Topeng Modern I Wayan Sukarya, Antara Pesanan Dan Idealisme

Topeng Modern I Wayan Sukarya, Antara Pesanan Dan Idealisme

Oleh: I Made Sumantra, SSn., MSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.

            Latar belakang pendidikan diakuinya sebagai dasar pemikiran Wayan Sukarya berkarya dalam jalur topeng-topeng modern ini yang orang lain menyebut dengan topeng kontemporer. Dalam berkarya Wayan Sukarya lebih banyak mengolah gambar topeng yang datang dari pemesan. Ide awal disain/ gambar topeng datang dari pemesan. Dari disain tersebut kemudian diolah bagaimana bentuk tiga dimensinya, bahkan pemesan tidak tahu bagaimana wujud jadinya kemudian. Wayan Sukarya harus memikirkan dari bahan yang dipakai, menterjemahkan gambar, mengembangkan gambar, sampai pada teknik pembuatan dan finishingnya. Dapat dikatakan 50% proses perwujudan karya tersebut merupakan hasil ide kreatifnya sendiri. Jadi bukan total merupakan ide si pemesan. Gambar-gambar topeng yang diterima sering sulit dimengerti dan dipahami sehingga perwujudannya juga sulit. Pesanan yang diterima sering berupa pernyataan makna namun tidak ada disainnya. Di sinilah diperlukan kepintaran seorang seniman dalam menterjemahkan makna tersebut.

            Secara umum karya-karya Wayan Sukarya, menggambarkan fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat. Dalam perwujudanya tidak mudah untuk dicerna maksud dan tujuannya. Karena unsur-unsur rupa yang dipakai memvisualisasikan makna yang dimaksud mudah dibaca namun secara utuh sulit keluar maknanya. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari masing-masing topeng tersebut diperlukan penjelasan dari pembuatanya.

            Wayan Sukarya telah menyelesaikan karya-karya topeng, namun jumlahnya tidak tercatat.   Permintaan   untuk   membuat    topeng   selalu    datang    tiap    tahun dengan jumlah sekitar 10-15 biji dengan ukuran bervariasi, tinggi 50-70 cm dan lebar  40-60 cm. harga   yang  dipasang   juga  bervariasi  mulai   dari  Rp 3.000.000,0 sampai Rp 6.000.000,00. Pemesan topengnya lebih banyak datang dari luar negeri terutama dari Italia.

            Bentuk atau corak karya topeng Wayan Sukarya ada tiga dimensi, berwajah satu, berwajah ganda yaitu satu muka dengan dua wajah yang dapat dilihat bolak-balik. Bentuk visual yang disampaikan keluar dari pakem-pakem tradisi, tidak mengusung tradisi namun proses perwujudannya melalui proses tradisi Bali. Corak kemodernannya dapat dilihat dari unsur-unsur rupa yang dipakai menyampaikan pesan seperti garis dan bidang serta komposisinya.

            Ide penciptaan topeng ini lebih banyak terinspirasi dari kehidupan manusia sehari-hari dan sifat-sifat manusia dalam menjalani hidup. Sifat umum yang dimiliki oleh manusia, yang paling dasar adalah sifat baik dan buruk. Sifat ini muncul dalam karya-karyanya baik secara terpisah maupun bersama-sama. Sifat baik dan buruk dapat dilihat dalam berbagai bentuk tindakan manusia dalam hidupnya. Idenya tidak memfokus pada suatu kehidupan manusia di daerah tertentu, namun manusia global. Dalam beberapa karya mengambil ide dari manusia ras tertentu untuk untuk menyampaikan ide yang ingin disampaikan. Dilihat dari fungsi karya ini hanya untuk penyampaian ide dari seorang pembuat topeng, sedangkan fungsi kedua dapat dilihat sebagai benda hias.

            Dalam berkarya Wayan Sukarya menggunakan alat-alat yang biasa digunakan seperti mengerjakan topeng-topeng tradisional, seperti kapak, pisau penghalus (mutik), gergaji, dan pahat khusus untuk mengerjakan topeng. Bahan kayu gelontongan dipotong dengan gergaji kemudian dibuat wujud kasarnya dengan menggunakan kapak. Setelah wujud kasar mendekati wujud yang diinginkan, kemudian digunakan pahat dan mutik sebagai penghalus. Penghalusan terakhir dalam proses awal ini dilakukan dengan amplas.

            Pewarnaan menggunakan warna-warna pabrik dan sebagian kecil masih menggunakan warna-warna tradisional Bali. Hal ini dilakukan karena warna pabrik lebih mudah mencari warna sesuai keinginan dibandingkan warna tradisional Bali. Keunggulan warna Bali, proses pembuatannya unik serta citra Bali yang masih laku dijual dalam berbagai bidang. Secara umum warna-warna yang dipakai sebagai warna dasar adalah warna-warna yang berkesan lembut seperti krem dan oranye, hanya beberapa memakai warna gelap dan kusam. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara; pertama topeng yang siap diwarnai dipoles cat penutup terbuat dari tulang binatang dicampur perekat. Proses pemolesan ini dilakukan sampai 14 kali tumpukan, makin banyak makin baik. Kedua setelah cat penutup selesai dilakukan, dilanjutkan dengan proses pewarnaan sesuai dengan keinginan.

            Karya-karya yang dibuat Wayan Sukarya tidak pernah dipasarkan dengan cara-cara tertentu seperti pameran, tetapi pemesan datang sendiri ketempat kerjanya dengan membawa atau tidak disain/ gambar yang akan dipesan. Dilihat dari pemesan kebanyakan pesanan topeng-topeng jenis modern, ini lebih banyak datang dari luar negeri seperti Italia. Menurut tamu-tamu tersebut memamerkannya diberbagai negara.

            Topeng  modern Sukarya  kalau dilihat dari segi bentuknya secara evolusi mengalami pembaharuan-pembaharuan prosfektif. Bentuk tidak terlihat dengan proporsi dan nilai-nilai estetik yang dianggap ideal dalam objek. Bentuk, ruang, komposisi bebas dapat diwujudkan secara visual yang menekankan karakter ataupun ekspresi pribadi seniman. Seperti contoh dalam karya pembaharuan Sukarya dalam bentuk topeng bermuka dua yang disesuaikan dengan keadaan disain dan kreativitas modern dengan bentuk kebaliannya.

            Apa yang dicerminkan sebagai ekspresi Topeng modern Sukarya memang berbeda dengan kepentingan fungsi ritual daripada bentuk Topeng pada zaman sebelumnya, tetapi fungsi yang sama untuk memuaskan batin manusia. Kehalusan perasaan, kekayaan intuisi dan ide dapat disalurkan melalui bentuk-bentuk kreativitas artistik dalam Topeng modern sebagai nilai kemanusiaan yang berharga untuk dihayati.

            Makna-makna yang disampaikan dari karya-karya ini banyak yang sulit dimengerti, karena judul-judul yang disampaikan pemesan banyak yang tidak tercatat oleh pembuatnya. Namun demikian ikon-ikon/ tanda-tanda yang dimunculkan dalam karya tersebut maknanya dapat dibaca atau diinterpretasikan. Makna-makna yang dapat diinterpretasikan dari karya-karya tersebut seperti disinggung dalam pembahasan ide penciptaan di atas adalah konsep sifat dasar manusia baik dan buruk, yang terwujud dalam berbagai tindakan dan tingkah laku manusia di atas bumi ini, tidak terkecuali dari mana mereka berasal. Kejadian-kejadian yang diangkat sangat universal yang mungkin saja dapat dialami oleh setiap orang. Lewat karya ini manusia disajikan sifat-sifat yang dimiliki serta bagaimana untuk menyingkapinya.

Topeng Modern I Wayan Sukarya, Antara Pesanan Dan Idealisme selengkapnya

Gamelan Jegog

Gamelan Jegog

Kiriman: I Putu Hardy Andika Wijaya, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Jegog Jembrana

 Gambelan “Jegog” adalah gambelan (alat musik) yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperangkat alat musik bambu yang suaranya sangat merdu dan menawan hati.

Kisah Awalnya Kesenian Jegog

Kesenian ini diciptakan oleh seniman yang bernama Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual Desa Dangintukadaya pada tahun 1912. Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar. Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog.

Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata. Penampilan Gambelan Jegog begitu menohok, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.

Jegog Mebarung

Kesenian Jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi pertarungan Jegog. Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut “Jegog Mebarung”, yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung). Mebarung artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog, dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Tiga. Jegog mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara suka ria di Desa.

Untuk diketahui Bagaimana penampilan Jegog Mebarung, dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dua perangkat gambelan jegog atau tiga perangkat gambelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau tiga perangkat gambelan jegog. Masing-masing Kru Jegog ini membawa penabuh 20 orang.

Pada saat mebarung masing-masing Jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya Tabuh Terungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu masing-masing 10 menit. Tabuh Terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedengarannya sangat merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi keindahan alam Bali.

Setelah penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung yaitu masing-masing penabuh memukul gambelan jegog secara bersamaan antara Kru jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung.  Penabuh memukul gambelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedengarannya musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang lainnya. Karena saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gambelan jegognya pecah dan suaranya pesek (serak). Apalagi Gambelan Jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru Jegog lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh Jegog. Penentuan kalah dan menang Jegog mebarung ini adalah para penonton karena Jegog mebarung ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu.  Apabila suara salah satu gambelan jegog kedengarannya oleh sipenonton lebih dominan dan teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang mebarung. Sedangkan hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru Jegog tersebut. Karena Jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para penonton dan para penggemarnya, pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan hiburan.

Kesenian Jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke Luar Negeri dan telah menembus 3 Benua seperti Eropa, Afrika dan Asia.Sedangkan intensitas lawatan ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota Saporo, Pulau Hokaido oleh Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama. Demikian adanya Kesenian Jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan kesenian musik Jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.

Gamelan Jegog Selengkapnya

Bau-Bauan Dan Konstruksi Moral Diri

Bau-Bauan Dan Konstruksi Moral Diri

Kiriman: Ida Bagus Surya Peradantha, SSn., MSn

            Bau-bauan bukan hanya fenomena fisiologis, ia juga fenomena moral, karena bau-bauan dinilai sebagai positif atau negatif, baik atau buruk. Dimensi moral penciuman inilah yang membuat penciuman memiliki makna sosiologis dan ekonomis. Sebuah hipotesis sederhana yang bersifat fundamental pun muncul ; apa yang berbau harum berarti baik, sebaliknya yang berbau tidak enak berarti jahat. Hipotesis ini berlaku dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti pada makanan, lingkungan dan orang-orang.

            Bau-bauan dalam makanan merupakan hal penting dan sangat berpengaruh kepada nafsu makan seseorang. Kita selalu berusaha untuk mengeleiminasi bau-bauan yang tidak sedap dalam makanan seperti bau anyir, busuk, masam dan gosong. Bau-bauan seperti itu tentu oleh pikiran kita secara tidak disadari telah memberikan kesan negatif dan sudah tidak layak dimakan.

            Dalam lingkugan, sama seperti makanan kita dapat menilainya dari bau yang ditimbulkan. Kita menyukai wewangian bunga segar dan udara yang bersih serta segala aroma yang bersifat positif. Sebaliknya kita sangat menghindari aroma lingkungan yang bau, berpolusi, amis dan sebagainya yang bersifat negatif. Tentu secara biologis, lingkungan kotor seperti itu akan membawa penyakit yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia sehingga wajar bila itu dihindari.

            Di lain sisi, kita sering kali menilai orang-orang dengan cara yang sama dalam menilai makanan dan lingkungan. Jika seseorang tercium “tidak sedap”, atau menyimpang dari norma cultural penciuman, bau-bauan bisa menjadi tanda bahwa terdapat sesuatu yang keliru dengan kesehatan tubuh, emosi, atau jiwa mereka. Bau-bauan menjadi tanda alamiah diri, abik sebagai makhluk fisik maupun makhluk moreal. Bau-bauan adalah simbol diri.

            Kita mulai menginjak pada permasalahan bau-bauan metafor dalam berbagai kejadian di kehidupan manusia. Kita dapat menggambarkan seseorang berbau “ilahi” atau “cantik”, “menyenangkan” atau sekedar “baik”; meskipun demikian semua kata sifat ini juga menjadi evaluasi dalam penilaian moral. Aroma yang keluar dari sensai fisik berubah menjadi evaluasi simbolik. Kita pun bisa mendeskripsikan berbagai aktivitas moral dalam kehidupan dengan mencium “aromanya”. Shakespeare pun mengungkapkan bahwa manusia bisa berpikir dari hidungnya. Sesuatu yang “busuk” telah terjadi di negara Denmark ; Saya “mencium” suatu permasalahan disini; permainan “busuk” telah ditunjukkan olehnya, dan sebagainya. Jenis-jenis ungkapan seperti itu memang tidak terkait langsung dengan hidung manusia, tetapi tetap saja itu merupakan perluasan makna dari penciuman yang memiliki persamaan dengan hipotesis di atas tadi.

            Menggambarkan seseorang atau sesuatu sebagai tercium enak atau tidak enak sama artinya dengan menyatakan bahwa orang itu baik atau buruk, seperti yang kita lakukan dalam menilai makanan dan juga lingkungan. Penilaian seperti ini memang tidak selalu benar adanya, tidak ilmiah, atau tidak akurat, namun tetap saja ia menjadi elemen dasar dalam konstruksi moral mengenai orang lain dan presentasi simbolik diri.

            Secara simbolik dan moral, bau-bauan juga dapat mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, seperti yang dideskripsikan oleh Raja James I yang sangat membenci orang perokok. Itu mempengaruhi term indera fisiologis dan moral beliau. Negativitas-negativitas seperti itu dalam pandangan tradisional adalah aspek dari sesuatu yang tidak baik dan semuanya berkaitan.ini tidak hanya berlaku pada abad pertengahan, tetapi juga memiliki akar yang sangat dalam dan kuat yang berpengaruh pada bahasa dan budaya kita bahkan sampai sekarang.

BAU-BAUAN DAN KEKUASAAN

            Bau-bauan juga menyatakan konstruksi moral kelompok dan juga atribut sosial. Di barat ( baca : Inggris ), menurut George Orwell, rahasia pembedaan kelas adalah “kelas yang rendah bau”. Siapa yang berada pada tatanan sosial paling bawah seperti buruh dan pemabuk, mereka bau dan pantas dikasari. Distribusi bau-bauan sangat menyimbolkan struktur kelas masyarakat, entah melalui bau badan atau karena kualitas dan mahalnya harga wewangian. Orang dibedakan dari bau mereka. Mungkin dari sanalah perbedaan dan kebencian antar ras, suku dan golongan dimulai.

            Di Amerika Utara pun terjadi demikian, dimana terjadi jurang besar antar ras kulit putih dengan kulit hitam (negro). Orang negro dikatakan memiliki bau badan yang sangat menyengat dan tidak enak. Ada pula yang menyatakan sebagai bau binatang atau tahi, dan bahkan ditambahkan dengan lepra sebagai penegas bau tidak enak itu.

            Sedangkan di Perancis, pada abad ke-18 dan 19, hampir setiap kelompok populasi dikatakan memiliki bau-bauannya sendiri yang berbeda, beberapa bahkan digambarkan secara detail. Semua memiliki bau yang berbeda, dengan bau merefleksikan status moral populasi yang dibayangkannya. Perawan baik, pelacur buruk; pelaut adalah salah satu yang paling buruk.

            Dapat dipahami dari hal tersebut di atas, bahwa bau-bauan bisa membedakan kelas, diskriminasi kelompok sosial, tekanan rasial dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan yang menyentuh ruang pribadi seperti pengibaratan bau sebagai binatang jelas merupakan hasil dari polarisasi dikotomis kedudukan tuan dan budak, bau harum versus bau busuk. Pada abad pertengahan, di barat sangat jelas perbedaan kelas, golongan dan ras yang ditinjau dari bebauan. Golongan ningrat atau priyayi, menggunakan wewangian yang mahal, memiliki norma yang sangat elegan seperti Raja James I di Perancis yang sangat membenci bau rokok, penistaan terhadap mereka yang memiliki bau kurang sedap meskipun bau itu adalah hasil dari kerja keras melayani tuannya, serta penyingkiran ras secara sepihak oleh karena bau alami yang ditimbulkan.

            Bisnis wewangian di barat pada awal dekade -90an menjadi bombastis oleh karena pencitraan seseorang yang diakibatkan dari wewangian tersebut. Berbagai merek parfum pun bermunculan guna meraih pasar yang mereka inginkan. Pria dan wanita pada dasarnya ingin menciptakan aroma bebauan yang bisa menarik lawan jenisnya, dan gejala inilah yang ditangkap oleh para pembuat parfum tersebut. Secara gender, perbedaan yang mendasar di sini ialah kaum laki-laki memiliki bau badan yang lebih tajam, kuat dan kurang enak, sedangkan perempuan dianggap lebih “manis”, menggairahkan, beraroma sedap dan sebagainya. Untuk itu, untuk laki-laki dianggap perlu untuk menggunakan deodorant yang dapat menghilangkan bau ketiak, menyelipkan kertas penyaring bau pada sepatu, dan sebagainya. Perempuan pun bukan berarti tidak perlu menggunakan penghilang bau badan. Organ intim mereka sesungguhnya yang paling diperhatikan, karena bagian itulah yang sesungguhnya paling “bau” bagi kaum laki-laki. Kembali, perbedaan bau menunjukkan ketidaksejajaran antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang terjadi pada kasus ras di Amerika dan perbedaan kelas golongan di Inggris.

Bau-Bauan Dan Konstruksi Moral Diri selengkapnya

Filosofi Selonding Dalam Tatwa Hindu

Filosofi Selonding Dalam Tatwa Hindu

Kiriman: I Wayan Ekajaya Suputra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Bila ditelusuri lebih jauh tentang keberadaan Gamelan Salonding dari masa ke masa, ternyata konteks penggunaannya tidak pernah lepas dari kegiatan-kegiatan keagamaan masyarakat Bali, baik dari kebesaran Jaman Bali kuno, sampai pada akhir abad XX ini gambelan Salonding itu tetap mendapat tempat yang paling sakral dalam upacara agama. Berbicara dengan Hinduisme, tidak bisa kita mengabaikan keterkaitannya dengan Weda karena Weda yang diyakini sebagai sabda Suci Tuhan yang bersifat Anadi, Ananta dan Nirwikalpa yang telah diterima oleh Maha Rsi dan menjadi sumber ajaran Agama Hindu memberikan vitalitas, yang mengaliri dan meresapi seluruh aspek Hinduisme bila diibaratkan sebagai Api Hindu adalah sebagai wujud yang menyala dan Weda itulah panasnya. Menurut ajaran Weda, Theologi Hindu menyebutkan bahwa Pranawa atau OMKARA itu sebagai Nyasa untuk mewujudkan Tuhan Yang Maha Esa yang trasendental pada dunia immanent yang terbatas. Beliau meraga acintya (tak terbayangkan) diwujudkan dengan wijaksara OMKARA secara konseptual dalam Narayana Upanisad tentang Wicaksara Om itu tersendiri dari tiga matra, yaitu A kara sebagai Brahma , U- kara sebagai Wisnu, dan Ma – Kara sebagai Mahadewa Iswara. Bila ketiga Ma yang disebut juga Sang yang Triaksara ini adalah esensi dari hakekat unsur OMKARA itu sebagai Nyasa dari Prabawa Tuhan yang Esa.

Umat Hindu memuja kepada Tuhan Seru Sekalian Alam menyeru dengan puja OM. Hakekat dari pemujaan tersebut, adalah dalam rangka pendekatan diri antara yang memuja dengan Sang Pujaan. Dalam kontek pemujaan ini, diisyaratkan semakin suci yang memuja, Sang Pujaan akan nampak lebih jernih. Secara implisit Mpu Kanwa melukiskan situasi bagaikan melihat bayangan bulan yang dilihat dalam tempayan yang berisi air semakin jernih airnya makin bersihlah bayangan bulan itu, (Lontar Arjuna Wiwaha) Pendekatan ini merupakan suatu langkah awal penyatuan Atman dengan Paramatman, sebagai tujuan akhir dari Ajaran Agama Hindu, yakni Moksa. Dalam Kidung Coak pembebasan terakhir itu dilukiskan pada sebuah kalimat sederhana yang berbunyi Toyane sendok ban toyo dan temboke bah dadi gumi.

Itulah prosesi pemujaan Umat Hindu kepada Tuhan yang diwujudkan dalam OMKARA, dipuja dan diseru dengan Puja Om yang kudus itu, hubungan dengan Selonding bahwa Selonding itulah penjabaran dari suaranya Pranawa (OM) itu.

Suara Salonding Sakral sebagai Suara Pranawa. Gambelan Salonding adalah gambelan Kuno yang paling sakral dalam melengkapi upacara keagamaan (Hindu) di Bali yang berlaras pelog Sapta Nada, contohnya seperti Selonding yang ada di Trunyan, di Bugbug, Tenganan, Ngis Selumbung , Timbrah, Asak, Bungaya, Besakih, Selat, Bantang dan lain-lainnya.  Dalam konteks Desa Adat Bugbug, Selonding (yang disimpan di dekat Pura Piit Bugbug) ini selalu mengiringi prosesi upacara besar di Pura-pura di Bugbug, seperti Usaba Sumbu dan rangkaian Usaba Gumang di Bukit Juru.  Para penabuhnyapun bukanlah orang sembarangan.

Menurut Lontar Prekempa bahwa semua tetabuhan atau gambelan lahir dari suaraning Genta Pinara Pitu, Suaraning Genta Pitara Pitu adalah suara sejati yang berasal dari suaranya alam semesta atau bhuana, suara suara yang utama yang berasal dari suaranya semesta itu ada tujuh suara banyaknya yang disebut dengan sapta suara. Suara ini berasal dari Akasa disebut Byomantara Gosa. Ada pula suara yang disebut Arnawa Srutti yaitu suara yang keluar dari unsur Apah. Yang lain ada disebut dengan Agosa, Anugosa, Anumasika dan Bhuh Loko Srutti. Yang terakhir disebutkan suara yang keluar dari unsur Pertiwi.

Sapta suara yang merupakan inti dijadikan sebagai sumber yang dihimpun oleh Bhagawan Wismakarma menjadi Dasa Suara, yaitu lima suara Patut Pelog sebagai Sangyang Panca Tirta dan lima Suara Patut Selendro sebagai Pralingga Sangyang Hyang Panca Geni. Unsur Dewata yang merupakan Prabawa dari Yang Maha Tunggal yang melingga pada Dasa Suara yang dihimpun menjadi Gegambelan.

Selonding merupakan gamelan Bali yang usianya lebih tua dari gamelan-gamelan yang kini populer dipakai dalam kesenian maupun dalam upacara adat dan agama. Tidak semua desa di Bali memiliki budaya yang dekat dengan jenis gamelan ini, kecuali beberapa desa tua di belahan selatan dan timur pulau Bali, seperti Bugbug, Tenganan, Bungaya dan Timbrah dan Asak, Ngis.

Tidak seperti gamelan lainnya yang bilah-bilah perunggu digantung dengan tali sapi pada badan gamelan, pada salonding bilah-bilah perunggu bahkan yang lebih tua bilah bilah besi diletakkan dengan pengunci secukupnya di atas badan gamelan tanpa bilah resonan (bambu resonan) seperti jenis gamelan saat ini. Dengan suara yang khas, salonding dengan nada klasiknya mengiringi penari rejang dalam “mesolah” persembahan tari dalam upacara yadnya di desa desa tua seperti Tenganan, Bugbug, Asak dan beberapa desa di belahan timur pulau Bali.

Saat ini, gamelan salonding seakan yang dengan tabah mengiringi yadnya sejak ratusan tahun lampau, tidak pernah dilirik sedikitpun oleh generasi muda untuk memukul bilah-bilahnya. Pemukul salonding yang sudah berusia lanjut seakan tak berdaya untuk menarik para pemudanya untuk menggantikan dirinya, karena generasi penerus lebih senang hidup mengikuti gaya hidup modern atau yang tertarik lebih senang memukul bilah-bilah gamelan gong kebyar atau menggebrak drum dan memetik dawai gitar yang lagi populer dan ngetop.

Siapakah yang akan melanjutkan memukul bilah-bilah salonding jika keadaan tetap seperti ini? Gemerlap pesta kesenian Bali dengan lomba gong kebyarnya seakan sedetikpun tak menoleh pada salonding. Ataukah salonding ingin dibiarkan menghilang karena peralatan tua harus segera diganti dengan Gong Kebyar atau perlengkapan band lainnya ?

Bagaimana dengan yadnya yang diiringi oleh salonding harus diganti dengan kebyar, lenggak lenggok penari rejang klasik diganti dengan rejang dewa atau kontemporer?

Salonding menunggu generasi muda, siapa?  Demikian Wiryana dalam blognya mempertanyakan peranan generasi muda akan kegigihan mereka mempertahankan seni budaya warisan para leluhur. Ya, kami di Krama Purantara di Denpasar bergerak guna menjawab akan keraguan ini. Beberapa generasi muda sudah kami kumpulkan dan berdasarkan keputusan Ketua IWB Denpasar, sekaa gong “Selonding Gumang” sudah terbentuk. Walaupun seperangkat gong masih status pinjam sewa dari Krama Purantara Ngis di Denpasar, tidak menyurutkan kami untuk berlatih berbagai tetabuhan wali yang mengiringi berbagai upacara di Desa Adat Bugbug. Di bawah asuhan I Wayan Sarya dan I Ketut Tak“Selonding Gumang” siap ngayah membantu (jika diinginkan, tan mabuaka) penabuh asli yang merupakan pengayah dengan jam terbang yang sangat panjang dalam pelbagai kesempatan wali guna mengawal dan mengiringi upacara yang dilaksanakan di Desa Adat Bugbug.

Gamelan Selonding adalah gamelan sakral yang terbuat dari bahan besi yang hanya terdapat didaerah Karangasem, yaitu desa Tenganan Pegringsingan dan desa Bongaya. Diduga juga ada gamelan selonding yang terbuat dari kayu, namun sampai sekarang ini instrumen itu belum ditemukan. Nama lengkap dari gamelan selonding besi yang di Tengan pagringsingan adalah Batara Bagus Selonding. Yang berarti selonding adalah leluhur yang maha kuasa.

Kata Selonding diduga berasal dari kata Salon dan Ning yang berarti tempat suci. Dilihat dari fungsinya Selonding adalah sebuah gamelan yang dikeramatkan atau disucikan.

Mngenai sejarah gamelan selonding ini belum diketahui orang. Ada sebuah metologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu orang-orang Tengan Pagringsingan mendengar suara gemuruh dari angkasa dan datang suara itu datangnya bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bongaya (sebelah timurlaut tenganan) dan pada gelombang kedua, turun di Tenganan pagringsingan. Setelah sampai dibumi ditemukan gamelan selonding yang berjumlah tiga bilah. Bilah-bilah itu dikembangkan sehingga menjadi gamelan selonding seperti sekarang yang memiliki tujuh nada. Ditenganan pagringsingan gamelan selonding terdiri dari 40 ( empat puluh) bilah, 6 (enam) tungguh masing-masing berisi 4 (empat) bilah dan yang 2 (dua) tungguh berisikan 8 (delapan) bilah.

Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upaya adat Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi Abuang, Perang Pandan (Mekare-karean) dan lain-lain.

Di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan gambelan Selonding diberi nama Bhatara Bagus Selonding. Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara gemuruh dari angkasa yang dating secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun dari Bongaya (sebelah timur laut Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun di daerah Tenganan Pagringsingan. Setelah hilangnya suara itu diketemukan gambelan Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu kemudian dikembangkan sehingga menjadi gambelan Selonding seperti sekarang.

Filosofi Selonding Dalam Tatwa Hindu Selengkapnya

Penempatan Posisi Ketinggian Monitor Diturunkan Dapat Mengurangi Keluhan Subjektif Para Pemakai Kaca Bifokal, Bagian II

Penempatan Posisi Ketinggian Monitor Diturunkan Dapat Mengurangi Keluhan Subjektif Para Pemakai Kaca Bifokal, Bagian II

Oleh: I Dewa Ayu Sri Suasmini, S.Sn,. M. Erg. Dosen Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Internet Seminar Indonesia Denpasar

Mata

Mata adalah salah satu indera penglihatan. Mata dapat menerima begitu banyak informasi secara tepat. Mata manusia mampu memberi penglihatan yang baik dalam berbagai keadaan. Mata dapat melihat dengan  baik dalam cahaya yang terang dan redup, melihat benda dekat dan jauh dan melihat berbagai warna (Ward, 1986)

Bentuk mata manusia mendekati bulat, pada  orang    dewasa  memiliki diameter 2,5 cm     (1 inci). Mata dilindungi cekungan bertulang pada bagian depan dan dapat bergerak bebas di dalam cekungan tersebut oleh seperangkat otot.

Lensa mata adalah salah satu bagian dari mata. Lensa tergantung pada bagian depan mata oleh ikat sendi yang berhubungan dengan lingkungan otot bulu mata. Lensa berfungsi memfokus cahaya hampir sebaik lensa kaca, sehingga dapat mengubah bentuknya untuk memfokus benda dengan jarak yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan mata bisa melihat benda yang jauh dan benda yang dekat dengan jelas. Ukuran lensa mata manusia kira-kira sebesar kacang kecil dan sangat bening sedikit kekuning-kuningan, dan permukaan sedikit datar. Pada orang tua lensa mata menjadi lebih kaku dan tidak dapat mengubah bentuknya dengan mudah. Ini berarti bahwa untuk membaca diperlukan kacamata.

Sakit kepala adalah merupakan salah satu tanda bahwa mata bekerja terlalu berat. Untuk mengusahakan penglihatan mata bekerja dengan baik. Konstruksi dan cara kerja mata dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil dalam memfokus. Terkadang mata tumbuh dengan tidak sempurna. Hal tersebut bisa disebabkan karena selama manusia tumbuh, pertumbuhan mata lebih lambat, sehingga kelainan mata dapat diketahui sedikit demi sedikit.

Menurut Ward 1986 bahwa ada beberapa kelainan mata yang paling umum adalah karena kesalahan pada pertumbuhan sehingga mata bisa menjadi terlalu panjang atau terlalu pendek. Pada mata normal bayangan terbentuk pada retina, sedangkan pada penglihatan jauh bayangan yang tajam terbentuk dibelakang retina dan pada penglihatan dekat, mata terlalu panjang sehingga bayangan terbentuk di depan retina. Adapun kelainan-kelainan mata yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Myopi adalah penglihatan dekat, yaitu kelainan mata yang sangat umum terjadi dimana bola mata mengendur sehingga jarak bola mata dari depan ke belakang terlalu jauh. Untuk memandang benda yang sangat dekat dapat dilihat dengan jelas, sedangkan benda yang jaraknya jauh mata tidak dapat memfokus.
  2. Hipermetropia yaitu kelaian mata yang tidak dapat melihat dekat. Pada tipe ini mata terlalu pendek atau lensa mata terlalu datar, sehingga bayangan terbentuk dibelakang retina. Orang dengan kelainan mata ini dapat melihat benda yang jauh letaknya dengan jelas tetapi tidak dapat memfokus sesuatu yang dekat. Kelainan ini pada umumnya akan dialami pada orang-orang yang sudah berumur atau sudah tua. Karena pada  saat itu lensa mata menjadi kaku dan bentuk lensa menjadi datar. Supaya dapat melihat dengan jelas, orang yang mempunyai kelainan mata ini harus mempergunakan kacamata yang dilengkapi dengan lensa cembung sehingga dapat menambah kekuatan pembiasan lensa mata dan memperbaiki bayangan.
  3. Astigmatis adalah kelainan mata dimana lensa didalam mata menggeliat sehingga bentuknya agak mirip silinder dimana kornea yng tidak benar-benar bundar akan mempengaruhi pembiasan cahaya sehingga bayangan yang dilihat menjadi mengembang  (menjadi lebih panjang), menyerong  dan menjadi lebih pendek tergantung arah mata melihat. Untuk memperbaiki dapat menggunakan lensa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan pengaruh lengkungan permukaan kornea yang tidak  sempurna. Apabila lensa mata kehilangan fleksibelitasnya dan tidak dapat mengakomodasi penglihatan jauh dan dekat, kadang-kadang diperlukan lensa khusus yang disebut dengan bifokal. Lensa bifokal dibuat sedemikian rupa sehingga bila mata melihat lurus ke depan, benda yang jauh dapat dilihat dengan jelas. Jika mata melihat kebawah seperti pada saat membaca, mata dapat melihat melalui lensa yang dibentuk secara khusus sehingga benda-benda dekat dapat lihat dengan jelas.

Analisis Karakteristik Subjek

Penelitian perbaikan posisi ketinggian monitor ini adalah merupakan penelitian pendahuluan dengan jumlah sampel sebanyak 3 orang, jenis kelamin laki-laki yang memakai kacamata dengan lensa bifokal. Masing-masing diberikan dua perlakuan yang sama yaitu pada kontrol subjek melakukan aktivitas mengetik dengan posisi ketinggian  monitor  sejajar dengan garis mata (posisi standar), pada perlakuan subjek melakukan aktivitas mengetik dimana posisi ketinggian monitor diturunkan dengan melepas poros bagian bawah monitor. Pada posisi ini  sikap kerja subjek saat melihat ke layar monitor kepala  tidak mendongkak lagi sehingga keluhan sujektif pada mata dan keluhan muskuloskleletal pada leher menjadi berkurang. Dari analisis deskriptif terhadap data karakteristik subjek meliputi umur berat badan, tinggi badan, pengalaman menggunakan komputer diketahui bahwa rerata umur subjek dalam penelitian ini adalah 5.00± 5.00 tahun, rerata berat badan subjek 70.33 ± 2.52  kg, dan tinggi badan  170.33 ± 2.52  cm. pengalaman menggunakan komputer rerata 4.33 ± 1.15 th, kondisi mata rerata lensa min 2.67  ± 0.58 dan lensa plus 5.67  ± 2.52.

Berdasarkan atas umur, berat badan, tinggi badan, pengalaman, dan kondisi mata, maka subjek termasuk dalam kategori tua. Dimana pada kondisi ini sebagian dari kekuatan otot-otot sudah mulai menurun. Demikian juga dengan kondisi mata karena otot-otot pada mata sudah mulai kaku sehingga mata pada kondisi ini memerlukan kacamata dengan lensa ganda, demikian juga dengan kondisi otot-otot skleletal juga mengalami penurunan, dengan melihat kondisi subjek yang demikian maka perlu diberikan perlakuan yang berbeda dari mereka yang normal. Dilihat dari pengalaman kerja menggunakan komputer dapat dikatakan subjek sudah cukup berpengalaman.

Analisis  Keluhan Subjektif Kelelahan Mata

Keluhan subjektif dihitung dari hasil skor pengisian kuesioner dengan menggunakan empat skala likert yang diberikan kepada subjek yaitu sebelum dan sesudah melakukan aktivitas mengetik dengan posisi  ketinggian monitor yang sejajar dengan garis mata dan pada posisi ketinggian monitor yang diturunkan dari garis mata subjek.  Penilaian terhadap kelelahan mata adalah semakin tinggi nilai keluhan kelelahan mata berarti semakin banyak keluhan yang dirasakan oleh subjek.

Hasil skor rerata kelelahan mata sebelum mengetik dengan menggunakan monitor sejajar dengan garis mata   adalah sebesar 11.34 ± 0.57 dengan menggunakan monitor yang diturunkan adalah  sebesar 10.40±0.53.  Rerata kelelahan mata sesudah melakukan aktivitas mengetik dengan menggunakan monitor yang sejajar dengan garis mata adalah sebesar 19.81±0.66 dan sesudah menggunakan monitor yang diturunkan diperoleh rerata sebesar 13.78±0.77. Sehingga terjadi penurunan keluhan mata setelah menggunakan monitor yang diturunkan sebesar 6.03±0.11.

Keluhan para pengguna komputer yang memakai kacamata lensa bifokal yang sering dialami seperti pusing, mata perih, mata berair dan silau. Meskipun semua keluhan tersebut tidak menyebabkan kerusakan mata secara permanen, namun dapat menimbulkan  ketidaknyamanan sewaktu mengetik. Penurunan keluhan subjektif yang dialami oleh para penguna komputer yang memakai kacamata lensa bifokal disebabkan karena perbaikan posisi ketinggian monitor yang diturunkan dengan melepas poros bagian bawah monitor

Analisis Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal yang dialami para pengguna komputer yang memakai kacamata lensa ganda diperoleh dari score kuesioner yang diberikan pada masing-masing subjek yang diberikan pada posisi ketinggian monitor yang sejajar dengan garis mata yaitu sebelum dan setelah melakukan aktifitas mengetik dan pada waktu perbaikan yaitu dengan merubah posisi ketinggian monitor yang diturunkan.  Hasil rerata yang diperoleh adalah keluhan  sebelum mengetik keluhan muskuloskleletal pada kontrol sebesar 34.66 ± 2.081 dan  rerata keluhan muskuloskeletal pada perlakuan sebesar 31.33 ± 1.527. Rerata keluhan muskuloskleletal setelah melakukan aktivitas mengetik , rerata keluhan muskuloskleletal pada posisi monitor sejajar dengan garis mata subjek adalah sebesar 54.33±2.516 sedangkan setelah mendapatkan perlakuan dengan menurunkan posisi monitor diperoleh rerata keluhan muskuloskleletal adalah sebesar 41.00±  4.358, berarti terjadi penurunan keluhan muskuloskeletel sebesar 13.33±1.842. Hal ini menunjukkan setelah diberikan perlakuan  dengan merubah posisi ketinggian monitor yang diturunkan.   Dengan merubah posisi ketinggian monitor yaitu dengan menurunkan atau melepas poros bagian bawah monitor mengakibatkan pengguna komputer yang memakai lensa bifokal tidak mengangkat kepala lagi atau mendongkakkan kepalanya sehingga keluhan sakit pada leher menjadi menurun. Hal ini tentunya akan memberikan kenyamanan bagi penguna komputer yang memakai lensa ganda pada saat mengetik sehingga nantinya akan dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Yu, et.al (1993) meneliti 170 tukang ketik wanita dengan sikap kerja membungkuk, menimbulkan keluhan pada muskuloskleletal berupa low back pain (53%), nyeri leher (50%), nyeri tangan (27,6%) dan nyeri jari-jari (27,6%). Menurut Vanwonterghem (1994) dan Ayoub (1994) melaporkan bahwa gangguan sistem muskuloskeletal merupakan masalah besar dalam dunia industri yang disebabakan oleh: tempat kerja yang tidak memadai, organisasi kerja yang tidak efisien, sikap kerja yang tidak alamiah dan jadwal istirahat yang tidak teratur. Sikap kerja yang tidak alamiah dan jadwal istirahat yang tidak teratur.

Penempatan Posisi Ketinggian Monitor Diturunkan Dapat Mengurangi Keluhan Subjektif Para Pemakai Kaca Bifokal, Bagian II

Gamelan Gong luang

Gamelan Gong luang

Kiriman I Wayan Putra Ivantara, Mahasiswa PS Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Gamelan Gong Luang adalah barungan gamelan Bali yang berlaraskan pelog 7 nada dipergunakan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya atau Memukur. Laras 7 nada yang dipergunakan dalam Gamelan Gong Luang dapat dibagi menjadi 7 patet lagi yaitu :

  • · Patet Panji Cenik
  • · Patet Panji Gede
  • · Patet Wargasari
  • · Patet Mayura Cenik
  • · Patet Panji Miring
  • · Patet Kartika

Gamelan Gong Luang ini dapat didengar pada saat ada upacara Memukur yang pada umumnya biasanya di lakukan di Puri atau Griya. Dan jenis – jenis lagu/gending gong luang yaitu :

1. Gending Lilit Panji Alit

2. Gending Lilit Nyora

3. Gending Lilit Warga Sari

4. Gending Lilit Panji Cinada

5. Gending Lilit Panji Demung

6. Gending Sih Miring

Dr. Made Bandem, dalam bukunya yang berjudul “ Ensiklopedi Musik Bali” mengatakan bahwa  bentuk gamelan Gong Luang serupa dengan Gamelan Gong Kebyar,dimana Gong Luang hanya  terdiri dari tiga belas atau lima belas instrumen, sedangkan Gong Kebyar memakai dua  puluh lima sampai tiga puluh instrumen.

Adapun instrumen-intrumen yang ada dalam barungan gamelan Gong Luang Banjar sebagai berikut:

– 1 tungguh gangsa jongkok besar ( 7 bilah )

– 1 tungguh gangsa jongkok kecil ( 7 bilah )

– 1 tungguh saron bambu ( 8 bilah )

– 1 tungguh reong ukuran besar ( 8 pencon )

– 1 tungguh reong ukuran kecil ( 8 pencon )

– 2 buah jegogan ( 7 bilah )

– 2 buah jublag atau calung ( 7 bilah )

– 1 buah kendang cedugan

– 6 buah ceng-ceng kopyak

– 1 buah ceng-ceng ricik atau kecek

– 1 buah gong

– 1 buah kempul

– 1 buah kajar

Jadi dalam memainkan gamelan Gong Luang diperlukan kurang lebih 20 orang penabuh gamelan.

Teknik Permainan pada Gamelan Gong Luang

Teknik atau gegebug dalam gamelan bali merupakan suatu hal yang pokok, Gegebug atau teknik permainan bukan hanya sekedar keterampilan memukul dan menutup bilah gamelan, tetapi mempunyai konotasi yang lebih dalam dari pada itu. Gegebug mempunyai kaitan erat dengan orkestrasi danmenurut prakempa (sebuah lontar gamelan Bali) bahwa hampir setiap instrument memiliki teknik tersendiri dan mengandung aspek „‟physical behavior‟‟ dari instrumen tersebut. Sifat fisik dari instrumen-instrumen yang terdapat dalam

gamelan memberi keindahan masing-masing pada penikmatnya.

Teknik memainkan gamelan Gong Luang sangat khas dan unik yang tidak didominasi oleh teknik kotekan-kotekan. Teknik permainan Gong Luang juga merupakan sumber dari teknik permainan gamelan Bali lainnya. Dalam gamelan Gong Kebyar, teknik tersebut ditransformasikan dengan istilah ‟‟leluwangan‟‟.  Berikut ini merupakan teknik permainan yang dipakai dalam gamelan Gong Luang ;

Teknik permainan pada instrumen Terompong atau Reyon

–         Pukulan Ngempat/ngembyang, yang dimaksudkan adalah, memukul secara bersamaan dua buah nada yang sama dalam satu oktafnya.

–         Pukulan Ngempyung, yang dimaksudkan adalah memukul secara bersamaan dua buah nada yang tidak sama yaitu memukul dua buah nada dengan mengapit dua buah nada ditengah-tengah.

–         Pukulan Nyilih Asih adalah memukul beberapa nada satu persatu, baik dilakukan dengan satu atau dua tangan secara berurutan maupun berjauhan.

–         Pukulan Norot Pelan adalah memukul dengan tangan kanan dan kiridengan sistem pemain memukul sambil menutup atau nekes dimanapelaksanaannya bergantian.

–         Pukulan ubit-ubitan adalah teknik ermainan yang dihasilkan dari perpaduan sistem on-beat (polos) dan of-beat (sangsih). Pukulan polos dan sangsih jika dipadukanakan menimbulkan perpaduan bunyi yang dinamakan jalinan atau bisa disebut interlocking.

Teknik permainan pada instrumen Gangsa Jongkok Besar dan Kecil

–         Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi.

Teknik permainan pada instrumen Saron bamboo

–        Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi.

–        Pukulan Niltil adalah pukulan satu nada dengan tangan kanan atau kiri yang temponya semakin lama semakin cepat. Pukulan ini biasanya digunakan pada saat mencari pengalihan gending atau lagu.

–        Teknik Nyangsihin atau ngantung. Pukulan ini bertujuan untuk membuat suara instrumen saron lebih terdengar.

Teknik permainan pada instrumen Jublag atau Calung

–          Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi, pada instrumen Jublag atau Calung pukulannya lebih jarang.

Teknik permainan pada instrumen Jegog

–         Pukulan Ngapus menggunakan tutupan sambil memukul sebelum memukul nada/bilah selanjutnya.

Teknik permainan pada instrumen kendang

–        Pukulan kendang di dalam gamelan Gong Luang, hanya dimainkan pada waktu akan mencari gong atau habisnya satu putaran lagu dan dipukulnya menggunakan panggul.

Teknik permainan pada Ceng-Ceng Kopyak

–        Pukulannya disini, dimainkan dengan sistem cecandetan ceng-ceng kopyak pada umumnya.

Teknik permainan Ceng-Ceng Kecek

–         Pukulan Ngajet adalah memukul intrumen ceng-ceng dengan kedua tangan secara bergantian.

Teknik permainan Kajar

–        Pukulan Penatas Lampah adalah pola pukulan kajar yang menggunakan pola ritme yang sama atau ajeg dari satu pukulan kepukulan yang lain dan mempunyai jarak dan waktu yang sama.

Teknik permainan pada instrumen Kempul

–        Nama pukulannya adalah Selah Tunggul,yang dimana pukulan kempul jatuh sebelum instrumen Gong dibunyikan.

Teknik permainan pada instrumen Gong

–        Jatuhnya pukulan Gong, menandakan lagu itu sudah berakhir karena fungsi dari instrumen gong merupakan sebagai finalis dan nama pukulannya adalah Pukulan Purwa Tangi.

Jadi dapat disimpulkan teknik-teknik gegebug atau pukulan pada gamelan Gong Luang sebagian besar sama dengan teknik-teknik permainan pada gamelan Gong Kebyar dan Gong Gede.

Gamelan Gong luang Selengkapnya

 

Loading...