by tik ISi | Apr 16, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : Wardizal (Dosen FSP ISI Denpasar)
Abstrak
Artikel ini merupakan inti sari dari penelitian penulis tentang gamelan Siwa Nada: Sebuah barungan gamelan baru ciptaan I Wayan Sinti. Secara subtantif, hal yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah, proses kreatif I Wayan Sinti dalam menciptakan gamelan Siwa Nada; sebuah bentuk barungan gamelan baru yang berfungsi sebagai ensiklopedi musik dunia. Data dan fakta dalam tulisan ini, secara keseluruhan didasarkan pada hasil wawancara yang penulis lakukan dengan I Wayan Sinti sebagai narasumber utama dalam penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa gagasan dan pemikiran I Wayan Sinti dalam menciptakan gamelan Siwa Nada lebih didasarkan kepada proses kreatif inovatif untuk menunjang proses kreativitas dalam berkesenian. Secara subtantif, barungan gamelam Siwa Nada berbentuk bilah dan terbuat dari bambu, kayu dan kerawang. Sinti mempunyai simbol-simbol tersendiri terhadap gamelan Siwa Nada yang diciptakan, baik penamaan instrumen maupun sistem penulisan notasi dan tangga nada.
Kata kunci: Siwa Nada, Ensiklopedi, Musik Dunia
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Apr 15, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : I Made Saryana (Fakultas Seni Rupa dan Desain, Internet Seminar Indonesia Denpasar)
Abstrak
Berawal dari membaca sebuah buku tentang pengaruh globalisasi terhadap masyarakat Bali, yang diawali dengan dikembangkannya pariwisata budaya pada tahun 1950-an. Berdirinya hotel pertama bertingkat sepuluh di Sanur oleh presiden Soekarno, menandakan bahwa Bali sudah siap dengan kunjungan wisata dari berbagai belahan dunia. Seiring berjalannya waktu pariwisata Bali semakin berkembang pesat. Bersamaan dengan itu pula prilaku masyarakat Bali kini telah berubah pula. Banyak hal yang paradok terjadi seperti: dulu masyarakat Bali terkenal ramah, kini banyak yang berubah menjadi pemarah, penipu serta pembohong. Dulu Bali dianggap daerah yang aman dan damai kini justru banyak terjadi pencurian, pembunuhan serta peredaran narkoba. Predikat Bali sebagai sorga terakhir bagi wisatawan, berubah menjadi sorga bagi penjahat. Kini masyarakat Bali cendrung konsumtif dan konsumerisme. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Bali mulai melupakan falsafah hidupnya yang percaya dengan adanya sesuatu yang sekala (kasat mata) dan niskala (maya). Agama Hindu Bali percaya dengan Panca Srada yaitu: Percaya adanya Tuhan, atman, reinkarnasi, karmaphala dan moksa. Untuk mencapai jagatdhita penting sekali adanya keseimbangan antara dua dunia yang sekala dan niskala,dengan menjalin hubungan harmonis antara Tuhan, Manusia dan Alam (Tri Hita Karana). Melihat fenomena seperti ini pencipta mencoba untuk mengingatkan kembali atau berupaya memberikan penyadaran melalui karya seni instalasi fotografi dengan konsep sekala dan niskala, agar falsafah hidup masyarakat Bali tetap melandasi setiap tingkah lakunya dalam menghadapi pengaruh globalisasi.
Bedasarkan latar belakang di atas, maka permasalahannyaadalah: 1. Bagaimana memvisualisasikan sekala niskala dalam karya instalasi fotografi yang menarik dan kreatif, 2. Bagaimana memanfaatkan medium untuk mengartikulasikan ide yang dapat mencerminkan upaya penyadaran tentang pentingnya memahami sekala niskala yang seimbang untuk kesejahteraan hidup.
Metode yang digunakan dalam memvisualisasikan ide tersebut adalah observasi, eksplorasi, pemotretan, eksperimen, perwujudan dan pameran.
Tujuan dan manfaat penciptaan adalah sebagai media penyadaran, menciptakan karya yang kreatif, meningkatkan proses belajar mengajar, peningkatan kompetensi mahsiswa dan mengembangkan fotografi seni. Penciptaan ini manfaatnya: dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat Bali tentang pentingnya sekala dan niskala, memberikan kepuasan batin bagi pencipta, menambah wawasan pengetahuan mahasiswa serta memberikan sumbangan pengetahuan pada masyarakat Bali.
Kata-kata kunci: Sekala Niskala, Instalasi Fotografi, Keseimbangan dan Kesejahteraan Hidup
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Apr 9, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : I Kt. Suteja (Dosen FSP ISI Denpasar)
ABSTRAK
Daerah Bali sebagai salah satu pusat pariwisata Indonesia, komunikasi, dan interaksi internasional sangat rentan dengan pengaruh budaya global yang mengarah pada perubahan pola pikir, prilaku, tata ruang, struktur masyarakat, dan yang lainnya yang bersifat kompetitif. Perubahan secara total pada ekonomi, sosial, budaya, tata ruang, pola hidup, maka diperlukan media berkesenian guna menyadarkan manusia Bali telah dirasuki tatanan baru. Salah satu bentuk kesenian di jaman global ini adalah Wayang Wong Desa Bualu yang masih eksis sampai sekarang. Desa Adat Bualu merupakan daerah pariwisata di Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang bergulat dengan persaingan bisnis. Bisnis pariwisata merupakan salah satu bidang yang tidak mungkin membebaskan diri dari perkembangan dan pengaruh format global. Hampir 80% sekaa (kelompok) Wayang Wong Desa Bualu bekerja di sektor pariwisata. Desa Bualu telah dirambah industri pariwisata, kesenjangan berkesenianpun terjadi. Ini bukan memojokan pariwisata sebagai biang kerok dari sikap toleransi berkesenian maupun bermasyarakat. Pariwisata disyukuri dapat menumbuhkan perkembangan perekonomian dan kesejahtraan bagi masyarakat Desa Bualu, namun mereka yang terlibat dalam berkesenian hendaknya mampu menyiasati waktu demi lancarnya pelestarian wayang wong. Solusinya adalah kesepakatan waktu latihan memberi dampak positif bagi pencapaian tujuan. Dikatakan demikian, karena sampai saat ini semangat mengemban misi pelestarian seni budaya dari leluhur mereka masih kental. Membangkitkan kembali wujud kesenian langka melalui proses revitalisasi yang bertujuan menghidupkan kembali roh Dramatari Wayang Wong Desa Bualu dengan memperhatikan, Konservasi yaitu kemampuan memelihara keberadaan Dramatari Wayang Wong dengan cara mempelajari secara filosofi maupun teknik dengan baik. Adaptasi adalah penyesuaian terhadap situasi perkembangan zaman yang menyebabkan penyesuaian itu dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat. Terakhir, menghidupkan kembali roh Dramatari Wayang Wong ke arah kemajuan atau lebih meningkat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kata kunci: Eksistensi, globalisasi, Dramatari Wayang Wong.
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Apr 8, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : I Nyoman Payuyasa ( Program Studi Produksi Film dan Televisi, FSRD ISI Denpasar )
Abstrak
Tahun 2019 adalah tahun politik yang menjadi ajang perayaan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Perpolitikan di Indonesia di tahun ini –begitu juga di tahun-tahun sebelumnya– mengalami berbagai pergejolakan. Fenomena seperti perselisihan akibat dari perbedaan pilihan sampai pada isu yang sangat kontroversial, yaitu isu sara terjadi di tengah masyarakat. Fenomena percaturan politik menjadi suatu hal yang menarik yang diangkat sebagai materi sebuah karya, termasuk karya sastra novel. Berkaitan dengan situasi dan kondisi politik tanah air tergambarkan dengan menarik dalam novel Andrea Hirata yang berjudul Sirkus Pohon. Nilai perpolitikan yang tercermin dalam novel ini seharusnya dapat dijadikan sebagai sebuah bahan refleksi danm evauasi bersama. Dalam novel Sirkus Pohon tergambarkan potret perpolitikan berupa rayuan para politikus, janji-janji yang begitu megah, keramahan, masa kampanye yang jadi ajang kemurahan hati, adalah kenyataan yang sering terjadi dan terulang setiap masa kampanye. Tidak bisa dimungkiri bahwa cerita tentang politik dalam novel ini benar adanya terjadi di tengah masyarakat. Ini adalah sebuah pembelajaran dan refleksi bagi masyarakat untuk bisa kritis melihat sebuah peristiwa politik.
Kata kunci : Sirkus Pohon, Potret politik
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Apr 2, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : I Gusti Ngurah Agung Jaya CK. SSn., M.Si ( Program Studi Kriya FSRD ISI Denpasar )
ABSTRAK
penjelasan secara ilmiah tentang unsur-unsur seni rupa, memudahkan dalam penilaian sebuah karya seni baik karya dua dimensi, tiga dimensi dan multi dimensi Obyek itu bisa juga merupakan obyek kesenian, di mana aspek-aspek yang di “ukur” adalah aspek-aspek estetikanya. Bila ketiga selera dari ketiga pengamat digabungkan maka bisa didapatkan perbandingan yang re- levan, yang meyakinkan. Karena itu Estetika yang dapat melakukan pengukuran disebut Estetika Instrumental. (Instrument perkakas, alat, yang dipergunakan untuk suatu pekerjaan).
Obyek itu bisa juga merupakan obyek kesenian, di mana aspek-aspek yang di “ukur” adalah aspek-aspek estetikanya. Bila ketiga selera dari ketiga pengamat digabungkan maka bisa didapatkan perbandingan yang re- levan, yang meyakinkan. Karena itu Estetika yang dapat melakukan pengukuran disebut Estetika Instrumental. (Instrument perkakas, alat, yang dipergunakan untuk suatu pekerjaan).
Masalah bahasa verbal sebagai media komunikasi, namun dalam perkembangannya penggunaannya merambah ke berbagai bidang ilmu termasuk seni rupa. Oleh karena seni rupa pada dasarnya berupa tanda dan berupa media komunikasi non-verbal, maka teori ini ‘dipinjam’ untuk keperluan pembahasan bahasa visual yang ada pada seni rupa.
Wujud Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu, menjadi Akasara, dimana aksara itu menjadi sebuah kekuatan yang maha dasyat, Jika disatukan akan menjadi kekuatan alam semesta, dalam ajaran Hindu dikenal dengan kekuatan Panca maha bhuta yaitu: kekuatan aitr, kekuatan api, kekuatan tanah, kekuatan angin/udara dan kekuatan ruang hampa. Bentuk-bentuk panca maha bhuta ini menjadi aksara kekereb Bhutasiu.
Kata Kunci: 10 unsur seni rupa, Estetika, Seiotika, Bhutasiu
Selengkapnya dapat unduh disini
by tik ISi | Apr 1, 2020 | 2020, Artikel
Kiriman : A.A. Gede Ardana dan I Gusti Ngurah Ardana ( Dosen PS. Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar )
Abstrak
Taman yang sudah sejak awal melengkapi bumi ini, menjadikannya semakin indah dan menarik serta segar. Tidak ada satu orangpun tahu proses pembentukannya, sudah ada dengan sendirinya sehingga sifat utamanya adalah alami. Walaupun demikian, ternyata belum mampu memenuhi tuntutan manusia penghuni bumi ini sehingga diciptakan taman lain dengan istilah taman kering. Jenis taman ini, di Jepang disebut kare-sansui karena tidak memakai material air tetapi berlokasi di halaman terbuka. Sedangkan di Indoensia, lokasinya di dalam ruangan agar perawatannya mudah maka jenis material serta tanaman yang dimanfaatkan harus yang membutuhkan air dalam jumlah terbatas juga. Berdasarkan uraian dan gambar yang dijumpai pada sejumlah pustaka dapat dinyatakan, bahwa istilah kare-sansui dalam bahasa Jepang disebut dry garden dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesianya diartikan taman kering. Istilah yang sama ini, ternyata menampilkan objek visual yang berbeda karena esensi penciptaan taman ini memiliki latar belakang berbeda pula. Dry garden di Jepang yang disebut dengan istilah kare-sansui itu, berlokasi di halaman terbuka yang dibuat dari material terdiri atas: pasir, batu, kerikil, tanaman, lumut untuk mengesankan sifat alami dan sejenis material lainnya. Jenis taman ini memang tidak menggunakan material air, tetapi tidak terbebas dari hujan dan salju ataupun badai yang terjadi di sekitarnya. Dry garden ini dihadirkan sebagai representasi (simbolisasi) kondisi ataupun aktivitas yang terjadi di bumi ini, melalui penataan material alami agar setiap orang yang melihatnya mendapatkan interpretasi yang sangat mengesankan. Taman kering di Indonesia, memang dibutuhkan untuk memperindah suatu área di dalam ruang sehingga harus menggunakan material yang tidak banyak menuntut air. Perbedaan mendasar antara taman kering di Jepang dan di Indonesia, dapat dicermati secara konkrit dari lokasi penataan dan esensinya termasuk penggunaan air tetapi keserupaannya hanya pada jenis bahan yang digunakan pada taman tersebut.
Kata kunci: taman kering jepang dan indonesia serta perbedaan esensi.
Selengkapnya dapat unduh disini