Oleh: I Made Berata (dosen PS Skriya Seni)
Menyimak kata ”Pis Bolong” terasa aneh bagi kebanyakan orang, oleh karena ”pis bolong” adalah sebutan lain dari uang kepeng Cina dalam bahasa Bali. Pis berarti ”uang” dan ”Bolong” adalah lubang; maksudnya uang kepeng yang memiliki lobang segi empat. Uang kepeng ini merupakan pengaruh kebudayaan Cina, yang menjadi petanda hubungan Cina dengan Bali pada zaman kekuasaan dinasti Ming dan dinasti Tang. Dalam kebudayaan Hindu uang kepeng Cina ini digunakan sebagai sarana upacara keagamaan, seperti arca yang merupakan pengejawantahan dewa Khayangan, wakul, pelengkap sesaji yang disebut sarin canang, dekorasi dan sebagainya.
Bermacam bentuk dekorasi dan arca sarana upacara keagamaan tersebut di atas, mengilhami inspirasi beberapa perajin di banjar Pande desa Kamasan mengembangkan seni kerajinan pis bolong. Seni kerajinan pis bolong atau uang kepeng adalah seni kerajinan yang menggunakan material uang kepeng sebagai bahan dasarnya.
Penggunaan Pis Bolong sebagai material seni kerajinan merupakan salah satu upaya konservasi dan pengembangan budaya Bali, serta mengantisipasi pis bolong asli (pis bolong dari Cina), yang keberadaannya semakin langka. Khususnya di Bali, pis bolong sangat diperlukan oleh masyarakat hindu untuk kepentingan upacara yadnya, karena hampir disetiap upakara mempergunakan pis bolong yang menurut keyakinan masyarakat Hindu mengandung signifikansi simbolis.
Menurut tokoh agamawan/sulinggih Ida Pedanda Sidemen menjelaskan, pada masa kedatangan Majapahit di Bali beredar pis bolong asli dari Cina, yang
dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah (uang kartal) dan digunakan untuk sarana upakara dalam pemujaan oleh umat Hindu. Ketika Belanda mulai menguasai Bali yang ditandai dengan jatuhnya kerajaan Buleleng pis bolong tidak diberlakukannya lagi sebagai uang kartal, namun pis bolong ini tidak ditarik dari peredarannya, karena masyarakat hindu masih menggunakan sebagai sarana upakara (Sidemen, 2006: 51).
Perkembangan berikutnya, pis bolong ini digunakan untuk material seni kerajinan, bahkan setelah tahun 1970 an ketika meroketnya kunjungan wisatawan manca negara ke Bali, serta diperhatikannya sektor kerajinan oleh pemerintah (Michel Picard, 2006: 31), penggunaan pis bolong sebagai material seni kerajinan semakin meningkat pula. Dengan semakin banyak jumlah keteng pis yang diperlukan, sehingga keberadaan pis bolong menjadi semakin berkurang, yang berakibat pada kesulitan para perajin dalam mencari dan menyediakan material. Para seniman dan perajin dalam penggunaan pis bolong sebagai media karya seni, awalnya ada yang menggunakan pis bolong asli (Cina) dan ada pula perajin yang menggunakan pis bolong tiruan, sesuai dengan permintaan konsumen.