by admin | Nov 29, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Menari sembari mendongeng atau mendongeng sambari menari. Inilah sebuah tawaran kreasi seni pentas baru yang diberi nama Taridong yakni perpaduan seni tari dengan seni mendongeng. Senin (9/11) siang lalu disajikan di Wantilan Gedung Pers Bali K. Nadha, Denpasar, pada puncak HUT ke-17 mingguan berita wanita Tokoh. Mengangkat lakon “Ratna Mangali”, Taridong yang dibawakan oleh penari dan pendongeng Bali, Sri Ayu Pradnya Larasari, bertutur tentang kemelut batin seorang wanita yang tak berdaya menghadapi pengkhianatan cinta dan kesewenang-wenangan penguasa. Penonton yang terdiri dari tokoh-tokoh wanita Bali terpukau.
Ratna Mangali adalah seorang gadis cantik jelita putri semata wayang Ni Calonarang, seorang janda yang tinggal di desa Dirah. Entah apa yang menjadi menyebabnya, tak ada seorang pemuda pun yang memiliki keberanian untuk melabuhkan cintanya pada Ratna Mangali. Besar kemungkinan para pemuda yang jatuh hati pada kemolekan Mangali tak bernyali menghadapi Ni Calonarang yang ditakuti penduduk desa sebagai penganut ilmu hitam. Gara-gara Mangali tak kunjung memperoleh jodoh, Ni Calonarang mengancam akan menebar teror. Raja Airlangga yang membawahi desa Dirah kemudian turun tangan menyusun siasat dengan mengutus Bahula, putra Mpu Baradah, menikahi Ratna Mangali. Bukan main girangnya Ni Calonarang melihat kebahagiaan putrinya bersanding dengan seorang pemuda tampan.
Dongeng dari desa Dirah tersebut, di tengah masyarakat Bali, lazim disajikan dalam dramatari calonarang. Namun, melalui seni seni pentas Taridong yang lebih fokus mengeksplorasi tokoh Ratna Mangali, terasa mengayun emosi penonton pada persoalan kompleksitas kehidupan, kegetiran cinta, dan hegemoni penguasa terhadap rakyat jelata yang tak berdaya. Nilai-nilai moral yang terlontar dari sajian pentas Taridong “Ratna Mangali” ini memancarkan subtansi kultural yang patut kita renungkan dan koreksi bersama. Misalnya, di tengah masyarakat Bali modern masa kini masih sering menyembul prasangka bahkan tudingan provokatif menuduh seseorang sebagai praktisi leak.
Jagat seni adalah media edukatif mencerahkan. Dongeng sebagai salah satu sumber beragam tema atau lakon ungkapan seni tak bisa dipungkiri sangat kaya dengan kandungan nilai-nilai moralitasnya. Pada masa lalu, ketika budaya sastra lisan masih kokoh, kontribusi tradisi mendongeng berperan penting memberi asupan pada pembentukan karakter masyarakat zamannya. Namun kini, ketika tradisi mendongeng sudah sayup-sayup menjauh, dari manakah generasi sumber insani bangsa kita mereguk nilai-nilai kultural-edukatif untuk membetengi dirinya dari dampak terjangan pengaruh multidimensi negatif-destruktif yang begitu agresif mengiming-imingi kita semua, setiap saat dan setiap waktu, melalui teknologi digital televisi, HP, internet yang demikian merasuk?
Diperlukan kreativitas untuk mereaktualisasikan dan mereposisi tradisi mendongeng di tengah masyarakat kita yang cenderung sibuk dan serba terburu-buru ini. Kreativitas itu, salah satunya melalui seni pertunjukan yang khusus dikemas seperti telah diluncurkan, Taridong, seni tari yang dipadukan dengan seni mendongong. Tentu diperlukan kemampuan khusus bagi para pelaku yang membawakannnya. Pertama, adalah keperigelan menari, termasuk di dalamnya pengkarakteran tokoh-tokoh yang diceritakan. Kedua, adalah kepiawaian mendongeng, tentu termasuk di dalamnya olah vokal dramatik imajinatif. Dua bekal kemampuan ini kiranya sudah cukup untuk mementaskan Taridong. Terakhir, tinggal cerdik memilih dongeng sesuai dengan siapa penontonnya serta konteks peristiwanya.
Sebagai perintis seni pentas Taridong, Sri Ayu Pradnya Larasari yang akrab disapa Laras, telah membekali diri dengan pengalaman sebagai penari dan pendongeng. Alumnus SMA Negeri 3 Denpasar yang kini mulai menapak bangku kuliah di ISI Denpasar ini, sejak SD hingga SMA telah berkali-kali menyabet Juara I se-Bali, baik untuk bidang seni tari maupun dalam bidang masatua atau mendongeng. Bahkan atas capaian reputasinya itu, tahun 2014 lalu, oleh Pemerintah Republik Indonesia, ia dianugrahkan Piagam Kebudayaan sebagai Remaja yang Berdedikasi dalam Bidang Seni Tari dan Seni Bercerita. Tahun itu juga, gadis berambut panjang ini diutus sebagai duta Festival Dongeng Se-Asia di Korea Selatan. Kini, melalui seni pentas Taridong, “Saya ingin terus mengasah diri pada kedua bidang seni yang saya digeluti sejak usia belia, sekaligus ingin menawarkan suatu kreativitas seni dengan harapan diapresiasi masyarakat,” ujar Laras seusai pentas.
Taridong “Ratna Mangali” disajikan Laras dengan sarat totalitas. Diawali dengan utaian tari nan impresif, kemudian melenggang dengan rona wajah kemayu menuju ke tengah panggung. Menggunakan tata busana modivikasi kain cepuk dengan sedikit ornamen prada, kisah dimulai. Dibuka dengan kalimat: Tersebutlah di sebuah desa yang bernama Dirah, kemudian digarisbawahi dengan alunan tembang pupuh ginada basur: kocapan ni calonarang, okan nyane ratna mangali. Ratna Mangali digambarkan Laras dengan kalimat: segala tanda tanya berkecamuk dalam batin Mangali, namun tak berani mempertanyakan kepada ibunya yang pemberang. Namun setelah Bahula kabur mencuri buku tenung ibunya, Ratna Mangali menggugat menumpahkan isi hatinya. Ungkap Laras dengan suara lantang: Kenapa Bahula mengkhianatiku? Kenapa ibuku harus menyabung nyawa demi mempertahankan harga dirinya? Kenapa? Kiranya, seni pentas Taridong akan terus mempertanyakan berbagai persoalan kemanusiaan dengan kehidupannya, lewat kisah dongeng yang lain.
by admin | Nov 29, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah perhelatan seni budaya internasional digelar di Purwakarta, Jawa Barat, 29 Agustus lalu. Kendati hanya berlangsung semalam–sejak pukul 19.00-24.00 WIB–namun festival ini sungguh-sungguh berkelas dunia. Tengoklah, 14 negara mengirim duta-duta seninya. Ke-14 negara tersebut diantaranya Italia, Meksiko, Turki, Mesir, Afrika Selatan, Korea, India, China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Tuan rumah Indonesia diwakili oleh insan-insan seni dari Desa Sukawati, Gianyar, Bali. Desa Sukawati tampil sebagai pamungkas festival dengan garapan bertajuk “Matahari Nusantara”.
Pentas seni budaya mancanegara ini adalah puncak dari peringatan hari jadi Purwakarta ke-184. Pementasan dipusatkan dalam sebuah panggung megah yang disebut Maya Datar, terletak di depan pendopo pemerintah Kabupaten Purwakarta. Ribuan penonton merangsek mengepung areal pementasan, namun tak semuanya bisa masuk. Penonton yang tak mendapat bagian di dalam, tak pantang menyerah dan dengan semangat menyaksikan dari luar pagar besi. Festival yang bernama resmi Cultural World Festival ini, tampak menjadi peristiwa budaya bersejarah yang menghebohkan masyarakat Jawa Barat.
Dipandu oleh presenter nasional, Indra Herlambang dan Ersa Mayori, festival seni budaya dunia ini menjadi pesta keberagaman budaya dalam berbagai ungkap seni, dari seni bela diri khas China, Kungfu, hingga tarian sufi Mesir, dari tarian Baghara dari India hingga seni Folk dari Italia. Masing-masing duta seni tampil memukau penonton sekitar tujuh hingga 10 menit, kecuali Indonesia (Sukawati) yang menggebrak di puncak festival selama setengah jam. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama para undangan perwakilan kedutaan negera-negara yang duta seninya tampil dalam festival, menyimak antusias pertunjukan di atas panggung.
Hinteria penonton bergemuruh menyambut penampilan Sukawati. Berkekuatan 100 orang (penari, penabuh, koor, dan dalang/narator), sajian para seniman Sukawati rupanya memang ditunggu-tunggu penonton. Kang Dedi, panggilan akrab Dedi Mulyadi, dalam siaran persnya beberapa hari sebelumnya, memang telah berkali-kali menginformasikan bahwa persembahan seni Desa Sukawati jangan sampai dilewatkan untuk diapresiasi. Pernyataan orang nomor satu di Kabupaten Purwakarta ini, bisa jadi mengacu kepada kesannya sendiri ketika menyaksikan garapan seni seniman Desa Sukawati berjudul “Siwa Murti Wisesa Sakti” di Balai Budaya Gianyar tanggal 19 April lalu.
Ditunjuknya para insan seni Desa Sukawati untuk tampil di forum seni budaya dunia itu berawal dari Balai Budaya Gianyar. Penampilan garapan seni pentas kolosal Sukawati menggugah hati salah satu undungan kehormatan, yaitu Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Seusai menyaksikan seni pentas tersebut, beliau melontarkan apresiasi yang tinggi kepada tim penggarap. Antusiasismenya diungkapkan dengan undangan langsung agar Sukawati tampil pada festival seni budaya dunia yang direncanakan digelar pada bulan Agustus 2015 di Purwakata. “Saya yakin saat festival nanti, ribuan penonton akan membludak, menyimak penampilan tim kesenian utusan 15 negara, termasuk sajian Desa Sukawati duta Gianyar, Bali, yang menjadi wakil Indonesia,” ujar Dedi Mulyadi bersemangat.
Ketika perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar itu, Sukawati menyajikan garapan seni pertunjukan dengan lakon yang bertema dunia seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.
Pesan damai dari indahnya seni itu, dalam penampilan Sukawati di festival budaya dunia di Purwakarta kembali digaungkan. Lakon “Matahari Nusantara” pesan intinya adalah hidup berkeadaban dengan damainya seni. Alkisah, pada abad ke-6 Masehi, bangsa Galuh di belahan barat Jawa Dwipa telah menggapai peradaban tinggi. Bangsa inilah yang mengawali lahirnya sistem pemerintahan kerajaan pertama di dunia. Sebuah ajaran welas asih, berhasil menuntun kerajaan Galuh merengkuh era kejayaannya. Ajaran yang mengandung cara hidup manusia yang beradab itu, dihormati takzim dengan sebutan Sundayana. Sunda bermakna matahari dan yana adalah ajaran hidup. Sembilan abad kemudian, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran nan masyur keturunan bangsa Galuh, menaruh hormat pada ajaran Sundayana warisan leluhurnya. Untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian, Prabu Siliwangi dengan penuh welas asih arif bijaksana, mengayomi jagat seni dan menggalang fajar kehidupan yang berbudaya.
“Matahari Nusantara” persembahan Sukawati mengundang decak penonton. Unsur-unsur seni Jawa Barat dan Nusantara yang diramu dalam tari, gamelan, dan olah vokal menggugah rasa cinta budaya daerah dan kebhinekaan Nusantara. Ketika pada bagian akhir garapan mengepak figur Garuda yang diiringi lagu rakyat Jawa Barat, Manuk Dadali, ditingkahi gerak tari nan rampak, segenap penonton berdiri, termasuk Kang Dedi, ikut bernyanyi riang. Di akhir pementasan, secara spontan Ki Dalang Sujiwo Tejo didampingi Kang Dedi masuk panggung, menembang dan berpuisi. Garapan seni “Matahari Nusantara” Sukawati berbinar gemilang, penonton terpana.
by admin | Nov 29, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Dinginnya malam yang cukup menggigit Kota Solo, Jawa Tengah, pada 14-15 September 2015, dihangatkan oleh sajian beragam karakter topeng oleh sebuah perhelatan dengan label Indonesia International Mask Festival (IIMF). Pentas seni pertunjukan topeng bertarap internasional ini disokong oleh Kementeriaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Tak kurang dari 13 peserta dari dalam dan luar negeri ditampilkan di Benteng Vastenburg dan ISI Surakarta. Sajian seluruh peserta diarahkan pada fokus tema The Greatest Panji. Kitab Negarakertagama (abad ke XIII) menuturkan, cerita Panji telah menyebar luas hingga ke Asia Tenggara. Karena itu, penggiat tari topeng dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Singapura pun hadir unjuk kebolehan. Dari dalam negeri tampil pelaku tari topeng dari sejumlah daerah di Pulau Jawa. Penari topeng dari Bali?
Tari topeng Bali rupanya luput dari hitungan penyelenggara festival. Padahal Bali adalah wilayah kultural yang kaya dengan beragam seni pertunjukan bertopeng. Selain itu, cerita Panji yang diusung sebagai tema festival, menyebar luas dan terinternalisasi mendalam di tengah masyarakat Bali. Tengok Gambuh, dramatari tua yang dianggap sumber tari dan gamelan Bali atau lihat pula teater rakyat Drama Gong, lakon-lakon utamanya bersumber dari cerita Panji. Rupanya, soal tak diundangnya Bali dalam perhelatan seni akbar itu mungkin karena tidak adanya seni pertunjukan bertopeng yang mengisahkan cerita Panji. Apa boleh buat, keindahan tari topeng Bali tak sempat disimak penonton festival tersebut. Padahal dramatari topeng Bali yang lazim menuturkan lakon babad dapat saja tampil dengan cerita Panji dimana tokoh Panji menggunakan karakter topeng Arsawijaya. Tapi sudahlah, mari cermati satu wakil dari dalam negeri (Topeng Losari Cirebon) dan satu wakil dari luar negeri (Singapura). Jika duta seni Negeri Singa menyuguhkan tari topeng kontemporer, Topeng Losari hadir dengan ketradisiannya yang kental.
Identitas Kental
Sajian Topeng Losari ditandai dengan sebuah gawang 3×3 meter yang digelayuti beragam hasil pertanian. Pisang, terong, jagung, padi, dan umbi-umbian itu menjadi bingkai penampilan Topeng Losari Cirebon. Siang itu, Sanggar Topeng Purwa Kencana Cirebon tampil di panggung tertutup ISI Surakarta. Tak kurang dari 30 menit penonton menyimak penampilan generasi ketujuh dari salah satu gaya topeng Cirebon itu. Gaya Losari yang tata tarinya bernuansa Jawa Tengah tersebut kini eksis dan bahkan telah melawat ke luar negeri.
Penampilan Topeng Losari diawali oleh hadirnya seorang penari membelakangi penonton duduk khusuk di depan kotak wayang yang dikawal oleh seorang juru kecrek pria. Setelah gending gamelan bergulir dua-tiga menit, perlahan sang penari bangkit. Inilah penampilan tari Pamindo dengan topeng berwarna putih. Di Losari, topeng ini disebut Topeng Panji karena tokohnya bernama Panji Sutrawinangun. Laku estetika tubuh topeng Panji mengalir halus dan karismatik. Namun karena topeng ini menggambarkan karakter seorang raja yang berwibawa maka ditengah alunan kehalusannya muncul aksen-aksen gerak lugas yang mencerminkan ketegasan. Setelah topeng Panji berlalu mulailah pendramaan lakonnya yang menjadi identitas Topeng Losari. Topeng Cirebon pada umumnya terikat oleh struktur baku dengan sajian sekian watak manusia.
Selengkapnya unduh disini
by admin | Nov 28, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah garapan seni pertunjukan bertajuk “Siwa Murti Wisesa Sakti” dipersembahkan Desa Sukawati dalam parade seni di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar, Jumat (17/4) lalu. Dibawakan tak kurang dari 250 pemain (penari, penabuh, dalang, dan paduan suara), garapan berdurasi sekitar 15 menit ini menyodorkan sebuah tawaran kreativitas seni yang banyak diperbincangkan penonton seusai pementasan. Pesona yang berhasil dipancarkan karya seni pentas itu mengundang sejumlah pertanyaan yang mengerucut kepada rasa penasaran sekitar proses berkeseniannya.
Berkesenian bagi masyarakat Bali pada umumnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan religius-kultural masyarakatnya. Berkesenian dalam sanggaan budaya ngayah masih menggeliat. Namun di tengah kehidupan modern sekarang ini, berkesenian dengan orientasi profit kian menggejala, termasuk di Desa Sukawati yang terkenal dengan pasar seninya. Dalam konteks pasar, idealisme berkesenian digeser ke pinggir. Ketika uang menjadi incaran, individualisme berkesenian menjadi sah-sah saja. Nah, justru proses penggarapan dan menguaknya karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” bertolak belakang dari semua itu.
Penggarapan karya seni ini beranjak dari perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar. Berkesenian dalam konteks ini menggetarkan emosi ngayah kepada pemerintah. Bersama tujuh duta kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar, Desa Sukawati didaulat menyuguhkan sebuah seni pentas dalam sebuah parade. Kewajiban untuk menampilkan seni pentas dalam momentum itu mengobarkan gereget jengah. Para tokoh seni dan ratusan generasi muda dari 13 banjar yang ada di desa Sukawati merapat dan bertekad menampilkan karya seni yang berarti. Merebak gelora nindihin Sukawati yang dikenal sebagai lumbung seni.
Desa Sukawati sendiri, sejatinya memang lekat dengan jagat seni. Menurut tuturan babad desa setempat, nama Sukawati yang sebelumnya bernama Timbul berasal dari sebutan suka ati yang lama kelamaan menjadi sukawati. Dikisahkan pada akhir abad ke-18, Kerajaan Timbul menggapai puncak kejayaannya dimana aneka ragam kesenian yang menstimulasi rasa suka hati penduduknya serta menjadi daya tarik orang luar untuk datang mengaguminya. Kini, identitas Sukawati sebagai desa seni belum pupus. Legong keraton, tari Bali nan indah itu, berakar dan membiak dari desa ini. Wayang kulit, teater tua adiluhung yang sarat nilai estetik-kultural, hingga kini masih segar bugar di Sukawati dan dianggap benteng wayang kulit klasik Bali.
Lakon seni pentas “Siwa Murti Wisesa Sakti” terpilih, adalah tentu karena alasan kelekatan Sukawati dengan jagat seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya (Dewata Nawa Sanga) mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Keindahan legong keraton dan tutur bijak sajian wayang kulit membuat kaum raksasa terpesona dan dengan tenang kembali ke alamnya. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.
Kita masih percaya, seni itu mendamaikan. Kandungan pesan inilah yang ingin diaktualisasikan dalam garapan seni pentas Sukawati tersebut. Ternyata, kedamaian berkesenian itu tak hanya untuk dikomunikasikan kepada penonton namun juga melingkupi proses kreatif yang berlangsung lebih dari dua bulan. Selama itu, mengalir dinamika kreatif dalam bidang seni karawitan, seni tari, seni pedalangan, dan paduan suara. Keempat bidang seni yang menjadi formula garapan ini juga berkompromi menggalang berbagai kemungkinan olah kreativitas dan inovasi dalam arah satu tujuan yaitu mewujudkan sebuah ekspresi artistik, sebuah ungkapan seni pentas yang menggugah mata dan mampu menyapa rohani.
Penonton tampak tergugah menyaksikan pagelaran “Siwa Murti Wisesa Sakti”. Gugahan dari garapan ini sudah berlangsung jauh-jauh sebelum pementasan di Balai Budaya Gianyar. Itu terjadi saat latihan-latihan di halaman luar Pura Dalem Gede Sukawati. Masyarakat setempat berduyun, tua dan muda, menunggui dengan antusias setiap latihan berlangsung. Semua itu dapat dijadikan pertanda bahwa rasa tenteram dan damai yang mampu membinarkan hati sanubari, merambat dan terpicu oleh kegiatan berkesenian yang melibatkan insan-insan muda Sukawati. Peristiwa dua kali kerauhan para penari saat latihan sedang berlangsung pun dapat dimaknai secara positif tentang adanya “apresiasi” terhadap garapan seni pentas ini dari alam niskala.
Luasnya gaung penggarapan karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” tak bisa dilepaskan dari penyeluruhnya keterlibatan para seniman dari berbagai bidang seni serta banyaknya insan-insan muda yang terlibat di dalamnya. Garapan yang kepanitiannya ditangani secara kedesaan adat dan dinas itu melibatkan tokoh-tokoh seni pertunjukan (tari, karawitan, dan pedalangan), seni rupa dari beragam spesialisasi, serta paduan suara. Dan, ratusan dari mereka yang terlibat sebagai pelaku adalah pelajar dan mahasiswa. Perhatian masyarakat Sukawati terhadap proses berkesenian ini menjadi mendapatkan tempat khusus.
by admin | Nov 28, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Telah 100 tahun seni kebyar menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat Bali. Berawal dari munculnya gong kebyar di Bali Utara pada tahun 1915. Kehadiran gamelan dengan gaya estetik-musikal yang sarat gairah ini, memicu menguaknya seni tari baru yang berbeda dari tari tradisi yang telah mengkristal sebelumnya. Tari nafas baru dengan iringan gong kebyar inilah yang disebut seni kebyar atau kakebyaran. Kini, perkembangan seni kebyar tak pernah henti menggeliat dan menggebrak dalam kancah seni pertunjukan Bali.
I Ketut Marya dapat disebut sebagai pionir lahirnya seni kebyar. Lewat karya cipta tarinya yang berjudul Kebyar Duduk yang mulai dikenal masyarakat sejak tahun 1925, era seni kebyar menggelinding di Bali. Pada tahun 1942 lahir tari Panji Semirang dan tari Mergapati karya I Nyoman Kaler. Tahun 1950 mencuat tari Tarunajaya olahan I Gede Manik. Selanjutnya, Ketut Marya yang namanya menginternasional dengan sebutan Mario menciptakan tari duet Oleg Tambulilingan (1952), I Nyoman Ridet dan I Wayan Likes menelorkan tari Tenun dan I Wayan Beratha melahirkan tari Tani (1957), dan seterusnya berdenyut kencang pada tahun 1980-an dengan lahirnya deretan tari yang bertema fauna, diantaranya, tari Manukrawa (I Wayan Dibia), Kidangkencana (I Gusti Ngurah Supartha) dan tari Cendrawasih ( NLN. Swanthi Bandem).
Di tengah sebagian masyarakat Bali, seni kebyar sering latah disebut legong atau lazim dinamai tari lepas. Seni kebyar pada umumnya dipentaskan sebagai seni tontonan atau hiburan masyarakat. Dalam perjalanannya, seni pertunjukan balih-balihan ini dapat disajikan secara tersendiri atau sering menjadi bagian pementasan tertentu. Ketika teater rakyat drama gong sedang naik daun pada tahun 1970-an, sebelum pertunjukan inti dimulai sering diawali dengan satu dua pagelaran seni kebyar seperti tari Tarunujaya, Wiranata, Panji Semirang, atau Oleg Tambulilingan. Demikian pula sebuah pementasan drama tari Prembon, sering dimulai dengan sajian tari lepas kebyar.
Adalah Bung Karno, presiden pertama RI, sangat mengapresiasi seni kebyar dan sekaligus menyayangi para penarinya. Begitu besarnya perhatian sang presiden dengan kesenian Bali hingga sempat memberikan nama Tarunajaya pada karya tari Gede Manik yang kini memonumental itu. Munculnya seni kebyar dengan tema-tema sosialistik di Bali seperti tari Tenun, Nelayan, Tani dan sebagainya adalah merupakan peran langsung dan tidak langsung dari atmosfer sosial-kultural-politik yang digadang-gadang Bung Karno pada era kekuasaannya. Realitanya, Bung Karno, sering memamerkan kesenian Bali, termasuk seni kebyar, kepada tamu-tamu pentingnya, baik di Istana Tampaksiring maupun di Istana Negara Jakarta.
Gong kebyar sebagai media gamelan pengiring tari kebyar kini tersebar merata di penjuru Bali. Selain banjar atau desa, gamelan yang dapat berfungsi fleksibel ini juga dimiliki sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintahan, dan tentu juga sanggar-sanggar seni pertunjukan yang kian tumbuh subur. Sejatinya, sejak tahun 1960-an, pementasan seni kebyar menjadi sebuah pertunjukan favorit masyarakat. Tidak sedikit pelaku seni tari tersohor karena kepiawaiannya membawakan tari kebyar tertentu. Ada yang namanya eksis dan virtuoso sebagai penari Tarunajaya, Kebyar Duduk, Panji Semirang dan sebagainya. Bahkan ada identifikasi seorang wanita Bali yang postur tubuhnya langsing semampai dengan rambut panjang menjuntai seperti Oleg Tambulilingan.
Namun menginjak tahun 1990-an, pementasan tari-tari kebyar di tengah masyarakat Bali agak meredup. Fenomena tergerusnya perhatian penonton terhadap seni kebyar juga dialami seni tontonan Bali yang sebelumnya digemari seperti drama gong, arja, dan sendratari. Walau demikian, lembaga pendidikan formal seni seperti SMKI (kini SMK Negeri 3 Sukawati) dan STSI (kini ISI Denpasar) tetap konsisten mengajarkan dan menciptakan seni kebyar. Sementara itu, sanggar-sanggar seni mulai menunjukkan kontribusi yang signifikan pada keberadaan seni tari, tentu termasuk seni kebyar.
Menapak tahun 2000-an, seni kebyar kembali bergairah. Sanggar-sanggar seni mampu menelorkan penari-penari seni kebyar yang andal. Salah satu pemicu menetasnya generasi muda unggul seni kebyar adalah lomba-lomba tari yang berlangsung secara sporadis hampir di seluruh Bali. Lomba-lomba tari yang digelar di bale banjar hingga di podium universitas itu mengkompetisikan seni kebyar, selain tari Baris, Jauk, dan Legong Keraton. Dari arena ini seni kebyar teraktualisasi di tengah masyarakat, karena umumnya para penabuh sebuah sekaa gamelan mengenal dan mampu mengiringi tari Panji Semirang, Wiranata, Tarunajaya, Oleg Tambulilingan hingga tari Manukrawa.
Memperingati seabad seni kebyar, sudah sepatutnya para generasi muda Bali pelestari seni kebyar didorong unjuk kemampuan. Porsenijar (Pekan Seni dan Olahraga Pelajar) yang digelar pada bulan-bulan awal tahun adalah salah satu arena ideal bagi para pelajar berseni kebyar. Dinas Pendidikan Propinsi Bali sebagai penyelenggara, semestinya sudah mengantisipasi memasukkan dan merinci materi tari-tarian kebyar untuk ditampilkan pada lomba bidang seninya. Materi tari-tarian kebyar kiranya tepat diperuntukkan pada sajian tari putri; Panji Semirang (SD), Wiranata (SMP), dan Tarunajaya (SMA/SMK). Sedangkan untuk materi tari putra lebih relevan dilombakan tari non kebyar seperti Baris (SD), Jauk Keras (SMP) dan Jauk Manis (SMA/SMK). Melalui Porsenijar, pemerintah propinsi Bali dapat menunjukkan peran dan kepeduliannya membangun jagat seni, mengapresiasi tonggak seabad seni kebyar yang kini telah mendunia.