Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menutup kegiatan rekonstruksi kidung ‘Dwijendra Astawa’ di Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem yang meliputi 12 jenis kidung diantaranya Astapaka Astawa, Gebang Apit Lontar, Sara Kusuma, Palugon, Bubuksahs Gagak Aking, Alis-alis Ijo, Jayendriya, Aji Kembang, Kawitan Wargasari, Rare Angon, Bramana Ngisep Sari, dan Wasi (Sewaka Dharma).
Kidung Dwijendra Astawa merupakan karya besar warisan leluhur para pendeta di Budakeling yaitu karya Danghyang Nirarta, Danghyang Astapaka dan keturunannya. Secara bentuk, teknik, karakter, cengkok, dan gayanya tidak saja memiliki keunikan tetapi mengandung kekuatan emosional subyektif terhadap masyakarakat setempat. Demikian dikatakan Rektor ISI Denpasr Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar., M.Hum., saat penutupan rekonstruksi di Karangasem, Jumat (27/10) lalu.
Arya menuturkan, berdasarkan data dari narasumber terdeteksi sekitar 200 kidung kuno di Desa Budakeling, yang diibaratkan ‘mutiara yang tercecer’. Kidung-kidung tersebut mulai luntur karena sudah jarang dipentaskan, sebagian lagi masih tercecer pada narasumber yang semakin sepuh, bahkan banyak yang sudah terlupakan, akibat pelakukanya sudah meninggal dunia. “Saya harapkan kita mampu merekonstruksi semuanya. Meski bertahap, saat ini baru 12 dan selanjutnya bisa ditambah lagi. Sudah kewajiban kita menyelamatkan,” harapnya.
Arya mengapresiasi keterlibatan anak-anak dan remaja yang ikut berperan merekonstruksi di bawah arahan narasumber. Ia yakin Budakeling adalah kawasan budaya yang banyak menyimpan warisan budaya masa lampau. Peranda Budha-nya juga banyak, basisnya sastra, bukan ngadep banten tapi sastra, tutur dan kaweruhan, oleh karena itu kita sangat mengapresiasi. Sekalipun program rekonstruksi nantinya berpindah, ia berharap rekkonstruksi bisa dilakukan oleh peneliti lainnya.
Rekonstruksi, lanjut Arya, digalakkan karena berkaca dari zaman Asti (sebelum ISI,red), saat itu, dikatakan Arya, banyak kesenian kuno yang hampir punah seperti rejang, telek, barong, dan gambuh berhasil direkonstruksi, termasuk seni pedalangan gaya Sukawati dan gaya Tunjuk Tabanan. “Tahun 90-an pernah ada polemik bahwa ISI membawa virus Asti sehingga mamatikan gaya di daerah. Itu semua terbalik, justru lembaga kita menyelamatkan keseenian di daerah asalnya, bukan mengubah dengan gaya Asti. Karena landasan kita mengikuti gaya-gaya di daerah asalnya,” jelasnya.
Sementara itu, narasumber dan tokoh Desa Budakeling Ida Wayan Ngurah mengaku sangat bersyukur upaya rekonstruksi kidung bisa dilaksanakan di Desa Buhakeling. Menurutnya, kidung adalah seni, bagian dari Weda berkaitan dengan nyanyian spiritual ke-Tuhanan. “Sangat tepat sekali direkonstruksi kembali sehingga apa yang menjadi konsep semula bisa dibawakan secara utuh. Terimakasi kepada ISI,” tutup Ida Wayan.