Sumber : Warta Bali
DENPASAR – Memaknai peringatan Hari Tari Sedunia, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menyuguhkan garapan koreografi di ruang terbuka lingkungan Taman Budaya Denpasar dan kampus setempat, Senin (29/4/2019) sore. Sebanyak 10 garapan koreografi berhasil merespon alam dan lingkungan dengan menyajikannya ke dalam bentuk tarian dan gerakan.
Kesepuluh garapan tersebut masing dikonsep oleh I Gede Suta Bayu Bagaskarayana dengan judul ‘Menjajal Ardha Candra’, Hana Yustiani dengan judul garapan ‘Giliran Aku yang Ditonton’, Ari Sidiastini dengan garapan ‘Sembah Sangga’, Sinta Sadrina dengan garapan ‘Basah Kuyup’ serta Yunita Dewi dengan garapan ‘Frog’.
Selanjutnya, tampil pula Deta dengan garapan ‘Desainer and Mannequin’, Rama dengan garapan ‘Konyol’, Kevin dengan garapan ‘Ngebul’, Nik Candra dengan garapan ‘Gayung-gayung’, dan Agus Satyawan dengan garapan ‘Bebaskan Aku’. “Selain koreografi lingkungan, peringatan hari tari sedunia di ISI Denpasar juga diisi dengan berbagai kegiatan di antaranya pertunjukkan mural, instalasi, dan pagelaran malam,” ujar koordinatir perayaan hari tari sedunia ISI Denpasar, I Gusti Ngurah Bagus Alit Satria Wibawa.
Mahasiswa semester IV pada program studi tari ini menambahkan, tema yang diangkat dalam hari tari sedunia tahun 2019 adalah ‘Ekspresi 4.0’. Dijelaskan, tema 4.0 begitu banyak dibicarakan di era ini. Hal yang menjadi inti dari tema tersebut adalah bagaimana mengatasi tradisi di era 4.0 ini. “4.0 ini memiliki filosofi. Empat adalah jiwa kita, titik adalah pusat pikiran kita, dan nol adalah sebagai lingkaran kehidupan kita. Makna dari 4.0 ini dapat disimpulkan Catur Sanak,” katanya.
Sementara itu pengamat budaya Prof Dr I Wayan Dibia turut menyaksikan koreografi lingkungan yang ditunjukkan oleh mahasiswa ISI Denpasar. Menurutnya, koreografi lingkungan bisa memberikan rasa dan ruang yang baru kepada mahasiswa. “Kalau di panggung kan mereka sudah biasa. Dengan koreografi lingkungan ini, mereka mendapatkan ruang-ruang baru. Berharap mereka menemukan sesuatu di ruang-ruang itu,” ungkapnya.
Secara umum, kata dia, koreografi para mahasiswa cukup menarik. Mereka menemukan ruangnya masing-masing dan daya ungkapnya berbeda-beda. Ia menganggap mahasiswa cukup berhasil dalam menemukan ruang-ruang baru. “Bagi saya, ini selalu memberikan kesegaran dalam berkarya,” imbuhnya.
Terkait hari tari sedunia, menurut Prof Dibia, hendaknya menjadi sebuah peringatan yang menyadarkan semua orang akan pentingnya tari bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Tari selain bisa bernilai ekonomis, juga bisa digunakan sebagai wadah kebersamaan dan kehalusan jiwa. “Hari tari sedunia kita harapkan juga bisa memberikan aspek terapi dan kesegaran, dengan pengetahuan yang mendalam, olah tubuh, konsentrasi dan sebagainya,” katanya.
Belakangan ini, kata dia, tarian Bali terlalu banyak yang bersifat komersial. Sedangkan yang bersifat ekspresi murni dinilai masih kurang. “Ini yang kita dorong. Supaya selain yang komersial, ada juga sisi ekspresi senimannya,” tandasnya.