Gamelan Jegog, Berkibar Di Jepang, Menyapa Amerika

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Tak disangka-sangka, ternyata salah satu gamelan Bali yang nada-nadanya melantun dari batangan-batangan bambu, kini mulai dikenal masyarakat dunia. Ya, gamelan jegog. Tengoklah aksinya pada Selasa (24/11) malam lalu di panggung terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sekelompok penabuh jegog dari Desa Sangkar Agung, Jembrana, bersanding pentas dengan para penggebuk kendang tradisional Jepang. Setelah adu kebolehan sajian konser masing-masing, pada klimaks pementasan kedua belah pihak seniman Bali dan Jepang itu berkolaborasi. Rampak pukulan taiko (kendang) dari grup Kodo, Jepang, saling timpa dan saling jalin-menjalin dengan nada-nada jelimet gamelan jegog sekaa Suar Agung, Bali. Penonton terpesona.

Gamelan jegog  pada umumnya dapat dijumpai di Bali Barat.  Di desa-desa  di Kabupaten Jembrana, gamelan ini begitu digandrungi oleh masyarakat setempat. Kendati memiliki tangga nada pendek, ternyata alunan nada gamelan jegog, kini mampu  menyeberangi lautan.  Sejak tahun 1980-an, barungan bambu ini digemari oleh masyarakat Jepang. Bahkan di negeri Matahari Terbit itu telah ada beberapa grup jegog, diantaranya adalah sekaa gamelan Sekar Sakura. Hebatnya, Sekar Sakura dari Nagoya College of Music yang dibina Ketut Suwentra itu telah berani unjuk kebolehan dalam sebuah adu tanding (mabarung) melawan  sekaa gamelan jegog dari Bali pada PKB tahun 1998. Kini, tahun 2000-an, gamelan jegog juga menggeliat di Amerika Serikat, salah satunya dimainkan oleh grup gamelan Sekar Jaya, San Francisco, California.

Bunyi-bunyian yang terbuat dari bambu dapat dijumpai di berbagai perjuru jagat, sejak zaman primitif hingga kini. Demikian pula di Bali, pemanfaatan bambu sebagai wahana bebunyian masih diteruskan hingga kini. Sebagian bentuk orkentra gamelan Bali tidak sedikit yang dibuat dari bambu. Salah satu ansambel musik Bali yang unik adalah gamelan jegog. Alat musik perkusi yang terbuat dari bambu itu diwariskan secara turun-temurun di lingkungan masyarakat agraris tradisional di belahan Bali Barat.

            Gamelan jegog sudah dikenal oleh masyarakat Bali Barat sekitar tahun 1912. Pada awal kemunculannya, di masa lalu gamelan jegog berfungsi sebagai media komunikasi, misalnya mengumpulkan orang-orang untuk bergotong royong dalam berbagai kegiatan komunitas-komunitas pertanian di pedesaan. Perkembangannya kemudian, gamelan ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan hiburan, baik sebagai sajian musik instrumental maupun untuk mengiringi atraksi seni ketangkasan pencak silat.

            Dalam perkembangannya, gamelan jegog beradaptasi fleksibel menerima pembaharuan. Sebagai pelengkap instrumentasinya, ansambel bambu ini juga mengadopsi instrumen perkusi kendang, cengceng, dan tawa-tawa. Ketiga istrumen tersebut dipakai terutama saat mengiringi tari-tarian, joged misalnya. Jegog diklaim oleh komunitas seninya memiliki tiga versi, yaitu versi I Gejor (bersifat instrumental), I Suprig (mengiringi pencak silat dan tari), dan I Nyoman Jayus (iringan drama tari). Sedangkan mengenai tangga nada, menurut para praktisi jegog, gamelan ini diakui berlaras pelog empat nada yaitu dong, deng, dung, dan daing. Urutan nada dari dung ke daing yang meloncati nada dang (nada ke-4 tangga lima nada pelog gamelan Bali) ini disebut ngelangkahin gunung, melangkahi gunung. Susunan tangga nada gamelan “tak urut” ini khas Jegog.

            Secara fisik, dibandingkan dengan gamelan Bali lainnya, jegog tampak megah dan gagah. Penampilannya yang mendongak dan kemeriahan cat ukirannya, memunculkan kesan berwibawa penuh percaya diri. Batangan-batangan bambu besar yang menjadi media utama sumber bunyinya mencuatkan identitas yang eksotis namun agung.

            Dari seluruh istrumen ansambel ini yang tampak sangat menonjol adalah instrumen yang disebut jegog. Bilah bambu terpanjangnya mencapai 308 cm  dengan garis tengah  15.8 cm. Instrumen yang dimainkan dua orang penabuh dengan dua panggul (pemukul) bak gada Anoman dalam film India ini bertugas memainkan melodi pokok. Belum jelas apakah bentuk fisik dan peran musikal yang menonjol dari instrumen itu yang menjadi asal muasal batpis penamaan barungan bambu ini, sampai saat ini masih terus diteliti. Pada Gong Kebyar,  istilah jegog pakai untuk memberi  nama instrumen yang berukuran fisik terbesar, bertugas memaiankan pokok-pokok lagu.

Gaya menabuh gamelan jegog sangat atraktif. Tidak konservatif seperti halnya dalam seni gamelan Bali lainnya yang umumnya bermain dengan cara duduk bersila. Sedangkan Jegog, sebagian besar dimainkan  secara berdiri. Bahkan ada instrumennya yaitu jegog, ditabuh dengan menaiki instrument itu sendiri. Instrumen besar itu dimainkan ala menunggangi sapi dalam tradisi balap  makepung (adu balap sapi khas Kabupaten Jembrana). Gaya menabuh gamelan Jegog ini akan tampak mengasyikkan bila sedang memainkan lagu-lagu yang bertempo cepat bernuansa riang.

Popularitas gamelan jegog di Negeri Sakura, berawal dari rasa saling menghargai antara pemusik tradisional  Jepang dengan para seniman gamelan jegog. Tersebutlah sekelompok pegiat musik yang berkibar dengan nama Kodo, mengambil nama sebuah desa kecil  tempat tinggal mereka, Kodo, di kepulauan Sado, Jepang. Kelompok pemusik kendang tradisional Jepang inilah yang pada awalnya memperkenalkan gamelan jegog  ke tengah publik Jepang pada tahun 1980-an.

Kearifan Lokal Dalam Centre Of Excelent ISI Denpasar

Kiriman : Prof. Dr. Drs. I Nyoman Artayasa, M.Kes (Prodi Penciptaan Dan Pengkajian Seni)

ABSTRAK

Menjadikan pusat unggulan (centre of excellence), sebuah intitusi tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, ia harus diperjuangkan agar menjadi sebuah keniscayaan. Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar adalah perguruan tinggi seni yang saat ini diselenggarakan oleh Kementerian Riset Teknologi  dan Pendidikan Tinggi, yang mengupayakan kearifan lokal sebagai pijakan dalam rangka  menjadi pusat unggulan demi tercapainya suasana kompetitif dalam menghadai dunia global. Pemanfaat kearifan lokal dilaksakan dengan tetap berpijak pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Permen Dikti nomor: 49 tahun 2014) dengan delapan standarnya, terutama pada standar kompetensi dan standar isi. Kemudian yang menjadi roh dalam menjalankan pembelajaran di perguruan tinggi adalah kurikulum, yang dalam delapan standar nasional pendidikan tinggi dibahas pada standar kompetensi dan standar isi. Karena merupakan roh dalam pendidikan, maka kedua komponen standar tersebut sangat strategis dalam menerapkan kearifan lokal. Bentuk teknis dari standar kompetensi dan standar isi  adalah capaian pembelajaran dan kurikulum. Kompetensi lulusan yang tersusun dalam capaian pembelajaran pada setiap program studi atau jurusan yang ada di lingkungan Internet Seminar Indonesia Denpasar adalah lulusan yang mampu menjadi pusat unggulan (centre of excellence) seni budaya berbasis kearifan lokal berwawasan universal sesuai dengan masing-masing program studi yang dipilihnya. Tentunya penyusunan capaian pembelajaran menggunakan tolok ukur jenjang KKNI yang dinyatakan dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka kualifikasi Nasional Indoneisia. Dalam pandangan Internet Seminar Indonesia Denpasar pengembangan kurikulum yang memiliki kearifan lokal adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang mengadopsi kearifan lokal yang ada di daerah Bali. Dari dua belas program studi (jurusan), enam yang adalah program studi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat lokal Bali yaitu: program studi Seni Tari; program studi Kerawitan; program studi Pedalangan; program studi sendratasik; program studi Rupa Murni, program studi Kriya, sehingga kurikulum yang mengembangkan matakuliah berkearifan lokal sudah dengan sendirinya ada di dalam program studi itu sendiri

Kata kunci: kearifan lokal, capaian pembelajaran

Selengkapnya dapat unduh disini

Wayang Kulit Ramayana Yang Lesu Merana

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Wayang kulit adalah salah satu seni pertunjukkan Bali yang memiliki   nilai keindahan disamping sebagai seni tontonan yang sarat tuntunan.  Kendati Bali memiliki beberapa jenis wayang kulit, namun yang lazim dikenal adalah Wayang  Parwa  dan Wayang Ramayana. Seiring dengan perjalanan waktu, belakangan, Wayang  Ramayana semakin jarang dapat disaksikan masyarakat Bali. Ironisnya, seni pertunjukkan Wayang Ramayana semakin langka ditekuni oleh seniman wayang kulit masa kini. Rupanya berdasarkan alasan itulah digelarnya workshop dan pelatihan dalang Wayang Ramayana, oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali, pada tanggal 19-22 Nopember ini. Sebuah upaya mulia yang konstruktif.

Tersebutlah sekitar tahun 1960-1970-an masyarakat Bali mengenal dalang Wayang Kulit Ramayana Ida Bagus Sarga (almarhum) dari Desa Bongkasa, Kabupaten Badung, yang tersohor dengan geraman suara tokoh-tokoh raksasanya. Demikian pula I Wayan Gayung (almarhum) dari Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, begitu amat dikenang penonton dengan riuh suara tokoh-tokoh keranya yang sulit dilupakan masyarakat Bali. Ngore, suara kera dari dalang Gayung, dikagumi penonton bagaikan gemuruh  jeritan ribuan monyet saat menggempur Alengka. Wayan Gayung dikenal sebagai spesialis Wayang Ramayana yang masyur pada zamannya.

Sejak meninggalnya dua dalang terkenal Wayang Ramayana I Wayan Gayung  dan Ida Bagus Ngurah Sarga pada tahun 1970-an, eksistensi Wayang  Ramayana ikut pula lesu dan merana. Kini meskipun beberapa dalang Wayang  Parwa juga mampu menyajikan Wayang  Ramayana akan tetapi totalitas dan ciri khas yang dimiliki kedua dalang Wayang  Ramayana Ida Bagus Sarga  dan I Nyoman Gayung belum tertandingi. Dengan semakin jarangnya pertunjukkan Wayang  Ramayana tentu akan mengancam hilangnya nilai estetik-kultural yang sempat menyumbangkan rasa keindahan dan kedamaian pada masyarakat Bali.

Wayang  Ramayana adalah pertunjukkan wayang kulit yang dipentaskan malam hari. Pertunjukkan wayang ini memakai kelir atau layar dan lampu blencong sebagai pencahayaanya. Lakon-lakon pertunjukkan wayang kulit ini bersumber dari wiracerita Ramayana. Wayang  Ramayana yang sering disebut juga Ngrameyana, biasanya diiringi dengan gamelan yang disebut Batel Gender Wayang yang terdiri dari sepasang gender pemade dan kantil yang dilengkapi dengan sepasang kendang krumpungan, sebuah cengceng ricik, kajar, tawa-tawa, kelenang, suling dan kempur. Di Desa Sukawati, suara instrumen kempur yang dominan dan terdengar ajeg dalam iringan pementasan wayang kulit ini, menyebabkan Wayang  Ramayana secara latah disebut Wayang Kempur.

Selengkapnya unduh disini

Sumeringah Seni Tari Dari Kampus Sekolah Seni

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Jagat seni tari di Bali sedang menggeliat sumeringah. Tengoklah pagelaran 29 karya cipta seni tari pada tanggal 27-31 Mei lalu di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Cipta tari besutan para koreografer muda itu menunjukkan totalitasnya masing-masing dalam rangka menuntaskan tugas akhirnya di lembaga pendidikan tinggi seni itu. Warna-warni karya cipta tari yang ditampilkan mencerminkan sikap dan visi berkesenian yang berkebhinekaan namun dalam satu asa untuk melahirkan cipta tari yang menggugah. Penonton yang setiap malam datang berdesakan, menyimak puspa ragam karya tari tersebut dengan sarat perhatian.

          Pagelaran ujian tingkat sarjana (S1) bidang penciptaan ISI Denpasar memang banyak menyedot perhatian masyarakat pecinta seni pertunjukan, sejak lembaga ini masih bernama ASTI-STSI. Selain menggelar ujian karya seni pedalangan dan seni karawitan, pentas ujian seni tari telah menghadirkan beragam karya cipta yang pantas disimak dan diapresiasi. Para mahasiswa tingkat akhir dengan konsentrasi penuh berproses kreatif serta bereksplorasi menggali berbagai kemungkinan estetik. Dalam pentas ujian tersebut, mereka–para seniman muda yang disemai secara akademis itu–sering melibatkan penari atau penabuh dari lingkungan komunitasnya masing-masing.

          Aneka pengejawantahan estetik, tema,  pesan moral dan kultural dapat disimak penonton dari pagelaran ujian seni tari selama lima malam itu. Ada yang berkarya berpegang pada pakem seni tradisi.  Ada yang berolah cipta, berkreasi dengan greget inovatif. Bahkan tidak sedikit yang bebas terbang lega bereksperimentasi dalam raungan tari kontemporer. Semuanya diberi ruang, sepanjang siap mempertanggungjawabkan. Sementara itu, bingkai-bingkai tema yang disodorkan juga bebas dilontarkan. Tampak tema kepahlawan, kedamaian, dan cinta banyak menjadi pilihan. Demikian pula pesan yang dituturkan masing-masing garapan semuanya ingin mengetuk kesadaran budi dan adab.

          Seni tari–kesenian pada umumnya, adalah nilai budaya yang memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Melalui ungkapan gerak estetis yang terpola, seni tari telah mengisi ruang dan waktu peradaban berbagai bangsa di dunia. Keindahan yang terungkap dalam seni tari merupakan cermin kebudayaan masyarakatnya. Kini di era modern di tengah arus globalisasi ini, seni tari juga berkembang dan mereposisi diri memperjuangkan eksistensi dirinya di tengah dinamika zaman. Tari Bali yang sudah menguak pada zaman prasejarah juga tak luput dari perkembangan dan perubahannnya. Tari yang berfungsi sakral keagamaan pun bertransformasi. Lebih-lebih pada lingkup seni tari sekuler dalam konteks wahana ekspresi estetik, perkembangan dan perubahan itu nyata terlihat, seperti telah terlihat beberapa tahun belakangan dari kampus ISI Denpasar.

Dunia tari adalah helaan nafas dan denyut nadi masyarakat Bali. Hampir dalam setiap ritual keagamaan selalu disertai dengan sajian seni tari.  Selain ungkapan seni tari sebagai persembahan, sejak awal abad ke-20–sebelum era kemerdekaan–di Bali sudah mulai menguak cipta  tari sebagai seni tontonan. Ekspresi estetik dengan bahasa gerak ini dipelopori oleh I Ketut Marya yang menciptakan tari Kebyar Duduk pada tahun 1925, I Nyoman Kaler menelorkan tari Panji Semirang dan tari Mergapati serta I Nyoman Ridet bersama I Wayan Likes melahirkan tari Tenun, semuanya pada tahun 1942. Pasca kemerdekaan, muncul nama I Gde Manik dengan tari Tarunajaya-nya pada tahun 1950 dan juga I Wayan Beratha dengan tari Tani pada tahun 1957.

          Sebelum munculnya Kokar dan ASTI (STSI-ISI)–era pendidikan formal seni pertunjukan di Bali–para kreator seni tari lahir secara alamiah dalam tempaan perjalanan hidup dan kultur lingkungan zamannya masing-masing. Mereka berkesenian semata-semata didorong oleh getaran hati tanpa berpretensi untuk mencipta dalam pengertian sekarang. I Marya misalnya yang secara internasional lebih popular dikenal dengan nama I Mario, melahirkan tari Kebyar Duduk atau tari Terompong secara tidak terencana,  yang,  secara spontanitas merespon gamelan kebyar yang baru pertama kali di dengarnya. Sebutan koreografer dalam arti pencipta atau penata tari belum begitu dikenal di Bali pada era Marya, Kaler, Ridet dan Manik.  Kendati demikian, karya cipta seniman alam itu masih kukuh monumental di tengah masyarakat masa kini.

          Pencipta tari masa kini yang kebanyakan mendapat asupan teori seni di bangku formal, justru  karya-karyanya tak banyak dikenal masyarakat. Ratusan karya cipta seni tari lahir dari buah pemikiran para seniman plus sarjana itu berseliweran gamang seakan tak kuasa menambat hati masyarakat kekinian. Bahkan hampir sebagian besar karya seni tari yang ditampilkan dalam pagelaran ujian ISI Denpasar hanya mengalaman pentas perdana saja. Sangat disayangkan, sesudah dinilai oleh tim penguji, langsung tenggelam bak disapu tsunami. Padahal bila dicermati, karya cipta tari seniman sekolahan itu banyak yang berbobot.

          Tengoklah misalnya karya tari yang dikembangkan dari pakem legong olahan Ni Nyoman Ayu Kunti Aryani bertajuk “Legong Rebab”. Melalui titik pijak inspirasi instrumen berdawai rebab, dieksplorasi secara kreatif pola koreografi tari legong dalam formulasi tari yang apik menawan, berona klasik menggigit dilantuni gamelan slonding nan bening. Simak pula tari kreasi  “Stri Wiroda” karya Made Ayu Desiari yang mengisahkan penghinaan   lahir-batin yang diterima Dewi Drupadi, saat Pandawa kalah berjudi dicurangi Korawa. Tataan koreografi dan visualisasi dramatik dari tari ini sungguh menggetarkan relung moralitas penonton.

Loading...