Laporan Penelitian Dosen Muda
Oleh: I Made Pande Artadi, M. Sn
Puri sebagai sebuah karya arsitektur merupakan wujud kebudayaan fisik yang lahir melalui ide dan sistem budaya serta sistem sosial masyarakat Bali di masanya. Melalui arsitektur puri dapat dilihat gambaran budaya masyarakat Bali pada masa tertentu. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat Bali yang berlangsung pada rentang waktu tertentu akan tercermin pada perubahan elemen-elemen arsitektur puri. Perubahan sosial dan budaya yang cukup tajam sangat jelas terlihat pada periode Bali Kolonial. Secara garis besar wujud kebudayaan dibagi menjadi 3, yakni: cultural system, cultural activities, material culture. Ketiga wujud kebudayaan tersebut sangat erat kaitannya. Bila terjadi mobilitas sistem budaya yang meliputi nilai-nilai, gagasan, konsep, dan berbagai macam norma, maka akan mempengaruhi berbagai aktivitas budayanya, serta bermuara pada pergeseran perwujudan benda budaya/ material culture. Arsitektur Puri sebagai salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud benda (material culture), kehadiranya tidak lepas dari pola pikir dan perwujudan yang lahir dari tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang ada. Ini berarti wujud arsitektur puri Kanginan Singaraja sangat terkait dengan sistem peradaban masyarakat, seperti: tata nilai, sosial, budaya, politik, dan keadaan lingkungan alamnya. Dengan demikian perubahan atau pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi akibat politik kolonial di daerah Buleleng akan berpengaruh pula pada prinsip-prinsip estetik dan tata nilai perwujudan arsitektur Puri Kanginan Singaraja.
Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif, sedangkan metode analisa yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari berbagai obyek yang diawasi. Penilaiannya didasari oleh analisa kesesuaian antara teoritis ilmiah dengan pengamatan terhadap studi kasus, sehingga terbentuk analisis studi konformitas yaitu menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tolok ukur yang diungkapkan secara deskriptif.
Dalam kajian estetik arsitektur Puri Singaraja dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip estetika klasik Barat menjadi acuan dalam perwujudan bentuk visual bangunan. Kesatuan, keseimbangan, proporsi dan irama berintegrasi dalam konsep tata ruang lokal. Ini terlihat dari penggunaan molding yang dibuat mengalir mengikuti elevasi dinding pada beberapa bangunan sehingga menampilkan irama (ritme) pada desainya. Irama molding sebagai penghubung dan menciptakan kesatuan visual (unity) bidang dinding satu dengan yang lainnya. Pemilihan warna yang analog pada elemen bangunan seperti kusen, pintu, jendela dan lisplank merupakan hasil pertimbangan yang matang untuk menciptakan keselarasan dan kesatuan (unity) dalam mendukung bobot estetik bangunan
Aturan letak masa bangunan yang berkaitan dengan simbol-simbol relegi, yakni aturan luan-teben dan kosep Tri Angga (utama, madya, dan nista) pada prinsipnya masih tetap dipertahankan. Konsep Tri Angga dalam teritorial puri sangat tegas terlihat, yakni area jaba sisi sebagai kaki, jaba tengah sebagai badan dan jeroan sebagai kepala. Batas masing-masing area sangat tegas dipisahkan oleh tembok penyengker (pagar pembatas). Area jeroan memiliki hirarki ruang yang tinggi dibandingkan area lain. Ketegasan perbedaan nilai hirarki masing-masing ruang ditunjukan dengan adanya perubahan level pekarang dari area ancak saji ke jeroan. Area ancak saji memiliki level yang paling rendah, selanjutnya diikuti area jaba tengah, dan area jeroan sebagai level yang paling tinggi. Konsep ini menuntut pengguna untuk berjalan berbudaya, melangkah terstruktur, namun bertahap yakni dari lapis yang rendah ke yang tinggi, dari yang profan luar ke yang sakral suci.
Kekaburan aturan luan-teben sedikit terlihat pada area jeroan yakni pewaregan (dapur) yang terletakan di area luan (area utama). Namun kehadiran dapur dalam satu banguan yang terletak di area ‘utama’ pekarangan ini tidak terlepas dari keberadaan Bale Dangin yang menghadirkan ruang makan pada serambi belakang rumah, sehingga apabila dilihat dari sudut pandang efesiensi letak dapur adalah benar. Ini berarti prinsip-prinsip tata letak yang bersumber pada relegi masyarakatnya telah diabaikan, beralih pada prinsip-prinsip penataan arsitektur modern yang mempertimbangkan rasio dan fungsi.
Disamping eskpresi prinsip-prinsip estetika Barat, bebarapa bangunan yang ada di area puri Kanginan banyak menggunakan elemen-elemen estetika arsitektur kolonial yang ada di Indonesia, seperti penggunaan molding, gevel ‘Curviliner Gabele’, Pediment, kolom jenis ‘Tuscan’, dan overstack. Pada prinsipnya kehadiran elemen-elemen arsitektur kolonial dalam arsitektur tradisional Bali adalah salah satu proses akulturasi budaya yang cenderung terjadi dalam perjalanan dinamika budaya. Akulturasi yang dimaksud dalam hal ini adalah pertemuan dua budaya dalam wujud arsitektur (arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur kolonial Belanda), kemudian terjadi peminjaman unsur-unsur arsitektur kolonial dalam arsitektur tradisional Bali. Dalam hal ini budaya kolonial sebagai kebudayaan donor dan budaya tradisional Bali sebagai kebudayaan acceptor. Peminjaman unsur-unsur ini dalam proses integrasi melahirkan wujud arsitektur baru yang berbeda dari bentuk arsitektur masing-masing dua budaya tersebut.