by admin | Feb 5, 2010 | Artikel
Oleh Widyabakti Sabatari, diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi September 2007
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakatnya, kepada peserta didiknya. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia Wardiman Djojonegoro dalam pengantar buku “Kreativitas, Kebudayaan dan Pengembangan Iptek”, mengemukakan bahwa manusia sebagai aktor budaya memberikan makna dan arah terhadap bentuk-bentuk budaya lahiriah serta pembangunan itu sendiri. Perkembangan kebudayaan nasional diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan wahana pada pembangunan nasional dalam segenap dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia, memperkuat jatidiri dan kepribadian bangsa. Dalam hal ini, pendidikan merupakan wahana yang sangat penting dalam proses pengembangan kebudayaan nasional, karena pada dasarnya pendidikan itu sendiri merupakan proses pembudayaan. Pendidikan sebagai usaha sadar yang diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan, ketrampilam, sikap, dan kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Di antaranya adalah mendorong berkembangnya kreativitas peserta didik, yang sejalan dengan perkembangan aspek-aspek yang lain seperti keimanan dan ketaqwaan, kecerdasan, ketrampilan, semangat kebangsaan, dan lain-lain, sehingga tercipta keseimbangan dan keselarasan (Supriadi, 1994:vi-vii).
Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Pada hakekatnya setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, oleh karena itu memerlukan pendidikan yang berbeda pula. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu serta memupuk, mengembangkan dan meningkatkan bakat tersebut. Mengutip pendapatnya Renzuli tentang keberbakatan dikatakan bahwa, dulu orang biasa mengartikan “anak berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya inteligensi (kecerdasan), melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi (Utami, 2004:6). Kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya. Kreativitas dapat muncul dalam setiap kegiatan manusia tidak terbatas dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terbatas pula pada tingkat usia, jenis kelamin, suku bangsa atau kebudayaan (Semiawan, 1987:7). Kreativitas secara naluri memang terkandung di dalam setiap manusia, walaupun dengan derajad yang berbeda. Pemahaman ini juga disepakati Todd I. Lubbart dalam buku Handbook of Creativity yang mengatakan “creativity can occur in virtually any domain, including the visual arts, literature, music, business, science, education, and everyday life (Sternberg ed.,1999:339). Salah satu kendala konseptual utama terhadap studi kreativitas adalah pengertian tentang kreativitas, alat-alat ukur yang digunakan, dan kesulitan me-rumuskan konsep kreativitas itu sendiri. Disadari bahwa sekarang ini hampir setiap orang, pemimpin lembaga kependidikan, manajer perusahaan, sampai pejabat pemerintah menganggap pentingnya kreativitas dalam usahanya untuk mengembangkan di sekolah, pekerjaan atau pun dalam pembangunan.
Sejalan dengan pemikiran ini dan permasalahan yang sudah dikemukakan, maka fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah keinginan penulis untuk menyampaikan gagasan tentang pemanfaatan seni dan budaya dalam pembelajaran desain busana. yaitu menggunakan lagu-lagu dolanan atau lagu-lagu Jawa sebagai sumber ide dalam penciptaan desain busana wanita yang ditujukan untuk kostum grup vokal.
Penciptaan Desain Busana Wanita Dengan Sumber Ide Lagu Dolanan selengkapnnya
by admin | Feb 4, 2010 | Artikel
Kiriman I Ketut Darsana Dosen PS. Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan, diterbitkan dalam jurnal Mudra.
Busana Agung merupakan busana tradisional Bali yang paling mewah. Busana ini terlihat gemerlap bak pakaian seorang raja beserta permaisurinya yang cantik dan anggun. Busana agung di Bali bentuknya juga beragam tergantung dari daerah dimana busana adat itu berada. Antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam hal Busana agung ini. Namun untuk lebih mudah mengenali Busana Agung sebaiknya dilihat pada Busana agung yang paling umum digunakan. Busana jenis ini umumnya dipergunakan dalam rangkaian upacara “Potong Gigi” dan Perkawinan.Saat persembahyangan di halaman rumah untuk memohon keselamatan kehadapan Hyang Widhi sampai naik ke balai-balai tempat Potong Gigi berlangsung para remaja yang akan mengenakan busana jenis ini. Busana ini juga masih tetap digunakan tatkala upacara merajah menulisi dengan huruf sakti pada tempat-tempat tertentu di badan dan ke enam gigi yang akan diasah, mabiakala, natab ayaban, mapadampel, serta saat mejaya-jaya mohon keselamatan dan kesejahteraan.
Busana Agung memang beragam sesuai dengan desa-kala-patra (tempat, waktu, dan keadaan) setempat. Kain yang digunakan adalah wastra-wali khusus untuk upacara. Kadangkala juga bisa diganti dengan wastra putih, simbol penggerak kesucian. Yang paling umum wastra- wali seringkali diganti dengan kain songket, karena kain jenis ini sangat pas untuk mewakili kemewahan dengan gemerlap benangnya. Bagaimana pun kain jenis ini melambangkan status atau prestise bagi pemakainya. Selain mengenakan wastra kain sang pria juga menggunakan kampuh gelagan atau dodot yang ukurannya sama dengan kain yang dipakai. Kampuh ini juga dipakai hingga menutupi dada, karena si pria tidak mengenakan baju. Pada punggung seringkali tersembul keris yang rebah ke kanan. Biasanya keris yang disungkit adalah keris pusaka keluarga yang berhulu emas bertahtakan permata atau berbilah gading bagi yang punya. Hiasan kepala yang digunakan berupa petitis atau gelungan terbuat dari emas, dengan beberapa bunga emas, dan bunga segar yang bertengger di bagian belakang.
Adakalanya gelungan diganti dengan ikat kepala biasa atau sering disebut destar terbuat dari kain songket yang tidak kalah gemerlapnya. Langkah yang gagah, memegang ujung kain yang menjuntai panjang ke bawah, memberi nilai tambah bagi kelelakian seseorang di kala upacara berlangsung.
Bagi wanitanya, yang paling menarik untuk ditatap tentu hiasan kepalanya yang berupa petitis emas, ron-ronan yang dihias dengan rangkaian bunga cempaka di bagian belakang dikombinasikan dengan bunga kembang sepatu berwarna merah yang lazim disebut pucuk bang atau pucuk rejuna yang dipasang di tengah bagian muka gelung agung. Kembang sepatu ini bisa diganti dengan mawar merah atau bunga kenyeri susun merah yang tetap mengesankan meriah dan anggunnya paras sang wanita. Di lain tempat gelung agung biasa diganti dengan bancangan bunga tanpa petitis, dan ron-ronan.
Namun hiasan bunganya tetap sama, termasuk peran bunga emas yang sering mendominasi. Unsur lainnya adalah kain berwarna gelap yang disebut wastra wali cokordi, wastra wali keeling, atau wastra wali bias membah. Sebelum kain yang khusus ini dikenakan, wanita yang berbusana agung mengenakan terlebih dahulu kain lapis dalam yang disebut sinjang atau tapih yang nampak keluar dari batas bawah kain, yang ujungnya mengarah ke belakang, terlepas bebas diantara kedua kaki sang wanita.
Sinjang ini pada akhirnya seolah mengatur langkah wanita menjadi pelan namun anggun. Stagen atau pepetet juga dikenakan, dengan ciri khas terdiri dari potongan kain warna-warni yang indah dan harmonis ditambah dengan lukisan prada emas. Yang terakhir adalah peran selendang yang disebut wastra wali petak sari atau wastra wali kesetan gedebong dengan warna kuning sekaligus berfungsi sebagai penutup dada, dengan ujungnya menggelantung bebas ke belakang, melalui bahu kiri.
Busana Adat Reresonan adalah busana untuk bekerja dalam segala macam kegiatan adat. Karena itu, busana jenis ini ditata ringkas dan sederhana baik bagi wanita maupun prianya. Pada dasarnya baik wanita ataupun prianya hanya memakai kain serta penutup dada. Khusus untuk prianya, penutup dada disebut saput atau kampuh bisa langsung menjadi ikat pinggang, dan dinamai bebed, atau ubed-ubed. Kadangkala saput dipakai dengan ikat pinggang yang disebut sabuk tubuan seperti dikenakan remaja desa adat Tenganan Pegringsingan. Mereka menyebutnya saput mebasa-basa. Kini baik wanita maupun pria melengkapi dirinya dengan baju, saat mengenakan busana adat reresonan
Busana Adat Modern, busana adat ini banyak memunculkan kreasi-kreasi baru, namun tetap memakai pola dasar tradisional. Bagi wanita mengenakan baju kebaya, selendang yang dijadikan stagen, serta kain. Sanggul wanita tetap dipilih sanggul tradisional Bali. Sedangkan untuk remaja lebih sering tidak mengenakan sanggul. Yang terpenting pada penggunaan busana jenis ini adalah pemilihan warna yang serasi antara kain, baju, selendang, serta aksesoris yang dikenakan. Bagi pria busananya terdiri dari destar atau ikat kepala, baju, kain, kampuh yang menyelimuti kain, umpal yang mengikat kampuh. Busana jenis ini sangat umum dipakai saat ini.
Dalam keseharian, untuk menghindari terlepasnya sanggul, wanita Bali akan mengenakan pengikat sanggul yang lazim disebut “teng kuluk”. Di tempat umum seperti pasar-pasar tradisional, tengkuluk sangat lazim digunakan oleh masyarakat. Jenis dan bentuk tengkuluk pun sangat be-ragam. Salah satu diantaranya ya lelunakan. Lelunakan sendiri merupakan pengembangan tengkuluk dalam bentuknya yang manis dan indah, karena kain yang dipakai bukan lagi handuk, melainkan selendang. Kain selendang yang digunakan untuk lelunakan ujung-ujungnya tertata rapi serta memiliki bukaan yang lebar, sehingga lebih melindungi kepala dan mengikat rambut yang tergelung lebih erat.
Lelunakan yang menambah ayunya wanita Bali ini, pada awalnya merupakan pengikat kepala dan rambut wanita Desa Adat Badung. Dalam perkembangannya, cenderung menjadi milik khas wanita seluruh Kabupaten Badung. Bahkan karena keindahannya, sekarang telah menjadi milik wanita Bali, secara keseluruhan. Lelunakan biasanya digunakan dalam upacara kematian di banjar yang dikenal dengan Ngaben, dengan aneka rangkaiannya. Lelunakan menjadi semakin populer saat diciptakannya tari Tenun sekitar 1960–an. Si penari Tenun yang tentunya para remaja pilihan berparas ayu tampil di pentas dengan gelung lelunakannya yang dimodifikasi begitu indah dan asrinya. Maka jadilah lelunakan ini hiasan kepala wanita Bali yang memikat dan semakin popular, bahkan sudah pula dipakai pada acara resmi diluar kegiatan adat.
Perlu diketahui bancangan merupakan alat untuk menancapkan bunga. Disamping menghias kepala wanita, bancangan dipergunakan pula untuk menghiasi beberapa jenis sesajen atau sarana pemujaan lainnya, seperti gebogan, prani, gegaluh, pratima, pralingga, dan pecanangan saat upacara keagamaan. Tangkainya bancangan umumnya terbuat dari bambu sedangkan tempat menancapkan bunga terbuat dari kawat yang dibentuk seperti spiral, sehingga bunga yang tertancap bisa bergerak gemulai kala dipakai.
Sebagai bagian dari busana wanita Bali, bancangan umum dipakai dalam Tari Pendet, Tari Sisia, atau saat prosesi yang dinamai peed dilakukan. Dalam momen seperti itu, bancangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu mahkota kebesaran atau gelung-agung.
Kerangka Bancangan terbuat dari rotan kecil yang kalau di Bali disebut penyalin. Tempat menancapkan bunga diatur sedemikian rupa yakni mengecil ke atas. Namun bentuk keseluruhannya tetap berbentuk bulan sabit, atau Ardha Chandra seperti yang terlihat pada gelung agung gelung janger, onggar-onggar rejang Bungaya dan Rejang Asak. Warna bunga jepun Bali yang dipakai adalah yang berwarna putih dengan pangkal helai bunga berwarna kuning. Bunga ini selanjutnya diimbuhi kembang kuning Alamanda di bagian bawahnya, denga tajuk mahkota digunting sehingga selaras proporsi dan komposisinya dengan bunga jepun.
Satu lagi, di puncak tengah bancangan dipasang sekuntum bunga mawar merah atau sekuntum pucuk bang kembang sepatu warna merah yang juga disebut pucuk rejuna. Dengan gradasi dan komposisi warna yang manis dan indah itu, bancangan jepun sampai sekarang menjadi salah satu mahkota wanita Bali yang sangat popular.
Onggar-onggar entah kapan diciptakan, dan entah siapa penciptanya, hiasan kepala seunik dan seindah Onggar-onggar menjadi ada dan acapkali digunakan pada suatu acara di desa adat. Onggar-onggar merupakan gelung hiasan kepala di desa adat Bungaya Karangasem. Hiasan kepala ini dipakai para wanita penari Rejang Saput Karah. Gelung Onggar-onggar diselipi bunga emas yang disebut sekar sasak. Sehingga mahkota rejang itu membuat sang penari tampak semakin anggun.
by admin | Feb 4, 2010 | Artikel, Berita
Kiriman Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana (Dosen Fakultas Seni Rupa Dan Disain – Internet Seminar Indonesia Denpasar)
“Brand Image” adalah capaian akhir dari suatu produk . Ketika suatu karya seni pakai (Applied Art) diluncurkan dan mendapatkan tanggapan seperti apa yang diinginkan oleh para customer bukanlah hal yang kebetulan. Perjalanan panjang suatu seni pakai, dimulai dengan menentukan sebuah konsep desain yang universal. Penelitian terhadap analisa market (psikologi desain, penentuan segmen market, dll) sehingga menghasilkan pendistribusian sebuah produk adalah kunci keberhasilan.

Fully Handpainted Concept, menjadi brand image suatu karya seni pakai (Applied Art) yang diangkat oleh Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, S.Sn telah melalui penelitian selama 8 tahun. Konsep desain yang dapat diaplikasikan ke dalam semua produk. Seperti halnya , produk interior accecories (duvet cover, curtain, cushion cover, lamp accecories,dll), fashion (shawl, kebaya,blouses,hem,dll), fashion accecories ( handfan, dll).
Beberapa pendekatan di dalam pemecahan masalah Fully Handpainted Concept yaitu : Pendekatan Konsep Budaya Warna ( Color Culture ) merupakan keyword atas konsep desain karya seni pakai Tjok Istri Ratna Sudharsana. Konsep budaya warna yang dimaksud adalah nuansa budaya warna dari setiap negara atau daerah yang menjadi local genius (keunggulan lokal). Selanjutnya yang terkait dengan budaya warna adalah Mixing Color (perpaduan warna) merupakan tahapan yang dapat meningkatkan nilai (value) produk. Transfer of feeling dan menyawai (Chi) suatu karya seni pakai yang bernilai tinggi (houte couture) adalah tahapan dari pemenuhan cita rasa seni yang mendalam. Pendekatan penentuan keberhasilan lainnya yaitu melalui Pendekatan Quantum Seni, dimana suatu karya seni tidak hanya dilihat sebagai materi saja, tetapi pada saat yang bersamaan juga memancarkan partikel-partikel / gelombang yang unik. Hal tersebut sangat dirasakan dengan menlihat ekspresivitas desainer pada karya-karya yang ditampilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu desain menuju brand image dapat di mindset dari awal perancangan dengan menguatkan visual thinking, yaitu : perpaduan antara pendekatan dengan penekanan terhadap unsur-unsur desain serta estetika dan pendekatan quantum seni (transfer of feeling dan chi / menyawai suatu karya). @ Tjok Istri Ratna Cora.S- FSRD.
by admin | Feb 4, 2010 | Artikel, Berita
Kiriman Wardizal, Dosen PS. Seni Karawitan
Zaman pemerintahan raja-raja di Bali dapat dicatat sebagai masa keemasan kesenian Bali. Pada zaman pemerintahan raja-raja di Bali, kesenian tradisonal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari perhatian dan rasa cinta para raja terhadap perkembangan kebudayaan. Jatuhnya Majapahit awal abad ke-16, telah mengakibatkan hubungan Jawa dan Bali semakin erat. Pada masa ini banyak orang-orang Jawa yang menetap di Bali serta menurunkan keseniannya dari generasi ke genarasi berikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa abad ke-16 dan ke-19 merupakan masa jayanya kerajaan Bali dengan raja-raja seperti Dalem Waturenggong (1460-1550); Dalem Bakung (1550-1580); Dalem Sagening (1580-1665) dan Dalem Dimade (1665-1686) dan seterusnya. Pada masa ini kesenian Bali mencapai puncak keemasanya dengan terciptanya tari-tarian seperti Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong Keraton dan kesenian klasik lainya ( Bandem, 1985:5-8).
Secara historis, Gambuh merupakan kesenian istana (puri) yang erat kaitanya dengan raja-raja pada zaman dahulu. Hal ini relevan dengan pendapat yang mengatakan, Gambuh adalah drama klasik yang tertua di Bali dengan mengambil lakon dari cerita panji yang menggambarkan keadaan raja atau kerajaan di Jawa (Rota, 1977:1) Sejak zaman dahulu, Gambuh telah menjadi kesenian yang amat dibanggakan oleh kalangan istana (Formagia, 2000:12). Terkait dengan Gambuh Pedungan, keadaan dan perkembanganya tidak jauh berbeda dengan Gambuh yang terdapat pada istana-istana (puri) lainya di Bali. Secara historis, Gambuh Pedungan merupakan seni istana yang erat kaitanya dengan puri Satria dan puri Pemecutan. Sebagai seni istana (puri), keadaan dan perkembangan Gambuh Pedungan mendapat perlindungan dan pengayoman dari raja. Pada waktu itu, penguasa (raja) masih tertarik melestarikan semua bentuk tradisi teater dan seni daerah. Pada zaman pemerintahan raja-raja di Bali, Gambuh Pedungan sering mengadakan pertunjukan di puri Pemecutan dan puri Satria. Besarnya perhatian raja dan keterkaitan Gambuh dengan istana (puri), khususnya puri Satria dan Pemecutan, telah menyebabkan Gambuh Pedungan tumbuh dan berkembang dan mencapai puncak keemasanya. Kondisi tersebut juga telah melahirkan penari-penari Gambuh handal. Satu diantara penari yang paling terkenal adalah I Gede Geruh (almarhum), yang sangat besar jasa dan kontribusinya terhadap pelestaraian, perkembangan dan keberlanjutan Gambuh Pedungan. Dengan semakin memudarnya kekuasaan puri, maka semakin menipis pula keterkaitan Gambuh dengan puri. Dalam situasi yang demikian, Gambuh kemudian menjadi milik kelompok atau banjar yang bersangkutan. Sebagai milik kelompok, Gambuh kemudian memiliki tempat pemujaan di banjar/desa dan pamaksan (Formagia, 1999/2000:34). Pada masa kerajaan, aktivitas seni budaya lebih banyak berpusat di istana (puri). Para seniman mendapat pengayoman dari raja seperti pemberian tanah, pembebasan pajak dan bebas (luput) dari berbagai ayahan desa. Kemudian seni budaya tersebut di atas berlangsung sampai masa kolonial. Sesudah masa kemerdekaan mulai muncul berbagai karya seni, tidak lagi hanya berpusat di puri (istana) tapi sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat) (Agung, 2000:9).
by admin | Feb 3, 2010 | Artikel, Berita
Kiriman I Wayan Suharta Dosen PS. Seni Karawitan dan telah diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi Februari 2007.
Kehidupan masyarakat Bali di masa silam sangat tergantung dengan alam. Perilaku mereka mencerminkan pemikiran magis dan sakral yang kuat seperti keyakinan adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib, serta relasi antara manusia dengan kekuatan spiritual. Persepsi yang relegius ini menunjukan sudah adanya gejala-gejala tentang kepercayaan kepada kekuatan spiritual tertinggi atau Tuhan, yang dikondisikan oleh alam pikiran mereka memuja kekuatan alam dan alam gaib (Suartaya, 2001:130).
Di kalangan masyarakat Hindu di Bali kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok; kesenian wali dan kesenian bebali. Kesenian wali mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itu telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Dikalangan masyarakat Bali seni sakral merupakan salah satu aspek vital kehidupan spiritual masyarakat Hindu yang bermakna relegius yang merupakan bagian integral dari pelaksanaan upacara (Dibia, 2003:98).
Balaganjur dalam kaitannya dengan kegiatan ritual merupakan implementasi dari sosio-relegius yang sangat ketat dan kuat memberikan dukungan terhadap keberadaan Balaganjur. Dalam kontek religius, semua angota sekaa terlibat dalam penyajian Balaganjur sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, yang semuanya dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut ngayah.
Ketika terlibat dalam kegiatan ritual, para penabuh Balaganjur menyerahkan diri secara tulus demi suatu kepercayaan yang mereka yakini. Berpatisipasi megambel terutama bagi kaum pria yang me-rasa mampu, selain untuk mengekpresikan naluri berkesenian namun pada intinya merupakan yadnya bagi kehidupannya dibawah perlindungan dari kekuatan Yang Maha Kuasa.
Yadnya atau pengorbanan suci mencakup penyerahan diri sering kali melibatkan upacara-upacara ritual. Berpegang kepada keyakinan bahwa kesenian adalah ciptaan Tuhan, orang Hindu men-jadikan kesenian sebagai sebuah persembahan dan yadnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, tapi juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu, yaitu Tuhan.
Eksistensi masyarakat Bali dalam mengekpresikan peng-akuannya terhadap kebesaran Ida Sanghyang Widhi diejawantahkan dalam wujud ngayah tersebut. Budaya ini selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam gerak laku masyarakat Bali hingga sekarang. Dalam bidang kesenian misalnya, semua orang merasa memiliki peran. Mereka yang tak bisa menari atau menabuh mungkin bertugas menata atau mengerjakan dekorasi panggung. Termasuk juga ketika membantu para penari mengenakan kostum tarinyapun sudah termasuk ngayah. Begitu juga bila berpartisipasi mengangkat gamelan dan mengurus konsumsi penari dan penabuh juga termasuk ngayah.
Terkait dengan prinsip ritual seniman-seniwati di Bali yang berkesenian atas dasar ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Selain itu, upacara ritual dilaksanakan sebagai suatu cara untuk memohon lindungan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya agar penyajian kesenian dapat berlangsung sebagaimana mestinya dan yang lebih penting lagi bisa memperoleh kekuatan sinar suci-Nya (Ibid., p. 101).
Untuk mengawali penyajian Balaganjur atau jenis pertunjukan yang lain, sudah menjadi kebiasaan bagi para seniman seni pertunjukan di Bali untuk melakukan upacara ritual. Upacara ritual seperti ini akan selalu mengingatkan para seniman akan keberadaan Tuhan. Disamping itu, juga memperlihatkan bahwa berkesenian adalah sebuah persembahan yang bermakna relegius yang intinya mengingatkan pelaku seni akan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Kehidupan berkesenian bagi masyarakat Bali menjadi satu aspek yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar dari wujud hidup keseharian itu dibarengi dengan penyertaan unsur-unsur benda, aktivitas dan pilosofi yang bernilai seni. Terbentuknya kelompok-kelompok kesenian seperti; sekaa gong, sekaa barong, sekaa angklung dan sebagainya, menunjuk pada aspek kesenian yang dapat berorientasi ekonomi. Sekaa-sekaa tersebut menunjukkan kelompok kesenian yang memiliki makna relegius dan banyak dihubungkan dengan ketakso; kreativitas budaya yang memberikan kekuatan spiritual untuk mewujudkan keseniannya. Karena itu peranannya dalam menunjang kegiatan adat dan agama khususnya upacara menjadi sangat besar (Astika, 1994:121).
Balaganjur dalam fungsinya mengiringi prosesi ritual keagamaan memiliki makna relegius. Penabuh Balaganjur oleh puluhan partisipan mengikuti ritual dalam prosesi ritual keagamaan. Kendatipun para penabuh tidak disakralkan akan tetapi saat keterlibatan mereka ketika ngayah, baik sebelum memulai atau seusai menyajikan gending-gending Balaganjur, para penabuh mendapatkan percikan air suci, mendapatkan berkah atau pem-bersihan diri secara niskala.
by admin | Feb 3, 2010 | Artikel, Berita
Kiriman Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana Fakultas Seni Rupa Dan Disain- Internet Seminar Indonesia Denpasar
Desa Pusu merupakan desa terpencil yang menggunakan energi terbarukan (renewable energy) tenaga surya di kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ketika teknologi berada pada satu titik dengan masyarakat desa terpencil, maka terjadi fenomena – fenomena sosial. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan dampak penggunaan energi listrik tenaga surya terhadap gaya hidup di desa tersebut dengan menilik profil pelaksanaan program PLTS baik secara teknis maupun non teknis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi geografis Desa Pusu sangat berpengaruh terhadap aktivitas civitas yang terbatas. Musim kemarau panjang 7 – 8 bulan dalam setahun dan 53% rata-rata waktu efektif bekerja di ladang dalam sehari merupakan ciri khas kehidupan masyarakat lahan kering yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Intervensi teknologi didasarkan atas kesadaran masyarakat Desa Pusu. PLTS sebagai entry point menuju masyarakat sejahtera berdampak terhadap gaya hidup masyarakat desa yang teraplikasi pada beberapa aspek, yaitu : aspek sosial dan budaya, ekonomi, pendidikan serta kesehatan. Habitus masyarakat desa setelah PLTS membentuk subkultur baru, dimana artefak teknologi (Solar Home System) diinternalisasi dalam kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan ada penentuan prioritas tindakan.Dari fase awal PLTS hingga fase pendampingan , kondisi tipikal masyarakat menunjukkan tanda-tanda yang berkemampuan melekatkan dirinya suatu diskursus tertentu yang mampu memberikan sebuah identitas, yaitu masyarakat pengguna PLTS. Setelah pendampingan selesai pada tahun 2006 hingga sekarang, terjadi stagnansi bahkan kondisi tipikal masyarakat desa menurun secara perlahan yang disebabkan faktor internal (masyarakat itu sendiri) dan eksternal (agen perubahan)
Dapat disimpulkan bahwa Desa Pusu termasuk dalam kategori desa terpencil dengan kondisi geografis khusus serta kemakmuran dibawah garis kemiskinan (poverty line).
Dampak penggunaan PLTS terhadap life style masyarakat terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap awal terjadi fleksibelitas intepretatif dimana masyarakat desa Pusu mengintepretasikan suatu artefak teknologi (SHS), tahap berikut terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok masyarakat pengguna artefak teknologi (SHS) dengan gaya hidup masyarakat diwarnai dengan konflik dan negosiasi antar kelompok masyarakat yang berujung pada sebuah kompromi, tahap akhir : kestabilan tidak dapat bertahan lama, terjadi stagnan dan cenderung menurun disebabkan pola pikir masyarakat dalam pengartikan perubahan itu. Kondisi tipikal masyarakat berada pada batas kejenuhan yang diakibatkan oleh terbendungnya segala keinginan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan lain dengan daya yang terbatas sehingga masyarakat kembali pada pola lama, yaitu sikap menerima apa adanya, malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, cenderung bersikap apatis. Yang merupakan ciri-ciri gaya hidup masyarakat dengan predikat kemiskinan budaya (poverty cultural).