I Made Bayu Pramana, fotografer yang juga dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar meraih IPK tertinggi pada program Pengkajian Seni (S2) dengan nilai IPK 3.88. Hal tersebut terungkap pada acara Yudisium ke VIII Semester Ganjil Tahun Akademik 2017/2018 Program Pascasarjana S2 Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Denpasar, Selasa (13/2). Selain Bayu Permana, lulusan IPK terbaik
I Made Bayu Pramana, fotografer yang juga dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar meraih IPK tertinggi pada program Pengkajian Seni (S2) dengan nilai IPK 3.88. Hal tersebut terungkap pada acara Yudisium ke VIII Semester Ganjil Tahun Akademik 2017/2018 Program Pascasarjana S2 Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Denpasar, Selasa (13/2).
Selain Bayu Permana, lulusan IPK terbaik juga diraih oleh Ni Putu Emilika Budi Lestari jurusan TV Film, dengan IpK 3.83, disusul I Wayan Adi Putra Yasa jurusan, DKV dengan IPK 3.79. Kali ini, Program S2 Pasca Sarjana ISI Denpasar meluluskan 7 orang karya siswa dari tahun 2013-2018.
Ketua Program Pasca Sarjana S2 ISI Dr I Ketut Sariada mengatakan, yudisium tahun ini merupakan semester ganjil tahun 2018 diikuti oleh 7 orang karya siswa dari tahun 2013-2018 Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni (S2). Mereka merupakan mahasiswa terbaik. Dengan begitu, Program Pascasarjana ISI Denpasar telah memiliki 161 Wisudawan. “Perkuliahan ini ditempuh minimal 4 Semester (2 Tahun) maksimal 8 Semester (4 Tahun),” ucapnya.
Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha mengatakan, yudisium adalah proses akademik yang menyangkut penerapan nilai dan kelulusan mahasiswa. Yudisium juga berarti pengumuman nilai kepada mahasiswa sebagai proses penilaian akhir dari seluruh matakuliah yang telah diambil mahasiswa. Dan penetapan nilai dalam bentuk transkrip akademik, serta memutuskan lulus atau tidaknya mahasiswa dalam menempuh studi selama jangka waktu tertentu. “Semua persyaratan Yudisium wajib ditaati oleh seluruh peserta Yudisium,” imbuhnya.
Dalam suasana sumringah itu, Bayu Permana mengaku bahagia dengan capaian itu. Hal itu juga menjadi tantangan sebagai seorang fotografer sekaligus dosen. Belajar dan belajar lagi terutama menulis seni yang menjadi keharusannya. “Saya akan lebih banyak belajar menulis tentang seni, fotografer seni, termasuk mengkritisi seni. Apalagi di Bali orang yang menekuni kritik seni sangat jarang, bahkan khususnya fotografi belum ada sama sekali menjadi kritik seni fotograger,” ucapnya.