Oleh Ketut Sumadi
Keanekaragaman kebudayaan Indonesia yang didukung oleh 931 etnik, 600-an bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural (Mulyana, 2005 : 9), maka dalam proses interaksi sebagai bagian dari negara kesatuan antar etnik tersebut diperlukan sebuah toleransi yang tinggi terhadap keberadaan kebudayaan satu etnis dengan etnis yang lainnya dalam kerangka nasionalisme kebangsaan, sebuah ideologi transetnis yang menjadi cita-cita bersama. Toleransi inilah yang nantinya bermuara pada konsep adaptasi budaya sebagai sebuah out put yang bijaksana dan bebas konflik.
Konsep adaptasi sangat berkaitan dengan persoalan lingkungan sebagai kunci dalam orientasi ekologi budaya. Adaptasi sering diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Mustahil berpikir tentang adaptasi tanpa mengacu pada sesuatu lingkungan tertentu (Kaplan,1999:112). Dalam masyarakat multietnik maka kecenderungan proses adaptasi budaya ini semakin tinggi, sebab mobilitas penduduk antaretnis sangat tinggi. Konsep adaptasi ini adalah sebuah proses penyesuaian suatu budaya terhadap budaya lainnya, dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Adaptasi budaya antaretnis di Indonesia, saat ini mengharuskan kita untuk melihat perspektif kemajemukan dan adaptasi tersebut dalam konteks daerah atau lokal, nasional dan internasional atau lintas negara. Kemajemukan dan adaptasi antaretnis pada tingkat lokal pada umumnya terdapat di daerah perkotaan, khsususnya kota-kota besar. Kemajemukan ini disebabkan oleh terpusatnya kegiatan ekonomi, politik, industri terutama industri berteknologi tinggi, pusat kekuasaan/pemerintahan dan sebagainya. Sebagai konsekuensi dari tersentralisasinya segala kegiatan seperti itu, maka jumlah urbanisasi menjadi sangat tinggi dan sulit untuk membendungnya di samping itu kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras). Kota merupakan pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan dan pengobatan, kegembiraan, daya tarik dan “kemajuan”; sebaliknya daerah pedesaan dipandang sebagai tempat cara pandang kedaerahan, takhayul, kebodohan dan kefanatikan (Horton dan Chester L. Hunt,1989:151 dalam Dwija, 2007: 20).
Semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila, lambang Negara Indonesia, tidak bisa terbantahkan keampuhannya mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Budayawan Muji Sutrisno dan Taufik Rahzen dalam Dialog Budaya (Metro TV: 2006) yang selalu menjadikan Bali sebagai contoh studi kasus dalam pembicaraannya tentang multiculture dan culture studies. Muji Sutrisno misalnya, menyebut konsep kearifan lokal desa, kala, patra dari Bali sebagai konsep tentang tempat, ruang dan waktu, bisa sejalan dengan pemikiran culture studies yang melahirkan sikap saling menghargai keragaman budaya dan mengembangkan sikap toleransi untuk saling memahami makna budaya masing-masing daerah. Selain itu, orang Bali juga memiliki beberapa konsep untuk menjalin hidup bersama, saling menghormati, dan menghargai satu sama lain, seperti tat twam asi, menyama braya, sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya.
Taufik Rahzen lebih berani menyebut Bali sebagai model tempat persemaian budaya global tanpa menggilas budaya lokal. Pendapatnya ini didasari atas hasil pengamatannya tentang teguhnya masyarakat Bali mempertahankan tradisi seperti ritual yang hampir tiada putus-putusnya. Disamping mengutif hasil penelitian orang asing yang mengadakan penelitian di tiga tempat yakni New York, Papua, dan Bali, dalam kaitannya dengan teroris dan tragedi bom di Bali Oktober 2002. Ternyata, dibanding New York dan Papua, masyarakat Bali memiliki respons budaya yang sangat unik untuk bangkit dari tragedi, yakni bangkit dengan kearifan lokalnya, dalam bentuk ritual, perenungan ke dalam diri dan tidak balas dendam. Sedangkan masyarakat New York dan Papua lebih memilih membela diri dengan balas dendam lewat invasi perang. Ini terlihat dari invasi militer Amerika dan sekutunya ke negara-negara yang diduga sebagai sarang teroris, sedangkan di Papua terjadi perang suku.
Kasus menarik patut dilirik aktivitas Sanggar Tari Lokananta di Banjar Mukti Singapadu, Sukawati, Gianyar yang berdiri tahun 2001. Jumlah anak-anak yang belajar menari di sanggar ini tercatat 180 orang, namun yang aktif bisa mengikuti pelatihan setiap minggu dua kali yakni pada hari Jumat dan Minggu sore sekitar 100 orang. Yang tidak aktif karena banyak ikut kegiatan di sekolah, tapi jika mereka akan pentas atau ngayah menari, biasanya mereka minta jadwal berlatih secara khusus.
Di Sanggar Tari Lokananta ternyata tidak hanya diberikan pelatihan menari Bali, tetapi juga diberikan pelatihan tari-tarian etnis dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Ketua Sanggar Tari Lokananta, I Wayan Sutirtha, SSn, apresiasi seni etnis multikultur itu diberikan kepada anak-anak agar mereka lebih mengenal seni budaya yang beranekaragam di Indonesia. “Kami sejak dini ingin menanamkan semangat multikulturalisme, semangat saling menghormati dan menghargai seni budaya berbagai daerah di Tanah Air, sebagai ilmpelementasi dari konsep “Ajeg Bali” dan memperteguh Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkap Sutirtha yang juga dosen ISI Denpasar ini. (Bali Post, 4 Februari 2007).
Kondisi bangsa yang memprihatinkan ini memang telah menjadi wacana hangat belakangan ini. Banyak orang, para seniman termasuk Wayan Sutirtha, tergerak melakukan sesuatu untuk menyelematkan bangsa dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Sebagai seniman tari yang telah beberapa kali mengantar Kabupaten Gianyar meraih juara satu dalam bidang tari kreasi pada Pesta Kesenian Bali, I Wayan Sutirtha kini mengajak anak-anak yang tergabung di Sanggar Tari Lokananta mencintai kebudayaan bangsanya melalui seni tari. “Kekayaan budaya Nusantara itu harus dikuasai oleh anak-anak kita, agar mereka menjadi insan yang mampu hidup penuh toleransi dan saling menghormati, menembus batas etnis serta lapisan sosial,” katanya.
Namun untuk menumbuhkan semangat multikulturalisme dan memahami budaya orang lain di kalangan anak-anak melalui kegiatan berkesenian, memang tidak mudah. “Diperlukan kesabaran dan ketekunan melatih mereka, karena olah tubuh dalam gerakan tarian itu masih asing, di samping itu mereka belum memahami nilai-nilai luhur yang ada dalam tarian itu,” ungkap Sutirtha serius. Syukurnya, anak-anak memiliki talenta seni yang bagus, sehingga gerakan tarian akhirnya bisa dikuasai meskipun kurang sempurna, seperti penari dewasa.
Dalam tahap awal pengenalan tari Nusantara itu, Wayan Sutirtha yang mendirikan sanggar tari sejak enam tahun yang lalu bersama istrinya, Dwi Wahyuning Kristiansanti, S.Sn, anak-anak diberikan Tari Saman, sebuah tarian dari Daerah Aceh yang gerakannya sangat dinamis dengan suasana ceria. “Tarian ini sangaja dipilih, sekaligus kita ingin mengajak anak-anak memberi dukungan semangat dan moral kepada anak-anak di Aceh yang ditimpa bencana gempa dan tsunami,” ungkap Sutirtha. Di samping itu, anak-anak dilatih Tari Rantak, sebuah tarian daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian ini mendapat inspirasi dari gerakan Pencaksilat yang tangkas, cekatan, dan penuh sukaria, sehingga cocok bagi perkembangan dan jiwa anak-anak gemar bermain dan periang. “Untuk melatih dua tarian ini perlu waktu cukup panjang, agar mereka tidak hanya hafal gerakannya, tetapi juga memahami budaya Aceh dan Minangkabau untuk menambah pengetahuan budaya yang mereka dapatkan di bangku sekolah,” ujar Sutirtha, ayah dua putra ini.
Tari Saman dari Daerah Aceh, dan Tari Rantak dari daerah Minangkabau, Sumatera Barat, yang dipersembahkan pada puncak perayaan Hari Ulang Tahun Sanggar Tari Lokananta ke-6, tanggal 28 Januari 2007, di samping tari Bali berupa Tari Kukus Arum dan Tari Cak Sunda-Upasunda, merupakan salah satu wujud dari proses belajar anak-anak yang panjang dalam mengapresiasi estetika etnis multikultur di Indonesia. Karena itu, tema yang diusung pada peringatan pada Hut ke – 6 Sanggar Tari Lokananta itu yaitu “Dengan Semangat Multikultural, Kita Bersatu dalam Aktivitas Seni Budaya Menuju Ajeg Bali dan Keutuhan NKRI “. Tema ini kedengarannya memang sangat bombastis, tetapi dalam perspektif kajian budaya, kita patut memberikan dukungan dan semangat, bahwa Sutirtha dan anak didiknya telah berbuat yang terbaik demi bangsa dan negara. Meski belum berjalan sempurna, proses belajar apresiasi estetika model Sanggar Tari Lokananta ini patut ditiru dan disebarluaskan.