Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Bentuk dalam bahasa Indonesia memiliki sebuah arti bangun, gambaran, rupa (wujud), sistem (susunan) serta wujud yang ditampilkan. Apabila diarahkan pada seni menurut Susanne Langer dalam buku “Filsafat Seni Sebuah Pengantar”, dikatakan bahwa seni dan karya seni haruslah merupakan suatu kebulatan yang bersifat organis, yang tertuang dalam bentuk tertentu seperti bangunan arsitektur, tarian ataupun suatu bentuk yang perceptible (dapat di mengerti). Dalam suatu bentuk yang merupakan kesatuan organis, setiap bagian atau unsur memainkan peranan tidak hanya dalam rangka dirinya sendiri, melainkan juga dalam rangka semua bagian atau unsur lainya. Dalam artian tidak ada bagian yang dapat berdiri sendiri, tetapi bersama-sama dengan bagian lainnya yang membentuk kesatuan organis.
Secara umum kesenian klasik memliki bentuk pertunjukan yang hampir sama. Namun ada hal-hal estetis secara khusus yang membedakan pertunjukan tersebut, baik iringan maupun tariannya yang merupakan ciri khas atau style masing-masing pertunjukan. Gambuh Kaga Wana Giri Desa Kedisan merupakan seni pertunjukan klasik yang memiliki bentuk penyajian iringan maupun tarian yang memiliki ciri khas sendiri, di mana ciri khas tersebut terletak pada pola gerak tari Gambuh yang dibawakan oleh penari pria yang sudah berumur tua. Gambuh Kedisan merupakan kesenian yang kental dengan karakter Gamelan dan tarian yang klasik, di mana pola-pola gerak tari Gambuh Kedisan sulit untuk dirubah. Hal tersebut telah terbukti ketika I Nyoman Kakul dari Batuan mengajar tari Gambuh di Kedisan, penari-penari Gambuh tersebut sulit untuk menerima bentuk tarian yang diajarkanya, dan merubah tarian yang sering dibawakanya. Gambuh style Batuan yang diajarkanya tidak bertahan lama di Desa Kedisan dan kembali dengan Gambuh style Kedisan. Begitu juga dengan instrumentasi Gamelan Gambuh dan gending-gending Pegambuhan yang ada di Kedisan. Bila dilihat dari segi estetis tentunya ada hal khusus atau ciri khas tersendiri pada sekaa Gambuh Kedisan, yang merupakan identitas dari gamelan tersebut, baik instrumentasi maupun gending-gending yang disajikan. Dari segi instrumentasi yang menjadi ciri khas adalah instrumen suling yang panjang, gumanak dan kenyir dengan berbilah dua.
Pada pembahasan ini peneliti akan mempergunakan teori estetika, di mana menurut Thomas Aquinas, ada tiga persyaratan yang terdapat dalam sebuah karya seni, yaitu: integrity or perfection (keutuhan atau kesempurnaan), proportion or harmony (keseimbangan atau keharmonisan), Brightniss or clearity (kecemerlangan atau klaritas). Dengan teori tersebut peneliti menganalisis instrumentasi dan bentuk musikalitas pada sekaa Gambuh di Desa Kedisan.
Instrumentasi Gamelan Gambuh di Desa Kedisan
Instrumentasi Gambuh Kedisan merupakan instrument yang secara dominan difungsikan untuk mengiringi pertunjukan Gambuh. Di samping secara tidak langsung dalam sebuah pertunjukan difungsikan sebagai instrumental (tabuh petegak) sebelum pertunjukan dimulai. Secara umum instrumentasi Gamelan Gambuh Kedisan hampir sama dengan instrument Gambuh pada umumnya, yaitu: Suling Gambuh, Kendang Krumpungan, Rebab, Kajar Krentengan, Ceng-ceng Ricik, Klenang, Gumanak, Gentorag, Kenyir dan Kempul. Hanya saja tidak terdapat instrument kangsi dalam Gamelan Gambuh di Desa Kedisan.
Suling Gambuh
Suling merupakan sebuah instrument dalam karawitan Bali, suling berasal dari dua suku kata yaitu su yang dalam bahasa Bali berarti baik (luwih) dan ling yang berarti tangis atau suara (dalam bahasa Kawi), jadi suling dapat diartikan suara tangisan yang baik. Suling Gambuh merupakan ciri dari pada Gamelan Pegambuhan karena suling yang dipergunakan merupakan ukuran paling besar dan panjang dalam karawitan Bali. Suling ini memiliki panjang 100 cm dan diameter 3cm, ukuran pembuatan Suling Gambuh disebut dengan sikut kutus, yang artinya panjang suling terdiri dari delapan kali lingkaran badan bambu.
Suling Gambuh dimainkan dengan cara yang sama seperti suling pada umumnya, yaitu menggunakan sistem tiupan tanpa terputus-putus (ngunyal angkihan). Tetapi yang membedakan di sini adalah teknik tutupan, pada waktu memainkan Suling Gambuh teknik tutupan pada enam buah lubang suling menggunakan ibu jari, telunjuk dan jari tengah (tangan kanan atau kiri). Hal tersebut dikarenakan jarak lubang suling satu dan berikutnya cukup jauh, yang tidak memungkinkan menutup lubang suling tersebut menggunakan telunjuk, jari tengah dan jari manis, seperti teknik penutupan suling pada umumnya.
Gamelan Gambuh di Desa Kedisan mempergunakan empat buah instrumen suling yang memiliki fungsi sebagai pembawa melodi (menggarap Gending) dalam suatu pertunjukan, baik bersifat instrumental maupun iringan tari. Suling ini dimainkan secara bersama-sama di dalam memainkan sebuah lagu (gending), hanya pada bagian lagu tertentu suling dimainkan secara tunggal seperti mengawali sebuah lagu (kawitan gending). Jika ditinjau dari segi estetika suling dapat mendukung berbagai adegan yang diperankan, seperti adegan keras, sedih, gembira dan sebagainya, yang dapat mendukung suasana dengan melodi gending dan patet yang dipergunakan.