Siwanataraja Gelorakan Tari Kebesaran

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Di Bali, belakangan ini, terasa ada gelora penciptaan seni tari di sejumlah perguruan tinggi hingga di sekolah-sekolah jenjang menengah. Karya cipta seni tari itu ditampilkan dalam kesempatan-kesempatan penting seperti misalnya saat dies natalis dan wisuda atau ulang tahun sekolah. Sajian seni pertunjukan ekspklusif itu disebut tari kebesaran.  Melalui tari kebesaran masing-masing– dilukiskan dalam estetika gerak dengan iringan gamelan–identitas atau visi dan misi universitas, institusi, sekolah bersangkutan.  Misalnya, Universitas Udayana (Unud) punya tari kebesaran “Udayana”, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) bangga dengan tari kebesaran “Ganesha”, dan Universitas Saraswati memililiki tari kebesaran “Saraswati”.

          Gairah penciptaan dan pementasan tari-tari kebesaran itu membinarkan atsmosfer berkesenian yang menggembirakan. Betapa tidak. Seni tari sebagai ekspresi budaya, diapresiasi dan menunjukkan kemahadayaannya dalam konteks asumsi sebagai penciri, pencitra, dan pencerah, baik untuk kepentingan internal universitas atau sekolah pemiliknya maupun untuk permakluman kepada masyarakat luas. Hadirnya beragam cipta tari kebesaran tersebut, merupakan ruang berkesenian yang meletupkan denyut kreatif  seniman Bali, khususnya para penata seni tari dan pencipta tabuh iringan tari.

          Untuk menciptakan sebuah tari kebesaran memerlukan suatu rentetan proses kreatif, mulai dari rancangan konsep, tahap-tahap penggarapan, dan penampilan atau pementasan. Proses kreatif merancang konsep tari kebesaran “Saraswati” milik Universitas Saraswati misalnya, tentu harus disangga oleh pemahaman tentang figur Dewi Saraswati dari aspek mitologis, fiosofis, dan aspek relegi-kultural. Demikian pula pada proses kreatif tahap-tahap penggarapan, sang penggarap tari dan iringannya menjelajahi berbagai simbol gerak (koreografi) dan bunyi musik (komposisi), dalam tapsir estetik yang mampu mewakili isi atau pesan yang ingin dikomunikasikan.

          Komunikasi seni adalah dengan bahasa simbolik. Simbolisasi dalam bentuk tari kebesaran itu kini menjadi salah satu pemberi identitas perguruan tinggi-perguruan tinggi atau sekolah-sekolah di Bali. Tampaknya tak ada yang mengharuskan atau kewajiban perguruan tinggi atau sekolah di Bali memiliki tari kebesaran. Belum jelas pula, apakah dengan simbolisasi identitas atau visi-misi melalui media tari kebesaran itu akan atau telah mampu lebih memberikan spirit konstruktif kepada civitas akademika sebuah perguruan tinggi atau guru-guru dan para siswa sekolah. Namun yang tampak, keberadaan tari-tari kebesaran itu, saat dipentaskan, mampu menciptakan semacam “kewibawaan” dan debur kebanggaan pemiliknya.  

          Jika diteliksik, euporia merebaknya tari-tari kebesaran di Bali, tampak ada kaitannya dengan menguaknya tari kebesaran “Siwanataraja”.  Mitologi Hindu menuturkan, Siwanataraja adalah manifestasi Dewa Siwa sebagai raja diraja kesenian. Geliat tubuh yang magis dan gerakan tangan kedua tangan Siwanataraja yang disebut mudra memancarkan energi aneka rupa wujud nan indah yang dianugrahkan kepada umat manusia. Pesona indahnya ciptaan Dewa Siwa itulah memercikkan kedamaian hati sanubari kehidupan manusia di bumi. Seni dalam beragam ekspresinya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan relegi-sosial-kultural masyarakat manusia. Umat Hindu lalu memuja Siwanataraja sebagai dewa kesenian yang maha asih.   

           Figur Dewa Siwa sebagai dewa kesenian itu divisualisasikan menjadi tari kebesaran Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada tahun 1990. Sajian tari kebesaran yang bertajuk “Siwanataraja” dalam setiap dies natalis dan wisada kampus seni itu, yang mengundang berbagai kalangan, rupanya menggugah kampus-kampus lainnya di Bali untuk tak kalah gengsi membuat tari kebesaran. Selain Unud, Undiksa, Universitas Saraswati yang telah disinggung di atas, sekolah-sekolah menengah juga tak ketinggalan membuat tari kebesarannya masing-masing, seperti SMK Negeri 3 Sukawati (dulu bernama Kokar) memiliki tari kebesaran “Semara Adi Guna”.

          Tari kebesaran “Siwanataraja” ISI Denpasar digarap oleh N. L. N. Swasthi Widjaja Bandem (koreografer) dan I Nyoman Windha (komposer). Cipta tari yang berdurasi sekitar tujuh menit ini dibawakan oleh sembilan penari putri, seorang sebagai Dewa Siwa, dan delapan orang lainnya sebagai pancaran cahaya atau sinar suci. Struktur sajiannya terbagi tiga yaitu diawali dengan penampilan Dewa Siwa menari tunggal dalam laku koreografi yang simbolik magis, lalu memancar sinar dibawakan delapan penari dalam lenggang mengayun lembut berseling beberapa variasi perubahan pola lantai, dan terakhir Dewa Siwa dengan sinar-sinarnya bersatu padu dalam tempo menanjak menuju ritme nan lincah, ditutup dengan  konfigurasi seluruh penari di mana tokoh Siwanataraja menjadi pusat pujaan.

          Ditata dalam balutan kostum modivikasi yang memadukan warna biru dan kuning, tari kebesaran “Siwanataraja” terasa anggun dan agung. Perbendaharaan gerak tari Bali dalam ramuan stilisasi  unsur-unsur tari bharatanatyam India, menjadikan tari ini hadir dengan penampilan estetika yang apik lewat simbol laku tari serta tata karawitan yang imajinatif. Penampilan tari kebesaran “Siwanataraja” yang menawan secara bentuk dan mengesankan secara makna dan isi itulah  yang diduga kuat, kini menginspirasi penciptaan tari-tari kebesaran di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah-sekolah di Bali. Tampaknya di Bali, Siwanataraja sebagai dewa kesenian tak hanya hidup dalam psiko-mitologis namun nyata menganugrahkan sinarnya dalam realita berkesenian.        

Kasih Sayang Bung Karno Pada Kesenian Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bung Karno adalah salah satu pemimpin dunia yang dikenal sebagai penyasang seni. Kasih sayang presiden pertama RI ini terhadap jagat seni begitu  merasuk, termasuk terhadap kesenian dan seniman Bali. Tengoklah, sebuah garapan seni bertajuk “Sirna Ilang Kertaning Bali“ yang disajikan oleh insan-insan seni Desa Sukawati, Sabtu (26/9/2015) malam.  Seni pentas yang menyodorkan tema  tentang kedamaian seni tersebut, diantaranya, mengisahkan bagaimana Bung Karno membanggakan kesenian Bali kepada masyarakat dunia.

          Istana Tampaksiring, menjadi arena yang intim bagi para seniman dimana para seniman  terbaik Bali mendapat perhatian istimewa dari Bung Karno.  Bung Karno dengan penuh kebanggaan menyuguhkan tari-tarian Bali seperti tari janger, legong keraton, tari-tarian kebyar, kepada tamu-tamu terhormatnya. Pada suatu hari di tahun 1950, Bung Karno terkagum-kagum dengan sebuah tari ciptaan baru. Kepada I Gede Manik, sang pencipta tari itu Bung Karno bertanya: “Pak Gede Manik, tari ciptaan bapak lain dari pada yang lain, bagus, bagus sekali!Tari apa namanya?” I Gede Manik menjawab polos, “Belum punya nama paduka presiden”. “Oh, begini Pak Manik, melihat dari gerak gerik semangat, dinamis dan lugasnya tari ciptaan bapak ini, aku melihat adanya gelora generasi muda yang pantang menyerah berjuang memajukan bangsanya. Oleh karena itu, tari ini aku beri nama Tarunajaya, setuju?”

          Adegan pemberian nama Tarunajaya itu adalah awal pemunculan tokoh Bung Karno pada garapan seni pentas yang dibawakan oleh 150 orang pelaku seni itu.  Pengayoman sang proklamator kemerdekaan Indonesia ini pada seni dan seniman Bali juga disuguhkan melalui semarak tari janger. Dilukiskan, tokoh Bung Karno berdiri gagah di tengah-tengah kemeriahan dan kegirangan muda-muda Bali menari janger. Di tengah lenggang dan lantunan janger itu, Bung Karno berucap lantang: “Hawai, para pemuda, singsingkan lengan bajumu, bangun kedigjayaan bangsamu, raihlah cita-cita setinggi langit!, untuk itu bersatulah! Ingatlah, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

          Sebagai orator ulung, Bung Karno berkontribusi menyemangati kehidupan berkesenian di Pulau Bali. Seperti, tari Tarunajaya semakin berkibar di tempat kelahirannya di Bali Utara bagian timur serta merangsang munculnya tari yang tak kalah apik dengan tari Tarunajaya yaitu tari yang juga bernuansa heroik, Wiranjaya, di wilayah Buleleng bagian barat. Tari Tarunajaya bahkan menyebar ke seluruh Bali dan hingga kini terus dipentaskan menjadi tari kebyar favorit masyarakat Bali.

Tari Tarunajaya memang  mempesona. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan sungguh menggugah. Cipta tari yang cikal bakalnya yaitu tari Kebyar Legong,  menguak dari Bali Utara sebelum zaman kemerdekaan itu, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Tari yang lazim dibawakan oleh penari wanita itu masih konsisten menunjukkan energisitasnya.  Tarunajaya dapat dipandang sebagai representasi dari konsistensi semangat pemuda Bali dalam rona artistik. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Hayatilah, betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya.  Bung Karno yang memiliki kepekaan seni nan tajam pun terhujam dibuatnya.

Sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno juga menunjukkan ketertarikan pada kesenian Bali berwajah kerakyatan. Soekarno begitu gandrung dengan tari janger. Keriangan dan penuh semangat yang menjadi karakter tari ini menggugah presiden berdarah Bali itu  memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini. Saat konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, sekaa-sekaa janger yang marak di seluruh Bali dengan lantang memekikan “Ganyang Malaysia!“, baik dalam bentuk lagu maupun dalam lakon yang melengkapinya. Janger sebagai ungkapan seni juga sering diusung Bung Karno ke Istana Tampaksiring sebagai seni pentas terhormat bagi tamu-tamu negara.

Bung Karno tidak hanya sebatas membanggakan kesenian Bali kepada tamu-tamunya, namun juga terlibat memberikan saran-saran kepada pelakunya. Misalnya ketika Bung Karno mengundang  grup  Cak Bona  pentas di Istana Tampaksiring untuk menyambut Presiden  Uni Soviet   Nikita  Khrushchev  pada tahun  1960.  Sebagai sebuah pementasan  seni  yang disuguhkan bagi  tamu kehormatan  negara, dirasakan kurang sopan menampilkan tari ini dengan  para pemain yang hanya memakai selembar kain hitam yang menutup bagian  vital saja. Bung Karno menyarankan para pemeran tokoh-tokoh seperti Rama,  Laksmana, Sita  dan lain-lainnya memakai busana meniru busana  tari  Wayang Wong. Bung Karno juga mengusulkan agar jumlah penari yang awalnya sekitar 50 orang ditambah menjadi 100 orang yang duduk melingkar berlapis-lapis.

Tak hanya ngecak dengan 100 penari, Bung Karno lebih jauh meminta agar dapat ditampilkan  cak dengan lebih dari 1000 penari untuk memeriahkan perayaan ulang  tahun  proklamasi  ke-13   Republik Indonesia. Bahkan Bung Karno meminta penarinya harus wanita. Maka pada tahun 1958 itu berangkatlah para seniman Cak Bona I Nengah Mudarya,  I  Gusti  Putu Wates, dan Ni  Wayan Manis  ke Jakarta melatih  1.500  wanita  menjadi penari  cak. Sukses  pementasan tari  cak wanita itu  mendorong Bung  Karno  menggelarnya kembali pada pembukaan  pesta  olahraga Ganefo di Jakarta, pesta olahraga dari negara-negara yang dikelompokkan oleh Bung  Karno sebagai new emerging forces, di tahun 1962. Pada momentum yang sama, Bung Karno juga memamerkan keindahan kesenian Bali yaitu tari Pendet yang dibawakan oleh 1000 orang gadis-gadis Bali.

Kasih sayang dan kebanggaan Bung Karno pada seni dan seniman Bali adalah penggalan kisah pengayoman seni yang menjadi bagian keseluruhan dari garapan seni pentas “Sirna Ilang Kertaning Bali“ para insan seni Sukawati.  Seni Pertunjukan yang berdurasi 1,5 jam ini diawali bencana kehidupan manusia yang didera krisis moral. Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja kembali menata harmoni kehidupan dengan damainya keindahan seni. Dikisahkanlah kemudian  masa keemasan kesenian Bali di abad ke-16 pada pemerintahan Dalem Waturenggong hingga atsmosfer kehidupan seni di Bali pada zaman republik, khususnya di era kepemimpinan Sang Putra Fajar, Bung Karno.

Setengah Abad Pesona Sendratari Ramayana Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bagi orang Bali dan masyarakat Indonesia, tahun 1965 dikenang sebagai era genting dan getir. Suasana politik yang membara, memicu kehidupan sosial yang gerah. Nilai rupiah yang ambruk mengguncang kehidupan ekonomi masyarakat terjungkal ke titik nadir. Akan tetapi tahun 1965 yang penuh duka nestapa itu juga memercikan bulir keindahan yang bersemai dalam jagat seni. Di salah satu sudut kota Denpasar (Badung) lahir sebuah cipta seni, Sendratari Ramayana, karya I Wayan Beratha. Berbeda dengan peristiwa G30S tahun 1965 yang hingga sekarang masih berselimut kabut, Sendratari Ramayana melenggang cerah monumental.

            Kini, sudah setengah abad (50 tahun) Sendratari Ramayana berkiprah mengisi perjalanan kesenian Bali. Sebagai sebuah pertunjukan baru saat itu, seni pentas yang pada awalnya dibawakan oleh  siswa-siswa Kokar (Konservatori Karawitan) Bali, diterima dengan antusias di tengah masyarakat Bali yang pada umumnya cukup intim dengan cerita Ramayana. ASTI (Akademi Seni Tari) Denpasar yang berdiri tahun 1967 juga ikut menyajikan Sendratari Ramayana hingga ke pelosok-pelosok desa, sehingga membuat seni pertunjukan ini semakin populer. Pada tahun 1970-an, Sendratari Ramayana yang dibawakan Kokar dan ASTI menjadi salah satu seni tontonan favorit masyarakat Bali.

      Sendratari Ramayana karya Wayan Beratha yang kurang begitu dikenal oleh generasi muda masa kini tersebut, 3 Januari 2015 lalu, disuguhkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Melalui tajuk Mengenang Mpu Seni Karawitan Bali I Wayan Baratha ,   tiga karya  Pak Beratha—demikian secara hormat almarhum disebut, dibeber kepada khalayak, dan sendratari Ramayana menjadi pamuncak. Pagelaran sendratari “klasik“ itu  dibawakan oleh para seniman senior yang pernah mengecap ilmu dari almarhum. Diantaranya,  Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA (Anoman), Cokorda Raka Tisnu, SST, M.Si (Rahwana), dan Cokorda Putra Padmini, SST, M.Sn (Sita). Sementara itu para penabuh yang akan tampil adalah Dr. I Nyoman Astita, MA,  I Ketut Gede Asnawa, S.S.Kar, MA, I Nyoman Windha, S.S.Kar, MA, I Wayan Suweca, S.S.Kar, M.Si, I Wayan Suweca, S.S.Kar, M.Mus dan lain-lainnya, termasuk Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar, M.Hum.

       Sejatinya, sebelum menciptakan Sendratari Ramayana, Wayan Beratha telah menciptakan Sendratari Jayaprana pada tahun 1962. Sendratari yang mengangkat lakon legenda romatik-tragik daerah Bali Utara itu adalah sendratari pertama Bali setelah munculnya seni pentas dengan prinsip estetik yang sama (Sendratari Ramayana Prambanan) di Jawa Tengah pada tahun 1961. Wayan Beratha juga menciptakan Sendratari Mayadanawa (1966) dan Sendratari Rajapala (1967) yang sempat dikenal masyarakat di tahun 1970-an.     

Empu seni I Wayan Beratha yang memiliki sumbangsih penting pada seni pertunjukan Bali, telah berpulang pada hari Sabtu 10 Mei 2014 dalam usia sepuh 91 tahun. Dalam rentang perjalanan hidupnya, maestro seni karawitan dan tari yang dilahirkan pada tahun 1923 di Banjar Belaluan, Denpasar, ini telah mementaskan kesenian Bali ke berbagai perjuru dunia. I Wayan Beratha dikenal sebagai tokoh pembaharu gamelan kebyar dan pencetus lahirnya sendratari Bali, sehingga sangat pantas diusung sebagai Bapak sendratari Bali. Bali telah kehilangan seniman besar yang rendah hati.

Selengkapnya unduh disini

I Wayan Tangguh Sang Peneguh Seni Topeng Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bali berkabung  kehilangan seniman tangguhnya. I Wayan Tangguh, seorang empu membuat topeng Bali asal Banjar Mukti, Singapadu, Sukawati, Gianyar, berpulang dalam usia 80 tahun, pada Selasa (21/7) lalu karena gejala troke. Rencananya, upacara peng-aben-an maestro topeng yang karya-karyanya telah mendunia ini akan berlangsung pada Rabu (26/8).  Perjalanan Wayan Tangguh sebagai anak desa yang papa hingga mampu menjadikan dirinya sebagai seorang seniman topeng yang mumpuni dan disegani patut dihormati.

           I Tangguh lahir pada tahun 1935 dalam lingkungan keluarga yang serba miskin, termasuk kekurangan kebutuhan dasar makanan. Untuk meringankan ayah-ibunya, Tangguh berusaha mencari  sesuap nasi sendiri.  Puri Singapadu yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya dengan terbuka menerima si bocah Tangguh membantu-bantu di puri, khususnya mengukir kulit sapi untuk perhiasan barong dan rangda. Saat Tangguh berusia 12 tahun, tokoh Puri Singapadu, Ida Cokorda Oka Tublen sudah dikenal sebagai seniman pembuat barong dan rangda yang dikagumi masyarakat luas. Di bawah bimbingan Oka Tublen inilah titik berangkat I Tangguh meniti jalan hidup yang lebih cerah.

          Hingga menapak usia dewasa, I Tangguh dengan penuh kesetiaan mengabdi dan berguru pada Ida Cokorda Oka Tublen.  Ida Cokorda terkesan dengan ketekunan dan bakat yang menonjol pada I Tangguh. Oleh karena itu, bangsawan yang dikenal sebagi seniman serba bisa itu tak ragu-ragu mengarahkan bakat I Tangguh untuk mengerjakan tugas-tugas penting, dari memahat hingga menyelesaikan topeng. Kepercayaan dan asih yang diterimanya  kian menguatkan hasrat Tangguh untuk terus meningkatkan kemampuannya. Segala petuah yang diberikan Cokorda Oka Tublen dilakoninya dengan taat. Nasihat Oka Tublen agar seorang pembuat topeng harus bisa menari, dijalani  Tangguh dengan belajar menari pada penari terkenal I  Wayan Sadeg di Batuan dan penari topeng I  Ketut Rinda di Blahbatuh.

          Pemahamannya pada seni tari, di kemudian hari, memang terbukti memberikan dukungan  pada kepiawaian Tangguh dalam membuat topeng. Karyanya berupa tapel-tapel untuk kebutuhan tari topeng banyak diminati oleh para penari topeng Bali. Para pemesannya merasa puas, disebabkan tapel-tapel karya Tangguh memancarkan taksu dan memberikan stimulus saat menarikannya. Sebelum mengerjakan pesanan biasanya Tangguh bertanya siapa yang akan memakainya dan juga dengan telaten ditanyakannya latar belakangan pembelajaran tari si pemakai. Jika penarinya seniman alam, biasanya Tangguh membuatkan tapel yang lebih kalem, dan kalau akan dipakai oleh penari dengan skil dasar tari baris yang kuat, Tangguh membuat tapel yang terkesan energitik.

          Setelah Wayan Tangguh berkeluarga, Ida Cokorda Oka Tublen memintanya untuk mandiri dan bekerja  di rumahnya sendiri. Namun Tangguh tetap tak bisa memupus bakti dan hormatnya kepada sang guru. Tangguh selalu meminta saran, baik ketika menerima pesanan maupun setelah menyelesaikan garapannya. Kerendahan hati I Tangguh dalam kiprahnya sebagai pembuat topeng membuatnya semakin dikagumi dan kepercayaan masyarakat pun direngkuhnya. Tidak sedikit barong dan rangda sakral sungsungan komunitas desa telah dikerjakannya seperti di Baturiti, Apuan, Penebel Tabanan, Beneng, Getakan, dan Aan Klunkung, Bangun Lemah Bangli, Tatasan Denpasar, dan Batubulan Gianyar. Untuk mengerjakan barong dan rangda yang berkaitan dengan religiusitas masyarakat ini, I Tangguh menjalaninya dengan tulus bakti melalui proses spiritual yang suntuk.

          Kesungguhan Wayan Tangguh dan ketangguhannya sebagai seniman pembuat topeng membuatnya dikenal hingga ke mancanegara. Sejumlah seniman teater dari penjuru dunia datang berguru membuat topeng padanya. Karya-karyanya pun telah tersebar di Amerika, Jepang, Italia, Taiwan, Australia, Inggris, Prancis, Denmark, dan Jerman. Seniman topeng Bali dan dalam negeri pun tak ketinggalan mengkoleksi topeng karya I Tangguh, diantaranya I Wayan Dibia, I Made Bandem, NLN Swasthi Bandem, Fino Confessa. Museum Latamahosadi ISI Denpasar  juga mengkoleksi topeng-topeng wayang wong, barong bangkal, barong ketet, dan barong macan  karya ayah seniman I Ketut Kodi ini.

          Begitu vistuosonya Wayan Tangguh sebagai seniman pembuat topeng, sangat pantas bila ia disebut sebagai peneguh seni topeng Bali. Keteguhannya menekuni  kesenimannya telah mengundang respek pihak pemerintah. Penghargaan kepada seniman yang telah menunjukkan dedikasinya di bidang seni budaya dari tingkat Kabupaten Gianyar (Wija Kusuma) hingga tingkat Provinsi Bali (Dharma Kusuma) telah dianugrahkan kepadanya. Semestinya, bahkan, penghargaan tingkat nasional pun (Wijaya Kusuma),  sudah sangat layak dianugrahkan semasa hidupnya. Namun tanpa mengurangi arti berbagai penghargaan itu, sejatinya I Wayan Tangguh  telah menggenggam penghargaan yang abadi. Bisa jadi karya-karyanya akan lapuk dimakan waktu namun nama Sang Maestro I Wayan Tangguh kiranya akan terentang dalam ayunan zaman.

Rinarasila “Mentari Pulau Dewata” Menggebrak Peninsula

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Sebuah seni pentas konsep baru menggebrak penutupan Nusa Dua Fiesta 2015, Selasa (13/10) malam lalu. Garapan seni pertunjukan yang disajikan oleh Sanggar Lokananta Singapadu, Gianyar, tersebut diberi label Rinarasila,yang merupakan ramuan tiga unsure seni yaitu tari, narasi, dan lagu. Mengusung judul “Mentari Pulau Dewata”, ribuan penonton yang menyesaki panggung Peninsula, Nusa Dua, terpesona menyaksikan aksi panggung sekitar seratus  seniman muda, berolah tari, berdendang lagu, dan tuturan narasi dengan iringan gamelan semarapagulingan nan merdu.

          Rinarasila “Mentari Pulau Dewata” diawali dengan kisah Dewa Siwa  menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa kemudian mengembalikan keharmonisan jagat dengan menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita oleh umat manusia di bumi, termasuk di pulau Bali. Mekarnya aneka ragam seni di pulau Bali menciptakan kehidupan yang nyaman, aman, dan damai. Melalui keindahan seni dan keunikan budayanya, Pulau Dewata  menjadi pilihan kunjungan utama wisatawan mancanegara.

          Seni budaya sebagai daya tarik utama kepariwisataan Bali adalah pesan utama yang tampaknya menjadi lontaran sajian Rinarasila ini. Kesenian yang menjadi unggulan pariwisata Bali kiranya juga bersambung gayut dengan tema Nusa Dua Fiesta 2015 yaitu “Love, Peace, Harmony” dimana esensi seni memang memancarkan aura harmoni kehidupan, kedamaian nurani, dan cinta kasih sesama. Melalui tajuk “Mentari Pulau Dewata” digambarkan dalam rajutan tari, narasi, dan lagu, bagaimana Bali berbinar cemerlang menjadi pusat kunjungan para pelancong, yang bias sinarnya menerbitkan dan menyemangati jagat pariwisata Nusantara.

          Untuk menggambarkan Bali sebagai lokomotif pariwisata Indonesia, “Saya menggunakan konsep seni pentas Rinarasila,” ujar I Wayan Sutirtha, S.Sn, M.Sn, Ketua Sanggar Lokananta sekaligus bertindak selaku koreografer garapan ini. Diungkapkan oleh Wayan Sutirtha, konsep seni pertunjukan baru ini dirintis insan-insan seni Desa Sukawati, sejak bulan April lalu dan saat digelar di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar berhasil memukau penonton. “Pesona garapan berjudul Siwa Murti Wisesa Sakti itu kemudian menunjukkan kesaktiannya dalam sebuah Festival Seni Budaya Dunia di Purwakata, Jawa Barat, pada akhir Agustus lalu, yang medapat sambutan yang luar biasa di sana,” kata dosen tari ISI Denpasar ini. Sebagai koreografer yang terlibat mewujudkan garapan itu, Sutirtha, ingin memperkenalkan Rinarasila  sebagai seni pentas baru yang pantas diapresiasi.

Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...