Kiriman: Ida Bagus Surya Peradantha, SSn., MSn
Bau-bauan bukan hanya fenomena fisiologis, ia juga fenomena moral, karena bau-bauan dinilai sebagai positif atau negatif, baik atau buruk. Dimensi moral penciuman inilah yang membuat penciuman memiliki makna sosiologis dan ekonomis. Sebuah hipotesis sederhana yang bersifat fundamental pun muncul ; apa yang berbau harum berarti baik, sebaliknya yang berbau tidak enak berarti jahat. Hipotesis ini berlaku dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti pada makanan, lingkungan dan orang-orang.
Bau-bauan dalam makanan merupakan hal penting dan sangat berpengaruh kepada nafsu makan seseorang. Kita selalu berusaha untuk mengeleiminasi bau-bauan yang tidak sedap dalam makanan seperti bau anyir, busuk, masam dan gosong. Bau-bauan seperti itu tentu oleh pikiran kita secara tidak disadari telah memberikan kesan negatif dan sudah tidak layak dimakan.
Dalam lingkugan, sama seperti makanan kita dapat menilainya dari bau yang ditimbulkan. Kita menyukai wewangian bunga segar dan udara yang bersih serta segala aroma yang bersifat positif. Sebaliknya kita sangat menghindari aroma lingkungan yang bau, berpolusi, amis dan sebagainya yang bersifat negatif. Tentu secara biologis, lingkungan kotor seperti itu akan membawa penyakit yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia sehingga wajar bila itu dihindari.
Di lain sisi, kita sering kali menilai orang-orang dengan cara yang sama dalam menilai makanan dan lingkungan. Jika seseorang tercium “tidak sedap”, atau menyimpang dari norma cultural penciuman, bau-bauan bisa menjadi tanda bahwa terdapat sesuatu yang keliru dengan kesehatan tubuh, emosi, atau jiwa mereka. Bau-bauan menjadi tanda alamiah diri, abik sebagai makhluk fisik maupun makhluk moreal. Bau-bauan adalah simbol diri.
Kita mulai menginjak pada permasalahan bau-bauan metafor dalam berbagai kejadian di kehidupan manusia. Kita dapat menggambarkan seseorang berbau “ilahi” atau “cantik”, “menyenangkan” atau sekedar “baik”; meskipun demikian semua kata sifat ini juga menjadi evaluasi dalam penilaian moral. Aroma yang keluar dari sensai fisik berubah menjadi evaluasi simbolik. Kita pun bisa mendeskripsikan berbagai aktivitas moral dalam kehidupan dengan mencium “aromanya”. Shakespeare pun mengungkapkan bahwa manusia bisa berpikir dari hidungnya. Sesuatu yang “busuk” telah terjadi di negara Denmark ; Saya “mencium” suatu permasalahan disini; permainan “busuk” telah ditunjukkan olehnya, dan sebagainya. Jenis-jenis ungkapan seperti itu memang tidak terkait langsung dengan hidung manusia, tetapi tetap saja itu merupakan perluasan makna dari penciuman yang memiliki persamaan dengan hipotesis di atas tadi.
Menggambarkan seseorang atau sesuatu sebagai tercium enak atau tidak enak sama artinya dengan menyatakan bahwa orang itu baik atau buruk, seperti yang kita lakukan dalam menilai makanan dan juga lingkungan. Penilaian seperti ini memang tidak selalu benar adanya, tidak ilmiah, atau tidak akurat, namun tetap saja ia menjadi elemen dasar dalam konstruksi moral mengenai orang lain dan presentasi simbolik diri.
Secara simbolik dan moral, bau-bauan juga dapat mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, seperti yang dideskripsikan oleh Raja James I yang sangat membenci orang perokok. Itu mempengaruhi term indera fisiologis dan moral beliau. Negativitas-negativitas seperti itu dalam pandangan tradisional adalah aspek dari sesuatu yang tidak baik dan semuanya berkaitan.ini tidak hanya berlaku pada abad pertengahan, tetapi juga memiliki akar yang sangat dalam dan kuat yang berpengaruh pada bahasa dan budaya kita bahkan sampai sekarang.
BAU-BAUAN DAN KEKUASAAN
Bau-bauan juga menyatakan konstruksi moral kelompok dan juga atribut sosial. Di barat ( baca : Inggris ), menurut George Orwell, rahasia pembedaan kelas adalah “kelas yang rendah bau”. Siapa yang berada pada tatanan sosial paling bawah seperti buruh dan pemabuk, mereka bau dan pantas dikasari. Distribusi bau-bauan sangat menyimbolkan struktur kelas masyarakat, entah melalui bau badan atau karena kualitas dan mahalnya harga wewangian. Orang dibedakan dari bau mereka. Mungkin dari sanalah perbedaan dan kebencian antar ras, suku dan golongan dimulai.
Di Amerika Utara pun terjadi demikian, dimana terjadi jurang besar antar ras kulit putih dengan kulit hitam (negro). Orang negro dikatakan memiliki bau badan yang sangat menyengat dan tidak enak. Ada pula yang menyatakan sebagai bau binatang atau tahi, dan bahkan ditambahkan dengan lepra sebagai penegas bau tidak enak itu.
Sedangkan di Perancis, pada abad ke-18 dan 19, hampir setiap kelompok populasi dikatakan memiliki bau-bauannya sendiri yang berbeda, beberapa bahkan digambarkan secara detail. Semua memiliki bau yang berbeda, dengan bau merefleksikan status moral populasi yang dibayangkannya. Perawan baik, pelacur buruk; pelaut adalah salah satu yang paling buruk.
Dapat dipahami dari hal tersebut di atas, bahwa bau-bauan bisa membedakan kelas, diskriminasi kelompok sosial, tekanan rasial dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan yang menyentuh ruang pribadi seperti pengibaratan bau sebagai binatang jelas merupakan hasil dari polarisasi dikotomis kedudukan tuan dan budak, bau harum versus bau busuk. Pada abad pertengahan, di barat sangat jelas perbedaan kelas, golongan dan ras yang ditinjau dari bebauan. Golongan ningrat atau priyayi, menggunakan wewangian yang mahal, memiliki norma yang sangat elegan seperti Raja James I di Perancis yang sangat membenci bau rokok, penistaan terhadap mereka yang memiliki bau kurang sedap meskipun bau itu adalah hasil dari kerja keras melayani tuannya, serta penyingkiran ras secara sepihak oleh karena bau alami yang ditimbulkan.
Bisnis wewangian di barat pada awal dekade -90an menjadi bombastis oleh karena pencitraan seseorang yang diakibatkan dari wewangian tersebut. Berbagai merek parfum pun bermunculan guna meraih pasar yang mereka inginkan. Pria dan wanita pada dasarnya ingin menciptakan aroma bebauan yang bisa menarik lawan jenisnya, dan gejala inilah yang ditangkap oleh para pembuat parfum tersebut. Secara gender, perbedaan yang mendasar di sini ialah kaum laki-laki memiliki bau badan yang lebih tajam, kuat dan kurang enak, sedangkan perempuan dianggap lebih “manis”, menggairahkan, beraroma sedap dan sebagainya. Untuk itu, untuk laki-laki dianggap perlu untuk menggunakan deodorant yang dapat menghilangkan bau ketiak, menyelipkan kertas penyaring bau pada sepatu, dan sebagainya. Perempuan pun bukan berarti tidak perlu menggunakan penghilang bau badan. Organ intim mereka sesungguhnya yang paling diperhatikan, karena bagian itulah yang sesungguhnya paling “bau” bagi kaum laki-laki. Kembali, perbedaan bau menunjukkan ketidaksejajaran antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang terjadi pada kasus ras di Amerika dan perbedaan kelas golongan di Inggris.