Jakarta — Nasionalisme dan rasa kebangsaan di Indonesia berakar pada sejarah, bukan pada kekuasaan atau hegemoni ideologi. Ciri khas pandangan hidup atau falsafah hidupnya berbeda dengan bangsa lain, karena diangkat dari nilai-nilai kultural melalui sebuah kerja kreatif dan filosofis pendiri bangsa.
Alasan tersebutlah yang dijadikan dasar mengapa pendidikan Pancasila diperlukan sebagai dasar pembentukan karakter bangsa. “Pancasila merupakan realisasi filosofis asli bangsa Indonesia,” ujar Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal saat berbicara dalam seminar “Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Rangka Penguatan Karakter Bangsa”, di Gedung Nusantara IV DPR RI, Rabu (22/6).
Selama ini, semua komponen tentang nilai-nilai Pancasila telah diajarkan di sekolah melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan maupun agama. Sekarang, kata Fasli, ada tekanan supaya judul Pancasila diperkokoh. “Sehingga dari judul itu akan membuat standar isi dan standar kompetensi menjadi jelas,” katanya.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk mengembangkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air yang berkarakter Pancasila. Dalam kesempatan tersebut Fasli mengurai strategi seperti apa yang bisa dilakukan pada level pendidikan dasar dan menengah dan pada level perguruan tinggi.
Strategi jangka pendek (tahun ini) untuk pendidikan dasar dan menengah dilakukan penguatan pelaksanaan pendidikan Pancasila pada kurikulum yang ada. Artinya, pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang ada harus disampaikan melalui pendekatan-pendekatan yang kooperatif, interaktif, eksploratif, kritis, dan memecahkan masalah (problem solving).
“Kita tidak perlu habis energi membahas rumah-rumah itu (Pancasila). Lebih baik kita laksanakan lebih banyak, dengan guru mencari cara-cara yang lebih dialogis,” tuturnya. “Bagaimana keadaan lingkungan di luar sekolah yang merusak dan mengganggu kepercayaan anak-anak didik dijauhkan sehingga tidak ada standar ganda yang berakibat tidak terjadi internalisasi. Diberikan teori, tapi kenyataan tidak seperti itu. Penihilan dari upaya-upaya,” ujarnya melanjutkan.
Sedangkan untuk model penilaiannya, dapat menggunakan penilaian yang berdasarkan pada perbuatan dengan penilaian otentik. Penilaian otentik dapat berupa catatan kegiatan, catatan anekdot, skala sikap, catatan tindakan, koleksi pekerjaan, tugas individu, tugas kelompok atau kelas, sampai pada tes standar prestasi dan standar psikologi.
Untuk jangka menengah (2012), kata Fasli, perlu penataan ulang kurikulum. Apakah pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran tersendiri, atau masuk pada pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).
Pada perguruan tinggi, Fasli menyampaikan ada empat strategi yang bisa dilakukan, yaitu revitalisasi, reaktualisasi, restorasi, dan reformulasi. Dalam implementasinya ada tiga pendekatan, yaitu social-cultural developmentmelalui penciptaan dan pembiasaan perilaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, psycho-paedagogical development melalui perkembangan psikologis seseorang melalui proses belajar, dan socio-political development melalui berbagai intervensi kebijakan politik.
Penataan ulang kurikulum di perguruan tinggi, kata Fasli, akan dilakukan dengan memasukkan kembali pendidikan Pancasila sebagai kurikulum wajib tingkat nasional. Penguatan karakter bangsa melalui pembiasaan, tradisi, dan budaya akademik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. “Akan ditinjau ulang produk kebijakan negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan tinggi agar lebih dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila,” ujarnya. (aline)
Sumber : kemdiknas.go.id