by admin | Dec 19, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Bagi orang Bali, wayang secara takzim disebut dengan Sanghyang Ringgit, kesenian yang mendapat anugrah dan kekuatan Hyang Widhi. Seni pertunjukan wayang kulit bukan hanya dipandang sebagai objek tontonan semata, namun sebuah nilai seni yang diwingitkan. Saat tumpek wayang—bersiklus 210 hari menurut kalender Bali—seperti halnya pada Sabtu tanggal 11 April kemarin, adalah hari keramatnya wayang Bali. Wayang dan peralatan gamelannya diupacarai nan khusuk.
Prosesi ritual terhadap kesenian itu misalnya dapat disaksikan di lumbung seni pertunjukan wayang Bali, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Di Banjar Babakan, salah satu dusun desa itu, sekitar 19 dalang dengan keluarganya masing-masing disibukkan oleh rangkaian upacara itu. Seluruh wayang dikeluarkan dari kotak wayangnya. Semuanya dibeber rapi di sanggah—pura keluarga. Dalang, para pemain gamelan gender, katengkong—pembatu dalang, bersembahyang bersama mohon dianugrahi taksu–tuah estetik.
Ditengah keperihatinan terhadap kian redupnya binar wayang kulit Bali, nafas panjang wayang terjustifikasi oleh psikoreligi ritus tumpek wayang, hari transisional terpenting yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Di salah satu kantong seni pertunjukan wayang Bali itu, doa terhadap eksistensi kesenian ini terus dipanjatkan. Kaderisasi dalang berlenggang alamiah sambung menyambung seakan tak peduli dengan kian menjauhnya penonton wayang.
Dulu, ketika budaya agraris tradisional masih kental mewarnai kehidupan orang Bali, kesenian wayang memang sempat menjadi bagian dari totalitas kehidupan masyarakatnya. Jagat wayang dicerap sebagai tuntunan dan falsafah hidup. Saripati cerita yang dituturkan tontonan wayang menjadi kiblat berprilaku. Tokoh-tokoh idolanya menjadi identifikasi diri.
Kini di tengah transformasi budaya yang sedang menggelinding dengan fenomena perubahan yang cepat dan dahsyat, seni pertunjukan wayang rupanya terdistorsi. Pamornya morosot. Interelasinya dengan masyarakat pendukungnya kian senjang. Sementara jagat wayang asyik dengan kesendiriannya, disisi lain, masyarakat pendukungnya kian gamang dengan kompleksitas kehidupannya.
Perjalanan waktu dan atmosfir zaman berdampak pada pergeseran pola berpikir, prilaku, dan keyakinan masyarakat. Kini jarang ada terdengar orang Bali yang ngotonan—peringatan hari kelahiran yang bersiklus 210 hari–atau berkaul menyelenggarakan pementasan wayang seperti dimasa-masa lalu. Sekarang juga jarang terjadi sebuah upacara perkawinan dimeriahkan dengan pementasan wayang dengan cerita “Arjuna Wiwaha” misalnya. Kini juga kian sulit menjumpai pementasan wayang dengan cerita “Bima Swarga” dalam rangkaian upacara ngaben.
Kegelisahan memang kini sedang menggayut di kalangan penggiat seni pertunjukan wayang kulit Bali. Kendati demikian, rupanya seni boneka pipih dua dimesi ini tak buru-buru dikubur. Dalang-dalang di Banjar Babakan, Sukawati, masih tabah melakoni dunianya. Bahkan lebih dari itu, mereka mencoba menggeliat. Dalang-dalang senior seperti I Wayan Nartha, I Wayan Wija dan I Made Juanda serta dalang muda seperti Bagus Bharatanatya (Juara I Lomba Dalang Remaja PKB 2013) misalnya, masih setia mengawal wayang kulit Bali.
Selain mengawal kelestarian Wayang Parwa—bersumber cerita Mahabharata–dan Wayang Ramayana—bersumber darai epos Ramayana, para seniman wayang kulit di Banjar Babakan itu memang melakukan langkah-langkah kreatif. Adalah dalang I Wayan Wija pada tahun 1980 menciptakan Wayang Tantri, wayang kulit yang bersumber dari lakon Tantri. Pada tahun 1985, dalang I Ketut Klinik menggagas Wayang Babad, seni pertunjukan wayang yang bercerita tentang kisah-kisah semi sejarah. Kedua kreasi wayang tersebut, kini cukup eksis di tengah masyarakat Bali. Secara konseptual dan pola garap, kedua kreasi wayang itu tetap anut dengan konvensi klasik wayang kulit Bali.
Tak sungkan pula mereka menghadirkan garapan wayang yang mendobrak konvensi tradisi. Beberapa dalang muda yang sempat mengenyam pendidikan formal di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ketut Sudiana dan Wayan Mardika, gelisah bereksplorasi memburu nuansa inovatif, menjajal berbagai kemungkinan, baik yang menyangkut tata konseptualnya maupun dalam implementasi pengejawantahan seninya. Elemen-elemen dari buah kemajuan teknologi seperti misalnya komputer dan LCD proyektor tak luput dimanfaatkan dan disiasati.
Para dalang Banjar Babakan itu memang telah memberi kontribusi yang signifikan bagi perjalanan seni pertunjukan wayang Bali. Secara kualitatif, reputasi para seniman wayang desa itu telah teruji dan diakui di Bali, bahkan telah unjuk kiprah dalam forum internasional. Dalang Wija dan Wayan Nartha misalnya, telah berkali-kali diundang pentas ke mancanegara. Sebaliknya, sejak beberapa tahun terakhir ini, orang-orang asing yang ingin mempelajari wayang, banyak datang berguru kepada para dalang Sukawati tersebut. Maria, pekerja teater dari Amerika Serikat, adalah salah satu murid dalang Nartha yang kini sudah sering pentas di negerinya.
Akan tetapi, realita termarginalnya seni pentas wayang di tengah masyarakat Bali sendiri, bagaimana pun juga membuat gundah para dalang Sukawati tersebut. Anehnya, kegalauan itu bukan diekspresikan dengan berpangku diri. Mereka berusaha eksis dengan gereget kreativitasnya. Dalang-dalang itu tetap tulus ngayah—pentas tanpa imbalan finansial dalam konteks upacara keagamaan. Dalang senior Wayan Nartha, 73 tahun, masih tampak bersemangat membimbing generasi muda yang ingin mengenyimpungi jagat wayang. Wayang rupanya telah menjadi totalitas ritus kehidupan mereka.
by admin | Dec 18, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Tari Pendet, belakangan tersenyum sumeringah di Pulau Dewata. Pada pertengahan dan akhir April lalu, dua kabupaten bertetangga yang merayakan HUT kotanya, Gianyar dan Klungkung, menggelar tari pendet masal. Mengambil tempat di panggung terbuka Balai Budaya, Gianyar tampil dengan 600 orang penari. Sementara itu, tak mau kalah heboh, Klungkung mengerahkan 2015 orang penari yang melenggang di perempatan kota Semarapura. Tari Pendet yang dikembangkan dari ritual mamendet dalam prosesi agama Hindu di Bali, kini menggeliat mengerling dunia.
Pada umumnya masyarakat mengenal tari Pendet sebagai tari penyambutan atau tari selamat datang. Tetapi tiba-tiba pada tahun 2009, tari yang disajikan oleh para penari putri ini, mengundang perhatian masyarakat Indonesia. Adalah negara tetangga kita, Malaysia melambungkan tari Pendet menjadi topik wacana kebudayaan internasional gara-gara promosi Visit Malaysia Year-nya yang memajang Pendet sebagai ilustrasi iklan pariwisatanya. Promosi kepariwisataan negeri serumpun tersebut mengundang tudingan sebagai penyerobot kebudayaan Indonesia. Kendati bentuk klaim Malaysia atas tari Pendet tidak jelas seperti apa kebenarannya, di sisi lain, setidaknya telah mengundang perhatian kalangan masyarakat luas–dari rakyat awam hingga presiden RI, terhadap tari Pendet.
Banyak yang beropini pendakuan tari Pendet oleh Malaysia dipicu oleh kepentingan pragmatis-ekonomis, dalam konteks ini industri keparawisataan yang memang dikelola sungguh-sungguh negeri tetangga itu dengan mempromosikan bangsanya sebagai Truly Asia. Pendet sebagai salah satu tari Bali yang sudah sangat familiar menyongsong wisatawan mancanegara, mereka pinjam tanpa permisi untuk pencitraan eksistensi nilai keindahan budaya.
Sejak tahun 1970-an, tari Pendet mulai dikenal dan dipelajari di beberapa kota besar Indonesia lewat sanggar-sanggar tari. Di Jakarta misalnya, tari kelompok ini termasuk materi dasar wajib yang diberikan kepada para peminat tari Bali. Menasionalnya tari yang dikembangkan tahun 1950-an ini juga berkat andil presiden pertama RI Bung Karno, menampilkan tari Pendet yang dibawakan oleh 1000 orang gadis-gadis Bali dalam Asian Games tahun 1962 di Jakarta. Di Bali sendiri, dalam geliat jagat pariwisata, tari Pendet sering-sering ditampilkan sebagai tari selamat datang dalam konteks pertunjukan turistik.
Sebelum dikenal sebagai tari penyambutan, pendet adalah bagian prosesi keagamaan hampir di setiap pura di Bali. Mamendet atau mendet adalah kegiatan untuk menyebut sebuah tahap upacara yang dimaknai sebagai penyambutan para dewa. Mamendet biasanya adalah tugas para pemimpin upacara atau pemangku, namun di beberapa tempat persembahan seni itu dapat dilakukan oleh siapa saja, tua muda, laki perempuan. Melalui iringan gamelan papendetan, seorang nenek misalnya bangkit spontanitas ngayah mengambil canang, dupa, pasepan lalu menari penuh ketulusan. Seorang atau beberapa pemangku juga lazim menggamit tombak, bandrangan dan atau keris menari-nari dengan lugu berimprovisasi. Bahkan bocah-bocah pun tampak sering berpartisipasi dengan keceriaanya.
Berangkat dari tradisi mamendet dalam aktivitas keagamaan itulah memunculkan kreativitas seni yang kemudian dikenal sebagai tari Pendet. Adalah seorang seniman Bali yang bernama I Wayan Rindi (almarhum) dari Banjar Lebah Sumerta sebagai penggagasnya. Belum jelas apa motivasi seniman yang pada masa remajanya dikenal sebagai penari gandrung tersohor itu menciptakan tari yang konon dibawakan pertama kali oleh penari kawakan Ni Ketut Reneng tersebut. Namun yang pasti, tari yang pada awalnya disebut Pendet Pujiastuti itu berkembang cepat di tengah masyarakat Bali. Ketika ditampilkan dalam Asian Games 1962, tari ini sempat ditata kembali oleh seniman karawitan dan tari I Wayan Beratha.
Tari Pendet ditampilkan dengan busana adat wanita tradisional Bali, memakai kain dan penutup badan serta beberapa kembang menghias rambut berurai panjang. Bokor yang penuh dengan bunga warna-warni adalah properti satu-satunya tari yang berdurai sekitar 5-6 menit ini. Melalui untaian perbendaharaan gerak tari Bali, Pendet pada intinya melukiskan wanita Bali melakukan persembahyang ke hadapan para dewa atau Hyang Widhi. Bagaimana stilisasi estetik dari khusuknya saat bersembahyang itu dilukiskan pada bagian tengah tari ini. Dalam posisi bersimpuh dengan bokor ditaruh di depan lutut, setahap demi setahap bunga diambil dan diangkat ke dada dikepit kedua jemari tangan yang terkatup, lalu dilepas ke atas. Pada bagian akhir, dalam gerakan ngumbang, bunga-bunga itu kembali disebar dengan hikmat. Dalam perjalanannya kemudian, entah atas kritik atau anjuran pihak mana, untuk menyambut turis di bandara atau di hotel, dibuat tari Pendet versi pendek, 2-3 menit, dengan menghilangkan bagian persembahyangannya.
Sekian tahun setelah kehadiran tari Pendet, ritual keagamaan yang disertai penyajian seni sakral kembali menjadi sumber inspirasi kelahiran beberapa jenis tari selamat datang pada tahun-tahun berikutnya. Setelah munculnya tari Gabor ciptaan I Gusti Raka Saba, pada tahun 1971 menguak tari Panyembrama karya I Wayan Beratha yang hingga kini masih populer, dipentaskan sebagai tari pembukaan. Jika tari Pendet, Gabor, dan Panyembrana adalah jenis tari putri, tari penyambutan yang diberi nama Puspawresti (1981) buah karya I Wayan Dibia menampilkan karakter tari putra dan putri. Era tahun 1990-an memunculkan tari Puspanjali dan tari Sekar Jagat ciptaan N.L.N Swasthi Widjaja Bandem, tari Selat Segara karya I Gusti Ayu Srinatih. Tak hanya di Bali, di Jakarta, Guruh Sukarno Putra menggarap tari (Bali) Rebong Puspa Mekar yang terinspirasi dari persembahan tari Rejang saat odalan di pura. Dari arena PKB, sebuah grup tari Bali Basundari dari Jepang juga dengan bangga menyajikan cipta tari selamat datang bertajuk Puspa Buana.
Jagat seni dapat diusung sebagai media komunikasi estetik yang dianggap sebagai gudang bersemayamnya makna-makna kebudayaan. Salah satu makna kebudayaan dunia seni adalah keselarasan dan kedamaian. Tari Pendet telah menabur kembang kedamaian ke berbagai belahan dunia. Seledet-nya–gerak mata ke kiri dan ke kanan dalam tari Bali–telah mengerling masyarakat mancanegara dari California hingga Tokyo. Sekar Jaya, sebuah grup tari dan gamelan Bali yang beranggotakan orang-orang Amerika, sejak tahun 1980-an telah pasih menarikan dan memainkan iringan tari Pendet. Di Tokyo, para seniman Jepang yang tergabung dalam grup tari dan gamelan Bali Sekar Jepun kini juga telah sering mementaskan tari selamat datang asal Pulau Dewata itu.
Keberadaan tari Pendet berpijak dari ritual keagamaan yang ditata menjadi ekspresi artistik dalam sanggaan nilai estetika, etika, filosofis agama Hindu masyarakat Bali. Karenanya, Bali tak akan mungkin kehilangan tari Pendet, lebih-lebih akar dan sumber inspirasinya masih amat kokoh sebagai ritus yang dikawal secara takzim. Sebagai seni tari sub kebudayaan Indonesia, tari ini telah menjadi jembatan toleransi kemajemukan ekspresi kebudayaan kita. Sebagai sebuah nilai estetik dan kultural Nusantara, tari Pendet telah mengerling dunia, menyemai komunikasi universal dengan bangsa-bangsa sejagat.
by admin | Dec 18, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Pada suatu hari, tahun 1950, sebuah cipta seni tari ditampilkan di depan Bung Karno dan tamu-tamunya di sebuah hotel di Denpasar. Presiden I Republik Indonesia yang dikenal sebagai penyayang seni itu tak menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang begitu energik dengan dukungan tatabuhan gamelan yang gegap membuncah itu. Soekarno sangat mengagumi totalitas dan vitalitas sajian tari tunggal tersebut. Presiden yang berdarah Bali itulah yang kemudian memberi nama seni tari ciptaan I Gede Manik dari Desa Jagaraga, Buleleng, ini dengan sebutan Tarunajaya, taruna yang digjaya.
Tari Tarunajaya memang adalah karya tari unggul yang masih mempesona, sering dipentaskan hingga hari ini. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan masih menggugah. Cipta tari yang cikal bakalnya menguak dari Bali Utara sebelum zaman kemerdekaan itu, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Tari yang lazim dibawakan oleh penari wanita itu masih konsisten menunjukkan energisitasnya di tengah kompleksitas kehidupan. Tarunajaya dapat dipandang sebagai representasi dari konsistensi semangat pemuda Bali dalam rona artistik. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Hayatilah, betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya.
Dibandingkan dengan tari sezamannya, Tarunajaya masih menunjukkan kedigjayaannya. Kini di usianya lebih dari setengah abad, tari Tarunajaya ternyata tetap monumental. Di sekolah dan institut seni dan sanggar-sanggar seni, tari ini diteruskan dari generasi ke generasi. Energisitas tari ini juga tak bosan-bosan ditampilkan dalam lomba-lomba tari Bali. Yang mengagumkan, daya pesonanya di tengah masyarakat tak pernah redup, tetap berbinar-binar. Pementasan seni kebyar sebagai balih-balihan saat odalan di pura misalnya, sering mempersembahkan sajian tari Tarunajaya. Di arena PKB, beberapa grup seni pertunjukan yang menguguhkan tari kreasi atau seni kebyar, banyak yang menjadikan Tarunajaya sebagai nomor pamungkas yang mampu memukau penonton. Padahal tari yang dibalut dengan busana perada meriah itu mungkin sudah berkali-kali disaksikan.
Cikal bakal munculnya tari Tarunajaya didahului oleh hadirnya tari Kebyar Legong. Tersebutlah seorang seniman dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng yang bernama I Wayan Paraupan atau Pan Wandres. Pada tahun 1915, seniman tabuh dan tari tersebut menciptakan sebuah tarian yang dibawakan oleh dua orang penari. Elemen-elemen yang dijadikan konstruksi tari yang berdurasi panjang itu merupakan kombinasi tari Baris, Jauk, dan Legong. Tak jelas, apakah karena ada penggalan pengawak Legong-nya yang menyebabkan tari ini disebut Kebyar Legong. Yang pasti tari ini sejak awal memang diiringi dengan Gong Kebyar, gamelan yang kini hampir dimiliki oleh setiap banjar atau desa di Bali.
I Gede Manik, bersama pasangannya, Mangku Ongka, adalah penari pertama dari tari Kebyar Legong. Pada tahun 1925, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik yang belum diberinya nama itu–saat disaksikan pertama kali oleh presiden Soekarno–diberi nama Tarunajaya. Manik menerima dengan bangga.
Bersama tari Kebyar Duduk atau Kebyar Terompong yang diciptakan I Ketut Marya, tari Tarunajaya karya Gede Manik mengibarkan sejarah baru seni pertunjukan Bali yaitu euporia Gong Kebyar yang menggelinding dari Bali Utara dan merebak hingga ke seluruh Bali. Tari Kebyar Duduk dan Tarunajaya adalah sebuah inovasi seni pentas yang berpengaruh besar terhadap kesenian Bali pada umumnya, khususnya dalam seni tari dan karawitan. Konsep artistik seni kebyar kemudian berlaku umum dalam paradigma berkesenian dan dunia penciptaan seni pentas di Bali. Dan, tari Tarunajaya adalah sang maskot.
Ketika Tarunajaya bertransformasi dari Kebyar Legong yang kemudian bergulir di tengah masyarakat, sudah pasti mengalami perubahan-perubahan, variasi, dan pengkristalan di beberapa komunitas. Namun yang tetap tampak membumbung dalam tari ini adalah kegairahan yang membuncah, ekspresi lugas dan lagak nan tangkas, serta berona humanis-romantis. Keseluruhan struktur koreografi tari ini dan komposisi musik pengiringnya, saat pementasan, menggiring penonton untuk tidak mengalihkan perhatian.
Di tengah kehidupan masyarakat masa kini yang demikian kompleks, tari Tarunajaya masih mampu mencuri perhatian penonton. Bagi generasi muda Bali, kandungan semangat, keuletan, sikap tahan banting yang disundut tari ini patut disimak, dijadikan inspirasi, dan diteladani. Mungkin, bagi masyarakat Bali pada umumnya yang dikenal sebagai penyayang seni, keindahan yang membinar dalam tari ini dapat membangun pencerahan diri. Khusus, bagi kreator tari dan karawitan masa kini, eksistensi tari Tarunajaya dapat menjadi cambuk untuk mengibarkan kejayaaan seni pertunjukan Bali, di masa kini dan ke depan.
Belakangan ini, tari Tarunajaya menerjang girang di seluruh penjuru Bali. Membumbungnya tari ini berkaitan dengan perayaan 100 tahun seni kebyar—seni kebyar lahir tahun 1915. Dalam PKB 2015, program pagelaran seni kebyar diberi porsi besar. Parade gong kebyar se-Bali yang menjadi salah satu pentas unggulan PKB, menjadikan tari Tarunajaya sebagai sajian tari pilihan. Oleh karena itu, tampak persiapan masing-masing duta gong kebyar kabupaten/kota cenderung lebih kepincut untuk menampilkan tari Tarunajaya.
Pekan seni dan olahraga pelajar (Porsenijar) se-Bali 2015 yang juga berlangsung pada bulan-bulan awal tahun ini sangat afdol bila memprogramkan tari Tarunajaya dan tari-tarian kebyar lainnya dalam materi lomba seni tarinya. Selain dapat menjadi wahana melibatkan generasi muda mengapresiasi seni kebyar yang telah mendunia, juga melalui gelora yang dikobarkan dalam aspek estetiknya dan pesan moral yang dilontarkan Tarunajaya—jagat seni pada umumnya–dapat mengisi sudut-sudut kekosongan batiniah generasi muda masa kini untuk berevolusi bahkan memancangkan revolusi mental, membenahi moralitas destruktif yang mendera dan mencederai harkat dan martabat bangsa kita ini.
by admin | Dec 17, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah diskusi bertema “Menakar Nasib Seni dan Seniman Bali” berlangsung hangat di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Selasa (8/12) siang lalu. Penyelenggaraan diskusi atas kerja sama anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI Gede Pasek Suardika, SH,MH dengan pihak ISI itu berlangsung hangat. Mengerucut opini dari para peserta diskusi yaitu belum maksimalnya peran negara pada jagat seni dan seniman. Keberpihakan negara atau pemerintah pada nasib seni dan seniman masih memperihatinkan, yang, sudah seharusnya memberikan pengayoman yang setimpal dengan kemuliaan dan keadaban yang telah dipersembahkan jagat seni dan seniman kepada negara.
Di masa lalu, negara dalam representasi kerajaan menunjukkan perannya sebagai pelindung seni dan seniman yang cukup penting. Pengayom seni dan seniman pada era feodalisme ini memiliki perhatian dan respek yang besar bagi eksistensi jagat kesenian. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para seniman didukung oleh tradisi perlindungan seni. Juga harus diakui tak sedikit cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan oleh system maesenas alias pelindung seni dan seniman.
Sejatinya, kedermawanan kepada seniman dan seni adalah dedikasi yang luhur. Betapa tidak. Banyak seniman berbakat dapat menyalurkan segala kemampuan yang dimilikinya karena simpati positif dari sang maesenas. Tak sedikit masterpiece yang menjadi kebanggaan dunia disebabkan oleh kebiasaan memberikan motivasi semangat dan materi dari para dermawan seni. Demikian pula andil para sponsor seni dalam pemeliharaan dan pelestarian ekspresi atau wujud-wujud karya seni.
Kedermawanan dan perlindungan terhadap seni dan seniman Bali dengan jelas dapat kita tarik dari masa keemasan raja-raja. Ini dapat direntang antara abad ke 16-19 pada pemerintahan Dalem Waturenggong (1416-1550), Dalem Bekung (1550-1580), Dalem Sagening (1580-1665), Dalem Dimade (1665-1685). Diduga kuat bahwa seni pertunjukan Bali seperti Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong Kraton dan seni klasik lainnya tumbuh dan berkembang pada era itu dengan gaya sponsor para penguasa saat itu. Demikian juga yang terjadi pada bidang kesenian lainnya seperti seni rupa, sastra, arsitektur dan lain-lainnya.
Kesenian pada masa itu bukan hanya sebagai hiburan atau bagian ritual semata, namun juga berdimensi politis dan prestise. Maka tak mengherankan bila setiap kraton atau puri memiliki tempat khusus untuk memajang atau mempertunjukan kesenian kebanggaannya sepertinya adanya bale pagambuhan misalnya. Para seniman menjadi insan yang sangat penting dan dibanggakan, dipuji, disayangi, dilindungi, diberikan gaji dan gelar bahkan dijamin masa tuanya.
Drama tari Gambuh yang dianggap sebagai sumber tari Bali rasanya tak mungkin memiliki kualitas seni dan nuansa klasik seperti itu tanpa ada campur tangan dan perlindungan kaum bangsawan. Kisah-kisah yang dituturkan Gambuh adalah romantika disekitar kaum bangsawan yang berisi puji-pujian terhadap para leluhur mereka, keluarga keraton. Lalu, tata penyajian drama tari ini sangat protokoler yang mencerminkan budaya keraton. Karenanya, teater tari yang pernah jadi primadona keluarga puri ini tentu mengalami pengayoman yang begitu asih dari elite penguasa. Kompleksitas ketatnya penyajian tari, sastra dan musiknya jelas mengalami masa perlindungan yang serius dan panjang. Dan para senimannya dari generasi ke generasi tentu juga adalah orang-orang yang dekat dengan pusat kekuasaan dan tokoh-tokoh terpandang di tengah masyarakat.
Respek dan kedermawanan terhadap seni dan seniman pada era kejayaan raja-raja dulu dapat pula kita kaji dari eksistensi lukisan gaya Kamasan. Gaya lukisan tradisional Kamasan meskipun pada mulanya adalah “lukisan kaum sudra”, namun sebagai akibat dari patronisasi para bangsawan kerajaan Klungkung terserap menjadi kesenian tradisi agung dari pusat kerajaan di Klungkung. Para maesenas pada zaman kejayaan kerajaan Klungkung selain bangsawan adalah juga para sastrawan yang mumpuni dalam hal agama dan kesenian klasik.
Hanya sayangnya, lehadiran kolonialisme yang menyebabkan berkurangnya bahkan hilangnya kekuasaan dan harta benda kaum bangsawan berpengaruh terhadap perhatian dan kedermawanan mereka terhadap seni dan seniman. Walau masih ada beberapa kaum bangsawan berusaha respek terhadap seni dan seniman namun hanya mampu sebatas apresiator atau pengagum saja. Sebagai dermawan yang memberikan jaminan hidup kepada seniman, mantan penguasa itu tak punya daya dan biaya lagi. Terjadilah kekosongan maesenasisme di Bali.
Kokosongan perlindungan seni dan seniman pasca zaman kerajaan tersebut mengalihkan perkembangan kesenian Bali ke tengah rangkulan masyarakat luas. Mantan seniman istana yang tak mutlak lagi dibawah pengayoman puri dan memiliki dedikasi tinggi terhadap kesenian menjadi pilar-pilar pengembang kesenian yang berpengaruh. Ini berarti wajah maesenas yang tadinya individual menjadi kolektif (masyarakat). Seni dan seniman Bali mendapat perlindungan dari masyarakat dalam wadah sekaa-sekaa kesenian. Baru sejak zaman kemerdekaan, negara atau pemerintah mulai unjuk perhatian, misalnya mendirikan sekolah seni. Idealisme Gubernur Bali Ida Bagus Mantra menggelindingkan Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1979, menjadi salah satu wahana yang mencerahkan dunia seni dan arena berekspresi seniman Bali. Namun demikian, geliat seni dan kehidupan seniman masa kini tampaknya belum merasakan pengayoman kasih tulus dan kepedulian negara seperti pada masa lampau. Kenapa negara atau pemerintah kita terkesan kurang peduli dengan harkat seni dan martabat seniman sang pengawal jati diri bangsanya?
by admin | Dec 17, 2015 | Artikel
Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)
Sebuah sajian tari kontemporer menambat perhatian penonton pada akhir Mei lalu. Kamis (28/5) malam lalu, para penonton yang memadati pagelaran ujian akhir di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, menyimak penuh antusias karya seni tari bertajuk “Di Balik Boneka”. Dibawakan oleh sepasang penari putra dan putri, tari yang bergulir sekitar 13 menit tersebut menggiring penonton pada fantasi cinta seorang gadis dalam bingkai estetika seni tari yang menggugah, apik, dan unik. Ya, sebuah garapan tari kontemporer yang mengena, terkesan sederhana namun membuat hati terpana.
Tema cinta yang diusung garapan tari ciptaan Anak Agung Istri Inten Pradnyandari ini kisahnya sederhana, yaitu tentang fantasi seorang gadis kepada seorang laki-laki penjaga toko boneka. Namun kesederhanaan kisah ini mampu dituturkan secara naratif dalam ancangan kompleksitas koreografi yang menawan. Kedua orang penari, Inten Pradnyandari sendiri dan Anak Agung Gede Dalem Segara Putra, menunjukkan totalitasnya merangkai laku gerak tubuh, menjelajah ruang dan meniti waktu dalam sinergi dan interaksi yang padu. Imajinasi keindahan cinta sang gadis berpadu mesra dengan rona estetis kontemporer tata garap tarinya.
Ruang untuk merambah tari kontemporer dibuka lebar dalam ujian seniman akademis di ISI Denpasar. Gung Is, demikian sapaan akrab koreografer muda itu, memilih bentuk tari kontemporer, bersama sejumlah temannya. Sebuah pilihan yang kurang populer, jika dibandingkan menggarap cipta tari dengan sumber pijak kreasi dari seni tradisi. Sebab di tengah jagat berkesenian di Bali, garapan seni kontemporer, termasuk dalam dunia seni tari, hingga kini masih megap-megap keberadaannya. Penonton, masyarakat Bali pada umumnya, belum begitu banyak melirik aksi-aksi tari kontemporer. Simaklah di arena PKB, pementasan garapan seni pertunjukan kontemporer, kalau ada, tidak begitu diperhitungkan.
Diperhitungkan atau tidak, di ISI Denpasar, tari kontemporer tak pernah henti menggeliat. Dalam setiap pagelaran ujian akhirnya, baik untuk strata S1 maupun S2, tidak sedikit mahasiswanya bergairah menampilkan tari kontemporer. Pradnyandari, salah satunya, dengan ciptaannya “Di Balik Boneka” seperti ingin menyapa penonton agar bersemangat mengapresiasi tari kontemporer. Tampaknya, sapaan Gung Is tak bertepuk sebelah tangan. Garapan tarinya banyak menuai pujian penonton. Artinya, tari kontemporer besutannya layak simak, menarik plus komunikatif.
Mempergunakan iringan sejumlah alat musik modern seperti keyboard, havy, biola, frogy dan chime yang ditata oleh I Wayan Diana Putra, S.Sn, M.Sn, “Di Balik Boneka” bergulir dengan kisah kehadiran seorang gadis di sebuah toko boneka, berharap bersua dengan pemuda penjaga toko yang telah menambat hatinya. Ketika sang pria muncul, si gadis berpura-pura menjadi boneka menggenggam boneka kecil. Kepintaran si gadis menjadi boneka mengundang rasa penasaran penjaga toko yang seakan dipermaiankan oleh salah satu boneka jualannya. Kesal dengan ulah boneka yang tak diketahuinya adalah seorang gadis yang jatuh cinta padanya, pria penjaga toko marah, merebut boneka kecil dari sang gadis hingga robek berkeping-keping.
Memakai asesories kepala, baju, dan sepatu berwarna pink, sang gadis hadir di tengah panggung di atas kursi panjang. Untaian geraknya berkelebat di sekitar kursi mengekspresikan kegelisahan dan harapan untuk segera bertemu dengan pria penjaga toko. Sang pria, menggunakan bareta, celana panjang, dan sepatu, berinsut hadir melangkah dalam beberapa sepakan gerak menghampiri lemari pajangan bonekanya. Selanjutnya kedua penari dalam penokohannya masing-masing, dengan bahasa ragawi, berungkap simbolik, maknawi, stailistik merangkai adegan per adegan, menyembur lembut, elastis, gesit, lugas, akrobatis, kocak, dan menggemaskan.
Tari kontemporer “Di Balik Boneka” menunjukkan kebebasannya merangkum beragam estetika gerak. Namun tampaknya Gung Is terlihat dominan mengeksplorasi tari ballet dan dansa latin walls. Gerakan serempak dan gerakan seimbang yang diperagakan kedua penari tampak rapi dengan selingan desain gerak herisontal, vertikal, dan kontras yang begitu terukur proporsinya, menjadikan garapan tari ini tampil memukau. Bagian adegan tari humoristik, ketika pria penjaga toko menggotong dan memindahkan berkali-kali si gadis boneka, mengundang gelak dan senyum simpul penonton. Keseriusan tari kontemporer yang dipersepsikan selama ini menjadi ringan menyegarkan. Malam itu, tari “Di Balik Boneka” mampu membalik pandangan para penonton.
Penonton kita memang perlu lebih diperbanyak menyimak letupan-letupan seni dari jagat tari kontemporer. Gung Is dengan tari “Di Balik Boneka”-nya telah berhasil mencuri perhatian masyarakat penonton untuk mengapresiasi ekspresi seni dengan gaya ungkap kontemporer. Memang, bentuk-bentuk ekspresi seni kontemporer, cenderung hanya hadir dan diterima dengan kementaraannya, namun sejatinya ia (seni kontemporer) memancarkan makna kultural dan bahkan bisa menorehkan sejarah seni budaya yang fenomenal. Tari kontemporer “Di Balik Boneka” telah terpajang manis di ruangan segar rumah seni kita.