Kiriman : Nyoman Lia Susanthi, SS., MA (Dosen Ps. Film dan Televisi ISI Denpasar)
Foto : Made Rai Kariasa, S.Sos
Peragaan dan pementasan seni budaya 2014 yang bertajuk Bali Mandara Mahalango berlangsung dari tanggal 13 Juli 2014 sampai 28 Agustus 2014. Bali Mandara Mahalango yang mengangkat dinamika seni budaya menuju kesejahteraan kemajuan dan keagungan peradabana Bali akan ditutup oleh garapan oratorium dari ISI Denpasar. Dalam mengemban kepercayaan ini ISI Denpasar dibawah komando Pembantu Rektor IV ISI Denpasar, I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn telah berupaya melakukan latihan secara rutin. Persiapan diawali dengan latihan secara sektoral kemudian baru latihan secara menyeluruh.
Dalam penutupan, ISI Denpasar akan menampilkan oratorium Pemerintah Provinsi Bali yang berjudul “Bali Ning Nusa” (Bali Mandara). Garapan ini mengisahkan Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih memadu cinta asmara di bumi. Dewa siwa menilai prilaku dewa dewi itu tidak pantas. Dewa Siwa menghukum sejoli itu hidup sebagai manusia di Mayapada dengan nama Kama dan Ratih. Selama menjalani hukumannya, Kama dan Ratih, harus mengekang cinta asmaranya, dan jika melanggar, keduanya akan mendapat hukuman yang lebih berat. Kama dan Ratih memilih pulau Bali sebagai tempat menjalani hukumannya. Kama dan Ratih mengembara melewati zaman prasejarah, zaman bali kuno, zaman kerajaan hingga zaman modern. Setelah Bali dalam keadaan aman, damai, sejahtera (Mandara), Kama dan Ratih dipanggil kembali Dewa Siwa menuju kahyangan sebagai Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih.
Oratorium ini terdiri dari 4 babak yaitu babak I adalah prolog menggambarkan percintaan Dewa Kamajaya dengan Dewi Ratih. Kemudian Dewa Siwa menghukum keduanya untuk tinggal di bumi sebagai manusia. Dewa kamajaya dan Dewi Ratih diturunkan di pulau Bali pada zaman prasejarah melalui tari Sanghyang. Dewa Kamajaya menjadi Kama melalui Sanghyang Jaran dan Dewi Ratih turun dengan nama Ratih melalui Sanghyang Dedari.
Babak II melukiskan Bali zaman kuno, dimana keadaan yang aman tentram dimana masyarakat Bali hidup nyaman dibawah perlindungan dewata. Tetapi penguasa zalim yang bernama Mayadanawa menghancurkan kereligiusan itu. Dewa Indra datang menumpas kecongkakan dan kesewenang-wenangan Mayadenawa.
Babak III mengisahkan Bali dalam era kerajaan, dimana keadaan pulau Bali yang damai di bawah pengayoman para raja yang arif bijaksana. Namun kehancuran kemudian datang ketika patih sakti Kebo Iwa berhasil diperdaya oleh Gajah Mada dengan iming-iming gadis canik Putri Lemah Tulis.
Terakhir babak IV adalah Bali zaman modern yang melukiskan keadaan pulau Bali yang sejahtera di bawah pemerintahan republik yang terencana. Namun penjajah dan terorisme sangat berambisi menguasai dan menghancurkan pulau Bali. Para penjajah mengadu domba masyarakat Bali untuk berseteru. Para teroris begitu beringas menghancur- leburkan jagat pariwisata andalan ekonomi Bali. Ketegaran masyarakat Bali dan integritas para pemimpin Bali mampu kembali menciptakan keadaan aman, damai, dan sejahtera yang dikenal dngan Mandara.
Garapan seni ini diiringi dengan Gambelan Gong Gede Saih Pitu dan dibawakan oleh sekitar 100 penari dengan durasi waktu 60 menit.