Kiriman: Ni Made Wiryani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar.
Prosesi Upacara Ngerebeg
Sebelum upacara Ngerebeg dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara titi mamah dengan menggunakan kebo yus brana, yaitu seekor kerbau betina (gadis) yang berwarna hitam. Warga yang ikut bersaksi diadakan upacara semacam upacara ritual itu dipercikan air suci yang merupakan hasil rendaman keris-keris yang sudah dipasupati, dengan tujuan agar warga/rakyat yang bersaksi apabila kena goresan atau tusukan senjata tajam, tidak terluka dan sehat walafiat.
Prosesi mepeed mulai dari Kraton Puri Agung di Munggu yang sekarang bernama Griya Agung Mandera atau Griya Bancingeh yang paling pertama adalah pengasepan (api, dupa) eteh-eteh Ida Betara, wastra, umbul-umbul, tedung betari, bendrangan, tombak dan seluruh duwe/milik pura dikeluarkan dalam prosesi upakara ini mengelilingi Desa Munggu yang berakhir di Jaba Pura Luhur Sapuh Jagat, yang diberi upacara sebagaimana mestinya.
Setelah upacara selesai kira-kira pukul 13.00 siang, dimulailah upacara ”Ngerebeg”, yaitu perang-perangan. 11 banjar yang ada di desa Munggu pada setiap banjar wajib mengeluarkan 30 sampai 35 orang untuk ikut sebagai pendukung tari Mekotekan. Terbentuklah segerombolan rakyat yang masing-masing membawa kayu pulet yang panjangnya ± 4 m dengan bentuk menyerupai tombak. Lebih kurang 800 orang warga yang terlibat dalam upacara Ngerebeg mengelilingi Desa Munggu dan pada setiap prapatan banjar yang dianggap tempat-tempat bersejarah dipentaskan tari Mekotekan dengan durasi ± 6 menit.
Dalam kondisi kerawuhan (trance) mereka semua melakukan Mekotekan dan menari-nari dengan gerakan bebas, kemudian dengan spontan mereka mendekatkan ujung dari properti yang mereka bawa, sehingga terbentuk bangun menyerupai kerucut. Beberapa orang warga ± 6 – 9 orang berlari menaiki punggung dan kepala warga yang sedang menari-nari, sehingga sampai pada ujung kotekan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari di atas kotekan kayu lebih kurang 5-6 menit mereka menari di ujung kayu-kayu kotekan itu, dan beberapa orang pemangku pura melakukan ritual ngaturang segehan agung dan tetabuhan, tuak, arak dan berem serta mohon kepada sesuhunan betara agar upacara mekotekan berakhir dengan selamat, dan akhirnya semua penari Mekotekan sudah sadarkan diri. Serta semuanya melakukan tetabuhan, dan upacara selesai. Selanjutnya semua pusaka keris dan tombak disimpan kembali di kraton Puri Agung Munggu.
Seluruh rangkaian prosesi ini secara tidak langsung merupakan fragmentasi tari untuk mengenang sejarah berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, dimana pada saat itu ada seorang warga (yang akhirnya menjadi pemangku di sana) kesurupan dan naik ke atas sebuah payung (tedung) setinggi 5 meter yang diambil dari Pura Puseh dan ditancapkan di tempat yang selanjutnya menjadi tempat berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, untuk meyakinkan warga masyarakat akan adanya kekuatan ilahi yang akan melindunginya.
Perbendaharaan Gerak Tari Mekotekan
Adapun simbol gerakannya diambil dari ilustrasi sebuah keris yang ditancapkan pada sebuah tugu yang berarti kemenangan. Dominan gerakannya adalah olah tubuh pada level tinggi, yang melambangkan kegagahan, kewibawaan dan keagungan seorang raja gerakannya yang kompak dan penuh kegembiraan menandakan kebahagiaan yang meraih suatu kemenangan melawan penjajahan. Namun semua gerak-gerak yang dilakukan tidak lepas dari ciri khas gerak-gerak tari seperti gerak ngeraja singa, yaitu gerakan yang dilakukan pada saat penarinya berada di ujung tatanan kayu (di puncak kerucut), dan juga gerakan malpal dilakukan pada saat membentuk lingkaran sambil menata properti yang dibawa, berupa kayu-kayu yang diujungnya dipasang pada berupa keris dari tamiang yang merupakan simbol-simbol dari pusaka-pusaka Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Setelah tatanan kayu-kayu itu dibentuk berupa krucut, dengan spontan ada beberapa warga yang kesurupan dan naik ke atas tatanan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari dan diarak oleh warga. Dengan ekspresi dari rasa suka, bahagia dan gembira melakukan gerakan ngraja singa yang diulang-ulang yang merupakan kekuatan dari alam (niskala) sehingga penari itu nampaknya seperti ada unsur ekspresi jiwa yang memiliki kekuatan gaib dan mempunyai daya pancar yang kuat, yang sering disebut metaksu. Tari Mekotekan ini memiliki keunikan tersendiri.
Sebagai gerakan penutup, tatanan kayu-kayu yang berbentuk kerucut direbahkan, sehingga penarinya pun turun dan langsung membubarkan diri.
Busana dan Tata Rias
Busana yang dipergunakan masih berpolakan busana kuno yang sangat sederhana, yaitu :
- Menggunakan udeng batik
- Kain batik bulet linting
- Saput poleng
- Bunga pucuk bang (kembang sepatu warna merah)
Properti yang Digunakan
Properti yang dipergunakan dalam tarian ini adalah sebatang tongkat kayu berukuran panjang + 4 meter, terbuat dari kayu pulet yang kulit batang kayunya sudah dibersihkan sehingga terlihat putih dan halus. Sebelum dipergunakan seluruh kayu pulet di pasupati secara massal.
Instrumen Pengiring Tari Mekotekan
Iringan musik dimainkan oleh para penabuh memakai kostum yang seragam. Sebelum dipergunakan untuk mengiringi tarian, alat musik iringan dihaturkan sesajen yang terdiri dari : tipat gong, banten peras, banten sodan, banten daksina dan canang sesari. Alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari Mekotekan ini adalah seperangkat gambelan baleganjur yang terdiri dari :
- Kendang 2 buah lanang-wadon
- Cengceng 9 cakep
- Tawa-tawa (ponggang)
- Reyong (4 buah)
- Suling
- Gong
Masyarakat Pendukung
Suatu seni pertunjukan akan dapat tetap lestari apabila ada komunitas masyarakat yang mendukungnya. Sebagaimana halnya tari Mekotekan ini, sebagai sebuah tarian sakral yang dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis yang mampu menghindarkan dari wabah dan malapetaka, maka tari Mekotekan ini didukung secara penuh oleh lembaga tradisional masyarakat Desa Munggu yang merupakan gabungan dari 11 banjar.
Bentuk, Perkembangan, dan Fungsi Tari Mekotekan, selengkapnya