Mahasiswa FTV ISI Denpasar Meraih Prestasi Lewat “Sate”

Mahasiswa FTV ISI Denpasar Meraih Prestasi Lewat “Sate”

Penulis : Yogi Antari

Bulan ini mahasiswa Program Studi Film dan Televisi ISI Denpasar kembali meraih prestasi dengan memenangkan sebuah kompetisi film pendek “Let’s Eat Movie Competition.” Kompetisi yang diselenggarakan oleh Let’s Eat Magazine ini berlangsung dari tanggal 6 Mei dan diperpanjang hingga 30 Juni 2016. Mengalahkan 35 karya film pendek dari seluruh Indonesia, film garapan mahasiswa FTV yang bertajuk “Sebelum 5 Menit – Sate Lilit” menjadi juara satu dalam kompetisi yang ramai dipromosikan lewat media sosial ini.

“Sebelum 5 Menit – Sate Lilit” bercerita tentang seorang pemuda kelaparan yang hanya memiliki uang Rp.2000. Dia mendapat simpati dari warung sate yang didatanginya, kemudian membantu si pemilik warung membuat sate dan mendapat upah sebungkus sate.

IB Giri Semara Putra (sutradara) mengaku syarat utama kompetisi, yakni film harus bercerita tentang makanan dan proses pembuatannya, memang sangat diperhatikan oleh tim produksi “Lempeni Films”. Tim produksi juga mengerjakan film ini dengan semangat positif dan keinginan untuk menghasilkan karya yang maksimal. Nilai lokalitas diangkat melalui pemilihan jenis makanan yang ditampilkan dalam film, yakni sate lilit Bali.

“Menjadi juara satu merupakan kejutan besar bagi tim “Lempeni Films”, film ini kami kerjakan sampai tidak tidur beberapa hari. Kami senang sekali,” cetus Giri.

Kemenangan dalam Let’S Eat Movie Competition ini menambah daftar panjang prestasi program studi Film dan Televisi. Kendati baru berdiri selama tiga tahun, FTV tampaknya bisa menjadi salah satu program studi unggulan di ISI Denpasar.

Eksistensi Seni Bebali: Drama Tari Gambuh Di Desa Batuan Gianyar Dalam Era Global

Kiriman : I Wayan Budiarsa (Dosen Program Studi  Tari FSP ISI Denpasar)

Abstrak

Drama tari Gambuh adalah sebuah drama tari klasik yang sudah sangat tua umurnya, dan keberadaannya telah menyebar dibeberapa daerah di Bali. Sebagai tarian istana di awal munculnya, membuat gambuh begitu kental dengan makna-makna, simbol, norma-norma, tingkat kehidupan keluarga istana yang tersirat melalui struktur pertunjukannya, alur cerita, nama tokoh/ peranan yang muncul, dari segi bahasa dialog, tata rias busana yang dikenakan, serta medium lainnya yang tentunya memberikan kesan agung dalam setiap penyajiannya. Setelah runtuhnya pengaruh feodal, gambuh tidak lagi mutlak dimiliki oleh keluarga istana, istana tidak lagi sebagai pengayom secara penuh, melainkan telah menjadi milik masyarakat umum, sehingga keberadaannya begitu sangat berarti di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali (Hindu) karena selalu dilibatkannya kesenian ini disetiap upacara-upacara piodalan di pura-pura besar maupun kecil. Di beberapa pura di Bali bahkan telah dibangun yang disebut dengan bale pagambuhan sebagai area khusus untuk pementasan drama tari ini.  Sumber  dari cerita gambuh adalah Malat/ Panji, diiringi oleh seperangkat gamelan pagambuhan dengan suling berukuran besar sebagai instrumen utamanya. Ucapan, dialog yang digunakan adalah bahasa Kawi dan bahasa Bali sesuai dengan peranan yang dibawakan. Beberapa desa yang sampai kini masih melestarikan drama tari gambuh antara lain; Desa Batuan, Desa Kedisan (Gianyar), Desa Pedungan (Denpasar), Desa Tumbak Bayuh (Badung), Desa Budha Keling (Karangasem), dan Nusa Penida (Klungkung).

Kata kunci: Gambuh, Eksistensi, Desa Batuan.

Abtract

The drama of the dance movements: is a classical dance drama that was already very old age, and its existence spread in some areas in Bali. As a court dance in the early emergence of, making movements: so thick with meanings, symbols, norms, level of family life the Palace implied through the structure of the show, the name of the character/role that appear, in terms of the language of dialogue, makeup worn clothing, as well as other medium which certainly gives the impression of songs in every serving. After the collapse of the influence of the feudal, absolute movements: it is no longer owned by the family court, the Palace is no longer as protect in full, but rather has become the property of the general public, so its existence is so very mean in the middle of the lives of the people of Bali (Hindu) because it always for this art every anniversary ceremonies in the temples and major. In some temples in Bali has even been built called bale pagambuhan as a special area for staging dance drama. The source of movements: is Malat/Panji, accompanied by a set of gamelan pagambuhan with large flute as his main instrument. Speech, dialogue is the Kawi language and the Balinese language corresponds to the role performed. Some villages that until now still preserve the drama of the dance movements: among others; The villages of Kedisan, Batuan Village (Gianyar), Pedungan Village (Denpasar), Tumbak Bayuh Village (Badung), Budha Keling Village (Karangasem), and Nusa Penida (Klungkung).

Key words: gambuh, existence, the village of Batuan.

Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...