Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tampil sebagai garda depan dalam perjuangan mewujudkan Profesor Penciptaan Seni. Melalui Bali-Dwipantara Waskita (Simposium Republik Seni Nusantara) serangkaian Festival Nasional Bali Sangga Dwipantara II, ikhwal urgensi keberadaan Profesor Penciptaan Seni di Indonesia yang saat ini makin langka, dibahas sekaligus dirumuskan solusi. Simposium dilaksanakan ISI Denpasar bekerja sama dengan Asosiasi Pencipta Seni Indonesia (Apesi) dilangsungkan secara luring dan daring, Kamis (7/4) di Gedung Nata Praja Mandala kampus setempat. Simposium bertajuk “Mata Air Cipta Seni (Guru Besar Penciptaan Seni Indonesia)” ini menghadirkan pembicara kunci Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek, Kemdikbudristek RI, Prof. Ir. Nizam, Ph.D, serta pembicara undangan: Dr. Ignas Kleden, Prof. Sardono W. Kusumo, Dr. Tisna Sanjaya, Dr. Gusti Putu Sudarta, Dr. FX. Widaryanto, Dr. Susas Rita Loravianti, dan juga hadir daring Direktur Sumberdaya Ditjendiktiristek M. Sofwan Effendi tersebut, menghasilkan rekomendasi pengakuan profesor penciptaan seni dalam skema baru usulan Guru Besar.
Pada Simposium Nasional yang dipandu Tommy Awuy ini, mengemuka bahwa jumlah Profesor Penciptaan Seni di Indonesia semakin menyusut bahkan mendekati nihil, akibat pemberlakuan aturan persyaratan khusus karya ilmiah jurnal internasional untuk semua pengusulan Profesor. Padahal, doktor penciptaan seni di Indonesia dididik dan sekaligus melakukan praktik seni di masyarakat untuk menghasilkan karya seni atau desain, bukan paper jurnal. Kelangkaan jumlah Profesor Penciptaan Seni kemudian berimplikasi langsung pada penyelenggaran pendidikan tinggi seni di Indonesia. Sangat jarang mahasiswa magister atau program doktor penciptaan seni mendapat pembimbing/promotor, figur panutan, dan model penciptaan dari seorang Profesor Penciptaan Seni.
Rektor ISI Denpasar yang sekaligus Ketua Tim Perumus hasil Simposium, Prof. Wayan ‘Kun’ Adnyana menjelaskan, bahwa perjuangan doktor penciptaan seni dan desain di semua perguruan tinggi di Indonesia untuk mencapai jabatan Profesor Penciptaan Seni/Desain diberlakukan tidak adil oleh aturan syarat khusus menulis artikel pada jurnal internasional. Doktor penciptaan seni dan desain yang tergabung dalam Apesi telah berikrar akan tetap maju mengusulkan jabatan Profesor hanya melalui jalur penciptaan karya seni. Untuk itulah, ISI Denpasar mewadahi perjuangan ini melalui wahana simposium yang menghadirkan maestro, empu seni, dan doktor penciptaan seni se-Indonesia, selain narasumber juga hadir 135 peserta aktif dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia.
“Hal yang menggembirakan, bahwa permasalahan ini telah mendapat perhatian dari Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek melalui Direktorat Sumber Daya telah menyusun rancangan peraturan menteri terkait tiga jalur pengusulan Profesor, yakni akademik (baca Jurnal Internasional), kekaryaan/vokasi (karya seni atau desain monumental), dan profesional. Kita berharap rancangan peraturan dimaksud segera ditetapkan, sehingga usulan nama Doktor Penciptaan Seni yang telah memiliki reputasi dunia, seperti Dr Tisna Sanjaya dan Dr Rahman Sabur, dapat segera ditetapkan sebagai Profesor Penciptaan Seni, karena umur mereka rata-rata jelang pensiun, “tandas Prof Kun, yang juga Ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) itu.
Pembina Apesi, Prof Sardono W Kusumo memaparkan, bahwa Doktor Penciptaan Seni di Indonesia telah melakukan praktik penciptaan seni melibatkan masyarakat dalam jumlah yang masif. Model prakti seni seperti itu, selaras dengan praktik penciptaan seni yang telah dilakukan seniman generasi perintis kemerdekaan, seperti Usmar Ismail, S. Sudjojono, Affandi, dan lain-lain. “Mengingat, bahwa pendidikan seni di Indonesia sesungguhnya dibangun untuk menghasilkan seniman dalam spirit kebangsaan, karena memang didirikan pertama kali oleh tokoh-tokoh seniman yang juga pejuang kemerdekaan. Spirit kebangsaan kemudian, diterjemahkan dalam praktik penciptaan seni yang bertolak dari keragaman budaya dan ekosistem sebagai sumber. Karya cipta juga dijadikan orientasi untuk menjawab persoalan era masa kini. Lulusan pertama pendidikan seni tersebut tercatat telah menghasilkan seniman hebat, diantaranya: Idris Sardi, FX. Soetopo, Slamet Abdul Syukur, Suka Hardjana, Paul Gautama Soegiyo, Ahmad Sadali, AD. Pirous, dan G. Sidharta. Namun, pendidikan seni kini, justru meninggalkan peran maksimal sebagai perintis penciptaan seni, karena semata mengikuti sistem pendidikan sains semata, bukan karya seni. Padahal sekarang, di dunia pendidikan dikenal pemisahan antara sains, teknologi, enjinering, seni, dan matematika. Artinya, kelima pilar pendidikan itu harus diakui kemandiriannya. Sehingga doktor penciptaan seni di Indonesia dalam pengakuan jabatan fungsional profesor, mesti dibangun atas prinsip pengakuan karya seni, “terang koreografer papan atas Indonesia itu memberi argumen.
Pandangan senada dilontarkan narasumber Dr Ignas Kleden, dengan mengatakan bahwa prinsip pendidikan seni untuk menghasilkan seniman, berbeda dengan pendidikan seni untuk menghasilkan ahli seni. Pendidikan untuk menghasilkan seniman, membutuhkan kehadiran profesor penciptaan seni, yang membimbing dan melatih mahasiswa untuk menghayati nilai-nilai kebudayaan atau kesenian untuk kebutuhan penciptaan, atau pengembangan kesenian itu sendiri. Sementara ahli seni merupakan model pendidikan untuk melatih nalar mahasiswa dalam identifikasi data-data kesenian, bukan mencipta seni atau desain. “Pendidikan seni untuk menghasilkan lulusan sebagai seniman, mesti dibangun dalam karakteristik penciptaan, tradisi memasuki pengalaman dan penghayatan nilai-nilai. Sehingga tidak membutuhkan tulisan model sains, karena cara seniman menulis itu berbeda, pendekatannya dari dalam karya seni, “urai cendekiawan lulusan Jerman itu.
Profesor Penciptaan Seni Diakomodasi
Plt. Dirjen Diktiristek Prof Nizam, memberi apresiasi terhadap penyelenggaraan Simposium Nasional itu, sembari mengingatkan kepada seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia untuk terus tampil sebagai garda depan dalam menghasilkan seniman atau desainer, selain pengkaji seni dan pendidik seni. “Kemdikbudristek telah melakukan penyusunan rancangan peraturan pengusulan guru besar atau profesor melalui tiga jalur, yakni: akademik (jurnal internasional), kekaryaan atau vokasi, dan profesional. Doktor Penciptaan Seni dalam pengusulan profesor dapat memakai jalur kekaryaan, yang dinilai karya seni atau desain monumental. Penilaian kekaryaan monumental ini, tentu membutuhkan masukan perguruan tinggi seni dan juga Apesi dalam menyusun formula penilaian yang solid”. Tentang rancangan tiga jalur pengusulan profesor juga dibenarkan Direktur Sumber Daya Diktiristek M. Sofwan Effendi, bahwa doktor penciptaan seni dapat menjadi profesor melalui jalur kekaryaan seni atau desain monumental. “Tiga jalur ini, merupakan hal prinsip yang telah disepakati dalam rancangan peraturan menteri yang baru terkait pengusulan guru besar. Semoga secepatnya dapat ditetapkan, sehingga perguruan tinggi dapat melakukan langka antisipasi, “jelasnya.
Pada simposium, yang perumusan hasil rekomendasi berlangsung hingga malam hari itu, juga ditampilkan doktor penciptaan seni dengan reputasi kekaryaan yang telah mereka lakukan. Dr. Tisna Sanjaya menyajikan karya-karya partisipatoris (Gerakan Sosial Seni Masyarakat) di Cigondewa dan Citarum, Bandung. Karya Tisna telah dipergelarkan pada Venesia Biennale, juga pada Juni mendatang di Dokumenta, Jerman. Dr. Gusti Putu Sudarta mengeksplorasi penciptaan seni berbasis ritus, Dr. FX. Widaryanto membahas penciptaan seni pertunjukan dalam ekologi, Dr. Susas Rita Loravianti melakukan penciptaan seni pertunjukan pada budaya Minangkabau dan Mentawai.