pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam pengerjaannya, Ngakan harus ekstra hati-hati. “Jika tidak, cangkang bisa retak, bahkan pecah. Antara memahat dan melukis, tingkat kesulitannya sungguh berbeda. Dalam memahat dibutuhkan keahlian khusus. Melukis cangkang telur Ngakan membutuhkan waktu seminggu sampai sepuluh hari, tetapi melukis dan memahat sebutir telur unta memakan waktu satu bulan. Hanya karena bentuknya yang bulat maka saat dipahat, cangkan telur harus bolak balik diputar.
Cangkan-cangkang telur polos yang dibelinya dari pasar Sukawati dengan harga sekitar Rp 30.000,- untuk telur bebek dan telur kaswari, serta Rp 150,000,- untuk telur burung unta. Cangkang-cangkang itu awalnya dilukis dengan cat acrylic. Setelah mulai pandai melukis ia memahatnya. Meski tidak diberi warna, namun hasil pahatannya itu tidak kalah menarik dengan yang dilukis dengan cat acrylic.
Bila mengamati hasil karyanya, kita akan berdecak kagum, karena ia “mendandani” cangkang-cangkang telur dengan berbagai teknik. Sebagian cangkang ada yang sengaja dilubangi, sebagian lagi bahkan ada yang dikikis ke dalam. Ada pula bagian yang dipahat tipis. Namun, mata kita akan menangkap nuansa telur lukis itu dengan permukaan yang datar saja.
Ramayana dan Bharatayuda merupakan kisah-kisah pewayangan yang pernah dipahat Ngakan di permukaan cangkang-cangkang telurnya. Hal yang menarik disetiap guratan kuasnya, baik di kanvas maupun cangkang telur, selalu memilih warna-warna cerah. Dengan warna-warna cerah itu Ngakan “merekam” adat dan kebudayaan masyarakat Bali. Suasana masyarakat yang sedang memanen padi, hiruk-pikuknya suasana di pasar tradisional, dan lenggak-lenggok para penari Bali, kerap menghiasi cangkang telurnya.
Dari sekian banyak karyanya, melukiskan barong merupakan yang paling tinggi tingkat kesulitannya. Melukis bulu barong yang amat lebat dan halus, membutuhkan kejelian tersendiri pada saat ia mengguratkan kuasnya. Dan dapat dipastikan pengerjaannya pun memakan waktu lama.
Bakat Ngakan sudah terlihat, semenjak ia duduk di bangku SD. Kendati ia baru bisa melukis di atas media kertas, namun hasil lukisannya sudah memukau banyak orang. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya ia sudah berani menawarkan lukisannya itu di beberapa art shop maupun gallery yang banyak bertebaran di Desa Ubud-Bali.
Baranjak remaja, bakat melukisnya semakin hari semakin terasah. Tahun 1994 ketika duduk di bangku SMA, ia sudah berani menumpahkan imajinasinya ke atas kanvas. Pelajaran melukis didapatnya dari para tetangganya yang berpropesi sebagai pelukis. Kreativitasnya terus berkelana, sampai suatu hari ia tertantang melukis cangkang telur yang unik dan cantik.
Seluruh hasil karyanya tidak bisa dikatagorikan sebagai barang yang mahal. Harga jualnya beragam, terutama lukisan telurnya. Selain pengerjaannya sangat rumit, modalnya pun lumayan besar. Cukup beralasan kalau ia melepas cangkang telur bebek yang sudah dilukis flora dan fauna yang indah harganya Rp 100. 000,-. Sementara telur burung kaswari yang sudah dilukis dijual dengan harga RP 400.000,-. Cangkang telur burung unta yang sudah “didandai” jauh lebih mahal harganya. Selain karena harga cangkang polosnya yang sudah mahal, pekerjaannya pun “nyelimet”.
Ngakan Weda adalah satu dari sekian banyak pengrajin kita yang mempunyai potensi yang luar biasa. Penguasaan teknik yang handal didukung oleh kekayaan sumber bahan baku dan kekayaan budaya semakin memperkuat kemampuan bangsa Indonesia dalam seni kriya. Namun semua yang dimiliki tidak cukup untuk menjawab kebutuhan dunia dalam tatanan masyarakat dengan pasar global.
Sebagian besar pengrajin Indonesia masih belum dapat menikmati hasil jerih payahnya secara ekonomi. Panjangnya rantai ekonomi dalam perdagangan kriya yang dimulai dari pengrajin, pengepul, pedagang basar sampai dengan eksportir dan tidak berlakunya azas “fair trade” menjadi penyebab dari kesenjangan pembagian keuntungan. Selain itu masih banyak permasalahan lain yang terkait dengan seni kriya Indonesia.
Melihat potensi kekayaan seni kriya Indonesia yang begitu tinggi menjadi sangat penting untuk dikembangkan menjadi kontributor utama dalam era ekonomi kreatif ini. Karena dari semua nomenklatur ekonomi kreatif yang ada seni kriya tidak tergantung pada teknologi tinggi baik perangkat keras maupun perangkat lunak yang mahal harganya. Seni kriya sangat sesuai dengan kondisi sosial-budaya Indonesia dan dapat mendorong penigkatan ekonomi kerakyatan. Industri kriya dapat dikembangkan secara padat karya sehingga dapat memberikan pekerjaan kepada masyarakat.
Dari sisi craftsmanship para pengrajin Indonesia sangat unggul, namun tanpa didukung dengan kemampuan membaca pasar, dan trend disain keahlian tersebut menjadi sia-sia. Seperti yang terjadi saat ini banyak orang asing yang memanfaatkan keahlian para pengrajin Indonesia untuk menciptakan produk-produk barkualitas berharga mahal. Orang-orang asing ini datang kesuatu daerah yang mempunyai keahlian khusus dan kemudian memesan produk kriya dengan disain tertentu. Mereka diminta membuat sebagian dari disain produk itu dan bagian lain dikerjakan di tempat lain. Sehingga para pengrajin tidak pernah tahu hasil akhir dari disain yang mereka kerjakan secara utuh. Dengan dalih mencegah pencurian disain hal tersebut dilakukan oleh orang-orang asing tersebut. Di sisi lain para pengrajin Indonesia yang paling berkeringat hanya menjadi buruh dan paling sedikit mendapat keuntungan ekonomi maupun alih teknologi baik di bidang disain maupun pemasaran. Sementara orang-orang asing dengan jaringan dan modal yang mereka punyai mengeruk banyak keuntungan.
Modus lain yang terjadi yaitu dengan mengekspor para pengrajin keluar negeri seperti para pembatik halus dari Solo dan para pengukir dari Bali dengan alasan memberikan lapangan kerja kepada mereka. Tidak disadari bahwa para pengrajin tersebut merupakan aset yang sangat penting bagi pengembagan ekonomi kreatif di Indonesia. Memberikan mereka pekerjaan adalah sesuatu yang sangat baik, tetapi perlu dipikir “nilai” dan “keahlian” mereka. Ketika mereka dianggap sebagai alat produksi dengan kata lain sebagai buruh yang sekedar mencari makan di negeri lain permasalahannya menjadi lain. Bukankah lebih baik kemampuan mereka dimanfaatkan untuk mengembangkan produk-produk kriya Indonesia yang berdaya saing, bukan sebaliknya menciptakan produk-produk asing yang akan menjadi saingan produk Indonesia. Beberapa cerita di atas merupakan bukti bahwa kemampuan para pengrajin Indonesia yang telah mendapat pengakuan. Kemampuan tersebut menjadi lebih berarti jika dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta taraf hidup para pengrajin Indonesia sesuai dengan azas “fair trade”.
Dengan melakukan kolaborasi antara pengrajin dengan disainer merupakan suatu langkah yang berbasis produk-produk kriya yang berdaya saing. Dengan pelibatan disainer ini, para pengrajin dapat lebih berkonsentrasi kepada masalah produksi sehingga kualitas produk lebih terjaga. Di sisi lain pelibatan disainer untuk mendampingi pengrajin akan memberikan penghasilan kepada industri disain sehingga roda perekonomian dapat berputar. Sebagai contoh Cina, Usaha Kecil dan Menengah hanya dapat mencairkan bantuan jika didampingi dengan disainer sebagai jaminan akan dapat menghasilkan produk-produk inovatif berdaya saing. Kolaborasi antara para pengrajin dengan disainer Indonesia akan mampu menghasilkan produk-produk kriya Indonesia berdaya saing tinggi.
Akibat keengganan dari para pengrajin mengembangkan disain sendiri dan lebih memilih menyontek produk kriya yang sudah laku dipasaran menyebabkan nilainya menjadi rendah baik dari sisi harga maupun kualitas yang tidak terjaga. Ketidakpahaman para pengrajin mengenai UU Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menyebabkan apresiasi yang redah terhadap disain. Padahal dengan pemahaman yang baik para pengrajin dan disainer dapat berkolaborasi dalam memproteksi produk yang dihasilkan dan mengeksploitasinya sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi. Kita belajar dari Thailand melalui proyek OTOPnya, One Tamon One Product (satu kampung satu produk). Di setiap daerah akan mempunyai satu produk yang spesifik, tidak diproduksi di daerah lain. Dengan demikian keunikan dan kualitas produk dapat dijaga sehingga nilai ekonomi dari produk juga tinggi.
Setelah kita mempunyai produk kriya yang berdaya saing dan tentunya dalam penciptaannya sudah berorientasi kepada pasar tidaklah sulit dalam masalah pemasaran. Karena produk kriya yang dilepas ke pasar telah sesuai dengan target marketnya produk-produk kriya yang dihasilkan akan dengan mudah diserap oleh pasar bahkan dicari oleh para pembeli.
Salah satu cara yang sering ditempuh pemerintah Indonesia yaitu dengan mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Mengikuti pameran di luar negeri menjadi medium yang efektif jika dilakukan dengan perencanaan yang baik, pemilihan jenis pameran yang selektif sesuai dengan produk yang akan dipamerkan dan tentunya pemilihan produk yang dipamerkan melalui proses seleksi yang ketat. Seleksi ini diharapkan akan memacu para produsen Indonesia untuk menghasilkan produk-produk yang kompetitif.
Pameran diluar negeri merupakan suatu cara untuk mempromosikan dan memasarkan produk kriya Indonesia di pasar global. Meskipun demikian ada hal-hal yang lain perlu dilakukan untuk mensukseskan keikutsertaan Indonesia dalam pameran yaitu melakukan kompanye pubic relations secara terpadu sehingga efektivitasnya dapat dicapai. Pemasaran bukanlah hal yang sulit jika produk-produk kriya Indonesia inovatif dan berdaya saing tinggi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disain merupakan solusi yang tepat dalam usaha untuk memberdayakan produk-produk kriya Indonesia di era pasar global. Dengan disain yang baik keahlian para pengrajin Indonesia dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap mutu produk yang dihasilkan. Hubungan kerja yang sehat antara disain sebagai kreator dan pengrajin sebagi produsen dalam koridor UU Hak Kekayaan Intelektual akan membawa kearah produktivitas yang saling menguntungkan. Dengan pembinaan dan strategi yang baik, seni kriya Indonesia merupakan sumber kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di era ekonomi kreatif.
Kreativitas Ngakan Weda Di Atas Cangkang Telur Bernilai Ekonomi Tinggi selengkapnya
by admin | Dec 12, 2011 | Artikel, Berita
Oleh: I Dewa Ayu Sri Suasmini, S.Sn., M. Erg. Dosen Desain Interior Fakultas Seni rupa dan Desain Internet Seminar Indonesia Denpasar
Rumah merupakan suatu tempat atau wadah untuk kita berlindung dari berbagai gangguan seperti hujan, angin, panas yang berlebihan, binatang buas dan masih banyak lagi. Di dalam rumah kita juga bisa, melakukan berbagai aktivitas mulai dari tidur, makan, istirahat, mandi, bermain, belajar, memasak dan berbagai aktivitas lain yang mendukungnya. Untuk menunjang semua aktifitas tersebut, maka diperlukan suatu keamanan dan kenyamanan. Salah satu yang dapat menunjang kenyamanan tersebut adalah adalah lantai yang aman. Karena seperti kita ketahui lantai merupakan salah satu elemen interior yang berada baik diatas permukaan tanah, pada permukaan tanah dan dibawah permukaan tanah yang mana berada dalam posisi horizontal (mendatar). Di dalam membangun suatu rumah, lantai merupakan bagian utama, karena didalam perencanaan baik perencanaan rumah type sangat sederhana maupun perencanaan rumah type mewah tentu tidak terlepas dan selalu memperhatikan pemilihan lantainya. Lantai juga dapat dipergunakan untuk membedakan suatu area dalam ruangan dengan membuat perbedaan ketinggian atau perbedaan penggunaan bahan atau warnanya. Selain itu desain lantai yang disesuaikan dengan konsep suatu ruangan akan dapat membuat ruangan tersebut menjadi semakin indah.
Lantai adalah sebagai tempat berpijaknya bagi para pelaku aktifitas dan fasilitas yang mendukung aktifitas tersebut. Sehingga lantai merupakan bidang datar yang memikul dan menahan beban cukup berat. Oleh karena itu didalam perencanaannya atau dalam mendesain lantai harus selalu mendapat perhatian baik dari segi pemilihan bahan, kekuatan dan unsur estetika (keindahan).
Dewasa ini begitu banyak kita jumpai di pasaran jenis-jenis lantai atau bahan penutup lantai. Sehingga para konsumen menjadi bingung didalam menentukan mana yang baik digunakan untuk rumah tinggal. Selain itu dalam proses pemilihan bahan perlu juga diperhatikan karakter dari masing-masing bahan lantai tersebut, karena setiap bahan lantai mempunyai kelemahan dan kelebihan yang berbeda-beda.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka diperlukan adanya alternatif-alternatif dan pertimbangan-pertimbangan, sehingga nantinya didalam menentukan bahan-bahan lantai untuk rumah tinggal konsumen dapat dengan mudah memilih bahan lantai yang aman dan nyaman untuk dipergunakan dan tentunya akan dapat membuat suasana ruangan yang memiliki nilai estetika. Sehingga konsumen dapat dengan mudah menentukan bahan-bahan lantai yang akan digunakan didalam perencanaan rumah tinggalnya. Begitu banyaknya ragam bahan lantai yang ada dipasaran dan kurangnya pengetahuan konsumen tentang karakter masing-masing bahan maka perlu didiperlukan adanya pertimbangan-pertimbangan serta alternatif-alternatif tentang bahan lantai.
MATERIAL DASAR PENUTUP LANTAI
Di Indonesia, sebelum kebudayaan barat masuk ke Indonesia masyarakat pribumi menggunakan tikar atau rotan sebagai penutup lantai. Dimana semua aktifitas seperti makan, tidur, belajar mereka lakukan di atas bahan tersebut. Anyaman rotan dan tikar sangat indah dan hangat sehingga dipergunakan sebagai bahan penutup lantai pada saat itu. Sejak kebudayaan Barat mulai memasuki Indonesia maka tradisi tersebut sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimana bangunan-bangunan mulai menggunakan bahan lantai seperti PC atau Ubin, teraso, marmer sebagai bahan penutup lantai.
Dari perkembangan tersebut sampai sekarang bahan-bahan penutup lantai sudah banyak ragamnya. Kita dapat menjumpainya dipasaran dalam berbagai bahan baik dari bahan batu alam, bahan yang dibuat dengan proses pembakaran salah satunya adalah bahan dari metal, vinyl, keramik, batu, kayu, maupun dari bahan kain, bahan sintetik dalam berbagai type, motif dan ukuran.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa bahan-bahan penutup lantai yang umumnya digunakan di Indonesia.
Keramik
Dewasa ini sudah banyak kita jumpai jenis-jenis keramik dengan warna, ukuran dan motif yang beraneka ragam. Bahkan ada jenis/ type keramik yang motifnya menyerupai bentuk-bentuk seperti batu alam, motif kayu, motif pasir dengan tekstur halus maupun kasar. Ada dua jenis type keramik yaitu keramik dengan permukaan yang mengkilap dan umumnya tidak bertekstur, umumnya digunakan untuk interior dan keramik dengan permukaan yang tidak mengkilap (doff) dengan permukaan bertekstur umumnya digunakan untuk area eksterior, kamar mandi. Keramik mempunyai sifat yang keras, dengan permukaan yang solid dan tidak berpori sehingga tahan terhadap noda dan cuaca serta anggun dalam penampilannya. Bahan keramik juga memiliki kekuatan yang tinggi sehingga tahan terhadap gesekan dan goresan. Untuk perawatan bahan keramik cukup dibersihkan dengan cara dilap atau dipel. Ukuran keramik untuk lantai yang ada dipasaran adalah 20x20cm, 30x30cm, 40x40cm, 40x40cm, 60x60cm bahkan ada ukuran 100x100cm.
Kayu
Lantai kayu juga banyak digunakan karena memiliki sifat-sifat seperti tampak alami, dapat memberikan suasana hangat khususnya di malam hari, nyaman, tingkat kelenturan dan durabilitasnya yang tinggi. Penutup lantai dengan bahan kayu biasa disebut parket (parquet). Adapun jenis-jenis kayu yang umumnya digunakan adalah:
Kayu Lunak
Misalnya: Kayu Cemara, kayu ini biasanya digunakan sebagai papan permukaan. Kayu ini memiliki serat yang baik, dan menarik, kelemahan dari kayu ini adalah pada sambungannya biasanya bisa berkerut sehingga dapat membuat celah-celah yang dapat menampung kotoran, debu dan angin.
Kayu Keras
Kayu yang mempunyai sifat keras seperti Kayu Oak Putih atau Merah, Kayu Maple. Sistem pemasangan untuk kayu kerasbisa berupa pola-pola zig-zag (membelok-belok). Umumnya bahan kayu untuk penutup lantai sudah tersedia dalam bentuk papan, blok dan panel. Untuk pola Parket terdiri dari potongan-potongan kayu tipis dengan ketebalan minimum 20mm dan lebar 90mm sampai 140mm dalam bentuk segiempat dengan pola geometris.
Pemasangan bisa satu persatu dipasang berjejer dengan cara dilem/dipaku diatas sloff dengan ketebalan kayu pada panel. Untuk finishing dari bahan kayu ini biasanya diberi lapisan akhir dengan pilihan lapisan doff atau gloss. Agar permukaan kayu menjadi rata digunakan semacam dempul kayu. Selain itu hal yang perlu diperhatikan pada hasil akhir finishing adalah harus yang dapat meningkatkan daya tahan atau kekuatan dari kayu tersebut, tahan terhadap air dan kotoran serta bercak-bercak. Disamping itu tidak menutupi serat-serat indah dari kayu tersebut sehingga tetap tampak alami.
Dewasa ini ada jenis parket yang dibuat dari potongan-potongan kayu yang tidak terpakai kemudian diolah sehingga menghasilkan parket kayu laminate. Laminate ada dua yaitu HDF (Hard Density Fiber) dan MDF (Medium Density Fiber). Perbedaan ini dilihat dari kekuatannya dimana HDF memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada MDF. Ukuran laminate yang ada dipasaran adalah 8mm-12mm dengan ukuran panel 19,5cmx120cm.
Penutup dari bahan Tekstil
Penutup lantai dari bahan tekstil seperti permadani dan karpet merupakan bahan yang sangat empuk sehingga menjadikan lantai lembut dan hangat. Bahan-bahan tersebut dapat dipasang di atas lantai beton yang dilengkapi dengan lapisan kedap air. Lantai ini mempunyai keuntungan yaitu dapat berfungsi sebagai peredam suara sehingga dapat mengurangi kebisingan/ perambatan. Selain dapat dipasang di atas lantai beton permadani atau karpet ini dapat juga digunakan pada lantai-lantai dengan permukaan tidak rata.
Permadani mempunyai motif atau gambar yang beraneka ragam sehingga dapat dipilih sesuai dengan keinginan atau kebutuhan pemakai. Permadani juga dilengkapi dengan lapisan dasar dari karet atau karet busa. Permadani mempunyai sifat menghangatkan, meredam suara dan dapat memperindah ruangan atau sebagai unsur estetika sebuah ruangan. Jenis permadani yang terbuat dari serat sintetis akan memiliki kekuatan yang bagus, dimana permadani dengan bahan tersebut tidak akan berubah warnanya apabila terkena cahaya, tahan lembab dan anti rengat.
Dari segi perawatan atau pemeliharaan cukup mudah yaitu dapat menyedot debunya dengan vacuum cleaner atau dapat juga dengan cara dicuci kemudian dijemur. Permadani sebenarnya tidak cocok digunakan untuk iklim tropis karena lembab, sehingga sulit dibersihkan dari debu dan kuman. Dalam pemilihan permadani yang baik, hendaknya harus tahu ciri-cirinya yaitu memiliki tenunan yang rapat, tidak mudah luntur oleh cahaya atau sinar, memiliki warna-warna yang terang.
Pertimbangan Dalam Penentuan Lantai Untuk Rumah Tinggal, selengkapnya
by admin | Dec 10, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Nyoman Putra Janiasa, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Ritual erat kaitannya dengan budaya, Pulau Bali terkenal akan berbagai macam ritual dan budayanya, dan merupakan daya tarik bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu atraksi budaya yang sudah dikenal di mancanegara adalah okokan.
Okokan adalah salah suatu alat musik bunyi-bunyian yang pada umumnya terbuat dari bahan kayu yang dilobangi hampir menyerupai kentongan, tetapi didalamnya diisi pemukul yang disebut palit. Alat bunyi-bunyian ini umumnya dipasang pada binatang piaraan seperti sapi atau kerbau, yang berfungsi sebagai penghias atau tanda hewan tersebut, okokan ini akan mengeluarkan irama tertentu jika diayun-ayunkan, okokan seperti ini ukurannya relative kecil.
Sebagai suatu kelompok masyarakat yang agraris yang selalu dekat dengan tradisi bercocok tanam, okokan juga dipakai sebagai sarana hiburan ataupun acara ritual yang berbau magis.
Banjar Belong, Desa Baturiti Kerambitan,Tabanan, 2km kearah utara dari Pasar Kerambitan. Desa yang masih asri dengan berbagai tanamannya, jauh dari kesan polusi, disinilah lahir okokan pertama yang lahir dikecamatan Kerambitan. Berawal dari tradisi agraris secara turun temurun dari para tetua atau para leluhur, maka alat musik ini sudah merupakan bagian dari kehidupan petani tradisional di Banjar Belong. Untuk mengisi waktu saat menunggu musim panen, para tetua terdahulu membuat alat musik okokan dalam ukuran yang cukup besar.
Okokan ini tidak dipasang pada binatang piaraan, tetapi dikalungkan langsung pada leher orang dan di ayun-ayunkan, kegiatan ini biasanya diperagakan untuk upacara tertentu dan menghibur diri sambil menunggu musim panen tiba.
“Menurut penuturan tetua Banjar Belong, bermula dari wabah, okokan ini dimainkan untuk mengusir wabah, sesuia kepercayaan bahwa wabah yang menyerang itu disebabkan oleh mahluk halus, maka harus diusir dengan membunyikan alat-alat yang menghasilkan bunyi, maka digunakanlah okokan dengan dimainkan oleh beberapa orang untuk mengusir wabah,” ungkap I Ketut Sudiarsa, mekel kesenian sekaligus ketua okokan.
Ritual ini disebut Ngerebeg, “Untuk menambah sakrak ngerebeg, maka okokan ini diiringi dua buah kendang, yang disebut kendang gede, dibuat kira-kira tahun 1917 selanjutnya kendang gede inilah yang dipercaya warga Banjar Belong diyakini memiliki kekuatan magis, “ tambah Sudiarsa.
Lebih lanjut Sudiarsa menambahkan, setiap ada wabah yang melanda masyarakat seperti cacar, kolera dan sebaginya, maka tetua desa akan mengambil tindakan demi keselamatan warga dengan upacara pecaruan diiringi dengan gegerebegan, selain itu juga dilaksanakan sehabis melakukan upacara tawur kesanga dengan mengelilingi desa.
Lambat laun tradisi ngerebeg inin bukan hanya dilakukan berkaitan dengan acara ritual, tetapi juga pada kegiatan-kegiatan seperti acara keramain, lomba desa, 17agustusan, penyambutan pejabat serta pertunjukan untuk wisatawan. “berawal dari ide tokoh pariwisata,AA Ngurah Oka Silagunada, untuk menampilkan okokan ini sebagai atraksi kesenian, maka warga Banjar Belong, membentuk sekaa okokan yang diiringi dua buah kendang gede, yang melibatkan seluruh anggota banjar yang berjumlah 45 kepala keluarga maka terbentuklah Sekaa Okokan Mekar Sari pada tahun 1991,” tambah Sudiarsa
“Pertama kalinya okokan ini ditampilkan secara komersial pada bulan Juni 1991, di Hotel Putri Bali di Nusa Dua, pementasan pertama kalinya ini mendapat sambutan yang sangat meriah dari wisatawan mancanegara, bahkan saking tertariknya beberapa wisatawan meminjam okokan yang sedang dimainkan untuk sekedar mencoba memainkannya sendiri,”ungkap Sudiarsa.
Setelah pementasan yang pertama itu, tidak berselang lama Sekaa Okokan Mekar sari mulai mendapat tawaran untuk pentas dibeberapa hotel di Nusa Dua dan sekitarnya. “Saking seringnya pentas,okokan peninggalan tetua kami sudah mulai rusak. Dengan kondisi seperti itu, maka hasil musyawarah warga banjar yang sekaligus anggota sekaa okokan bertekad memperbarui okokan dengan jalan membuat yang baru, kayu yang kami gunakan adalah Kayu Sane, sebelum proses pembuatannya diadakan upacara nunas raos dan mohon petunjuk dari leluhur di pura sesuhunan yang ada di banjar adat kami, “tambah bapak dengan kumis tebal ini.
Untuk mengembalikan kemagisan okokan yang baru dibuat,maka diadakanlah upacara Pemelaspasan dan Masupati pada tanggal 20 November 1991 yang dihadiri oleh seluruh anggota Sekaa Okokan Mekar Sari dan langsung dipentaskan dihalaman balai banjar yang tetap dipandu dengan dua buah Kendang Gede.
Dalam perjalannya Sekaa Okokan Mekar Sari selalu kebanjiran tawaran untuk pentas ”Dulu sebelum ada bom bali, kami hampir setiap hari tampil, bahkan dalam satu hari kami pernah tampil dua kali, selalu ada saja hotel, maupun acara penyambutan yang menyewa kami untuk pentas, namun setelah bom bali, intensitas pementasan kami berkurang, yang dulu dalam seminggu minimal tiga kali pentas, sekarang sebulan dua sampai tiga kali pentas, tetapi tetap dalam sebulan selalu ada saja yang tawaran untuk pentas, dan pementasan rutin kami di puri anyar kerambitan untuk menyambut wisatawan macanegara, “ ungkap Sudiarsa.
Lebih lanjut Sudiarsa mengatakan, Okokan Mekar Sari sudah dikenal di mancanegara, para menteri dari dalam maupun luar negeri,presiden dari luar negeri, para pejabat dan pengusaha dan banyak lagi sudah kita sambut dengan Okokan Mekar Sari.
Selain itu juga Sekaa Okokan Mekar Sari pernah tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1996 dan 1997, tampil dalam acara gembyar remaja di TVRI, tampil dalam acara seremonial yang diadakan pemda Tabanan, dan Pemprop Bali. Dalam sekali pementasannya, Sekaa Okokan Mekar Sari biasanya berdurasi 15 sampai 30 menit dengan berat okokan berkisar antara 10 samapi 15 kg, “dalam pementasannya sekaa kami tidak pernah merasa berat karena bagi kami ini adalah ngayah untuk banjar, “ ungkap salah satu Sekaa Okokan Mekar Sari.
Sekali pentas, Sekaa Okokan Mekar Sari memasang tarif 1.2 sampai 1.5 juta, dan pendapatan itu dikumpulkan sebagai kas banjar, dari hasil ka situ, Desa Belong sudah bias membeli seperangkat alat gong untuk desa, membangun pura, membangun balai banjar, medana punia di pura dan setiap hari raya galungan, kas diambil bebrapa untuk dibagikan ke Sekaa yang juga anggota banjar untuk membeli keperluan upacara. “Dari hasil itu kami sudah bisa membangun desa ini, mungkin dari pertama okokan ini berdiri hasil yang sudah kami capai diatas 1 milyar dan sudah banyak pembangunan yang kami sudah buat untuk desa ini, “ ungkap salah satu sekaa okokan.
Jumlah instrument dari barungan okokan yaitu ada 30 buah,1 kendang dan 1 kajar.Personil dari barungan okokan tergantung dari barungan instrument itu sendiri.Repertoar lagu yang sering dimainkan seperti gamelan baleganjur.
Okokan adalah salah satu kesenian tradisional yang berada di lereng daerah wisata Bedugul, yaitu di Desa Adat Mayungan, dengan ketinggian daerah 800 meter di atas permukaan laut. Desa ini merupakan desa tua, yang berdiri pada zaman kerajaan Raja Jaya Pangus.
Dahulu oleh penduduk desa, Okokan diberi nama Bandungan. Alat ini dipakai oleh petani untuk mengalungi ternaknya (sapi), lebih-lebih setelah para petani habis membajak tanahnya, dan kegiatan di lading sudah tidak ada, maka diselenggarakanlah balapan sapi yang memakai Bandungan. Secara religious alat ini juga dipakai untuk mengusir roh-roh jahat, terbukti setiap sehari sebelum Hari Raya Nyepi alat ini dipakai untuk ngerebeg keliling desa. Sehingga sampai sekarang alat ini selalu dipakai untuk sarana pengerebegan baik saat-saat ada upacara mecaru agung seperti mebalik sumpah maupun acara agama lainnya.
Untuk mengembangkan adat seni dan budaya, maka tahun 1980, diorganisirlah dalam bentuk sekehe. Lebih-lebih mendapat respon positif dari Ketua ASTI, Bapak Prof. DR. I Made Bandem waktu itu, sehingga akhirnya terbentuklah Sekehe Okokan Werdha Budaya.
Kesenian Okokan terdiri dari beberapa alat musik tradisi yang diambil dari alat-alat yang dipakai para petani seperti :
1. Okokan yaitu kalong keroncongan sapi
2. Teng – teng yaitu bekas cangkul petani
3. Kulkul yaitu alat yang dipakai untuk menghalau burung atau tetengeran di ladang oleh petani.
Gambelan Okokan juga dilengkapi alat-alat musik Bali lainnya untuk menambah indah dan uniknya suara Okokan, antara lain gong, kendang, tawa-tawa, dan lain-lainya.
Disamping pada acara-acara religius Okokan juga dipentaskan saat-saat ada event-event di tingkat Provinsi maupun Kabupaten seperti Pesta Kesenian Bali, Parade senja dan lain-lain. Bahkan sering juga dipentaskan di Hotel untuk menghibur para tamu yang ingin menikmati kesenian tradisi. Dalam pementasan kesenian okokan mengambil cerita Cupak, dimana diceritakan di suatu wilayah terkena bencana gering karena ulahnya Garuda. Okokan dipakai warga untuk ngerebeg, dan berkat bantuan Cupak, Garuda bisa dikalahkan sehingga wilayah itu menjadi aman dan tentram.
Okokan Selengkapnya
by admin | Dec 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Wayan Ekajaya Suputra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local Genius dari lelhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.
Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.
Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman yang immanent dari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang oleh R. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 : 2).
Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna. Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya, Sumana Santaka, Wrttasancaya, Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.
Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan dalam sebuah lintar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung Tolangkir (Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)
Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der Tuuk dalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SR menyebutkan Salunding adalah gambelan Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang ditabuh pada upacara tertentu.
Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh masyarakat pendukungnya.
Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri Jaya Bawa di Kediri yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.
Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian lainnya.
Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C, kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang, Manikliyu, dan Tigawas.
Jumlah
|
Satuan |
Ciri-ciri Instrumen |
8 |
tungguh |
berisi 4 buah bilah |
6 |
tungguh |
masing-masing berisi 4 buah bilah |
2 |
tungguh |
berisikan 8 buah bilah |
Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :
Jumlah |
Satuan |
Instrumen |
2 |
tungguh |
gong |
2 |
tungguh |
kempul |
1 |
tungguh |
peenem |
1 |
tungguh |
petuduh |
1 |
tungguh |
nyongnyong alit |
1 |
tungguh |
nyongnyong ageng |
Tabuh-tabuh yang dimainkan dengan patet yang berbeda-beda, dapat dikelompokkan menjad:
Karakteristik akustika dari gambelan selonding selengkapnya